Tugas polisi itu berat, lho. Kalau tugasnya itu dienteng-entengkan, berarti dia polisi perkecualian, mungkin gadungan atau pengangguran yang sedang menyamar. Jika melihat ruwetnya lalu lintas di jalan dan kebiasan buruk masyarakat dalam berkendara, serta rendahnya penghargaan antar-sesama pengguna jalan, Anda punya dua pilihan: bercita-cita jadi polisi lalu lintas untuk ikut ambil bagian dalam mengurai permasalahan atau justru menghindarinya sama sekali.
Akan tetapi, di antara itu, masih ada jalan tengah: Anda tetap menjadi rakyat biasa tetapi—dengan niat tulus—ikut serta membantu pak polisi dalam memberikan penyadaran terhadap masyarkat akan resiko berlalu lintas di jalan raya, terutama bahayanya. Begitu juga, tugas Anda yang lain adalah mewanti-wanti sesama rakyat agar tidak melakukan praktik suap dan sogok (terhadap pak polisi) sebab itu seperti penyakit sampar: berbahaya dan menular.
Saya sebut beberapa contoh saja:
Ada rombongan ziarah ke Mertajasa, Bangkalan. Mereka naik L300 'stesen' yang isi normalnya 7 orang itu namun disesaki 17 orang, tentu saja dengan cara duduk gaya meringkuk. Di sebuah ruas jalan, mobil diberhentikan oleh pak polisi, akan ditilang mungkin. Katanya, mobil kelebihan muatan.
Tapi, apa jawaban Nidin yang kebetulan menjadi salah seorang penumpangnya? “Kami ini mau sowan ke Syaikhana Muhammad Khalil, Pak. Apa Sampeyan tidak takut 'tulah' kalau Sampeyan menghalang-halangi tujuan kami?”
***
Nidin datang ke samsat. Turun dari parkiran, mendekat ke loket, lalu meringsek di antara antrian: “Mau beli SIM, Pak!” katanya dengan nada bicara seolah dia sedang pesan bakso.
“Beh, apa-apaan ini kok langsung beli. Daftar dulu, ujian dulu!”
Nidin: "Ujian? Masa’ mau langsung ujian jika saya belum pernah dapat materi pelajaran?”
***
“Kok pake peci? Mana helm-nya?”
“Peci ini sudah di-asma’, bahkan ada hizib Andarun-nya juga. Peci ini tidak akan lepas dari kepala saya karena sudah ‘nonggal’ (manunggaling),” jawab Nidin dengan bangga ketika petugas menghentikannya.
Petugas: (sembari tersenyum) “Kalau nanti jatuh dan kepala Anda kejedug aspal?”
Nidin: “Dengan seizin Allah, aman, Pak. Paling-
paling cuman aspalnya yang hancur.”
***
Petugas: “Jangan grusa-grusu begitu kalau mengemudi. Hati-hati di jalan. Keluarga Anda menunggu di rumah.”
Nidin: “Lha, iya. Saya pulang tergesa-gesa ini justru karena barusan ditelepon. Saya memang ditunggu sama orang rumah. Katanya ada tamu.”
Pernah juga, suatu waktu, Nidin ingin masuk ke gang yang ada rambu ‘forbidden’-nya (bundaran merah bergaris melintang di tengah; pertanda “dilarang masuk”). Rupanya, dia ogah jika harus memutar karena tujuannya berada di ujung jalan. Nidin memundurkan mobilnya, lalu masuk secara mundur.
“Apa-apaan ini, Din?” tanya Hamdi yang duduk di sampingnya, heran. “Mobil 'kan tidak boleh masuk di timur sini?”
Nidin: “Aku ini ndak masuk, Di, tapi mundur. Anggap saja kita masuk dari arah barat cuma kebablasan dan ini hanya mundur sedikit ke belakang.”
***
APA ENGGAK STRES Anda jadi polisi kalau yang dihadapi selalu orang-orang semacam Nidin ini? Tapi, yang namanya Nidin itu akan selalu ada di dalam hidup ini. Jadi, usaha untuk lebih baik memang harus terus diperjuangkan, tapi jangan terlalu berandai-andai hidup ini menjadi sangat tenang dan tertib karena hal itu akan membuat Nidin kehilangan pekerjaan. Dampaknya malah lebih buruk daripada penyakit sampar karena ia menggerogoti pikiran. Tanpa Nidin, lambat-laun Anda akan kurang bertanggung jawab terhadap tugas yang dibebankan.
Sabar, ya, Pak! Saya akan bantu Anda dengan cara ngomong baik-baik terhadap Nidin-Nidin ini melalui ceramah dan diskusi buku "Celoteh Jalanan".