Biasanya, saya jarang
menyuguhi makan untuk tamu, tidak seperti kebiasaan orang Madura yang nyaris
mewajibkannya. Tamu-tamu saya itu jarang-jarang yang datang. Rata-rata, mereka datang dengan waktu yang singkat. Ada juga, sih, yang sering datang dan lama, bahkan tetap duduk meskipun tuan rumahnya (saya)
tidak ada di rumah. Tapi, kali ini,
saya niat menyuguhi mereka makan siang karena di samping mereka datang dari tempat
yang sangat jauh (Nijmigen, Belanda), juga karena bahan-bahan yang mau
dihidangkan kebetulan ada.
Begitu saya buka pintu kamar depan, tampaklah sice dan
hidangan yang sudah disajikan, tapi—astaga—dalam
keadaan berantakan. Saya
kaget bukan alang-kepalang mengingat baru semenit yang lalu hidangan di meja
itu selesai ditata.
Mau dipersilakan, kok, ya, hidangannya berantakan, mau
disuruh duduk kembali, saya sudah terlanjur buka pintu dan hidangan sudah terlihat oleh para tamu. Terlambat! Saya persilakan saja. Masalahnya, saya
tidak menemukan tanda-tanda adanya ‘kambing
hitam’ di situ, sejenis
kucing atau ayam yang masuk ke rumah. Ternyata, ada anak saya yang paling kecil, yang usianya baru dua tahun lebih
sedikit, berada tak jauh di
sana, di balik pintu, memegang sendok di tangan kanannya. Oh, rupanya, semua ini merupakan ‘hasil karya’-nya
“Mari,
Mas, silakan, sudah begini adanya. Forgive
me, Sir. Maybe an earthquake causes this,” kata saya ngawur.
“Oh, ya, tidak apa-apa, jawab salah satu dari mereka.”
Pak profesor hanya tersenyum.
“Anggap saja ini seni instalasi,” kata saya berhujah,
sekenanya saja.
***
Dulu, semasa ayah saya masih ada, saya pernah menjerang air
daun mimba (intaran) dalam jumlah banyak sekali. Rebusan daun ini—di tempat
kami—dikenal sebagai obat banyak-anti: anti nyamuk, anti-gatal-gatal, dll. Tapi, meskipun begitu, mengkonsumsinya tidak
boleh terlalu banyak karena kurang baik untuk liver.
Lalu, tanpa sengaja dan mungkin karena tertipu warnanya yang
sangat mirip teh, jamu itu disuguhkan ayah saya untuk tamunya. Saya telah
melakukan kesalahan: meletakkan jamu di teko teh. Kejadian ini baru saya
ketahui beberapa waktu kemudian karena si tamu curhat kepada paman saya perihal
kejadian ini.
***
Ada kata yang
mirip dan kadang beda jauh artinya, seperti “jamu” dan “jemu” dan “menjamu”.
Dalam english, ada hospital dan hospitality yang mirip (rumah sakit; keramahan).
Orang kadang salah tulis hanya karena mereka mendengar, seperti kesalahan
menulis “sekedar” dan bukan “sekadar”; “tolak ukur” padahal mestinya “tolok
ukur”, dll. Kita memang harus cermat dalam berbagai hal.
Terkait jamu, dari
sini kita tahu, bahwa “jamu” memiliki lebih satu arti, tapi masih ada
keterhubungan satu sama lain. Sekurang-kurangnya, artinya ada dua: pertama, sebagai obat yang
berasal dari akar dan daun-daunan; kedua, tamu atau para tamu. “Menjamu” berarti
menerima dan menyuguhkan hidangan untuk tamu. “Menjamu” baru bisa memiliki dua makna sekaligus jika si tamu disuguhi
cemilan dan/atau nasi sekaligus
disuguhi jamu, tapi tentu
saja dikasih tahu lebih dulu
bahwa yang ada gelas isinya
rebusan air mimba, sehingga si tamu tidak tertipu kamuflase teh, padahal berisi jamu
yang rasa pahitnya bikin jemu.
#bahasa