10 Mei 2023

Harapan Baru Tertib Lalu Lintas dari Kampus


Sebentar lagi, kampus-kampus akan kebanjiran mahasiswa baru. Mereka akan membawa kebiasaan-kebiasaan baru dari rumahnya ke tempat yang baru itu. Kebanyakan tujuannya adalah di kota (besar). Termasuk kebiasan baru itu adalah dalam hal berlalu lintas yang notabene cenderung beralih: dari kesemrawutan ke kesemrawutan akut berikutnya.

Bagaimana menertibakan lalu lintas di jalan raya? Memikirkan ini, duh, ruwetnya minta ampun. Angka-angka kecelakaan lalu lintas sangatlah menakutkan. Dalam sebuah data, konon, di tahun 2020 saja, terdata ada 100.028 kecelakaan dengan rincian 23.529 tewas dan di tahun 2021 ada sejumlah 103.645 laka sedangkan yang tewas mencapai 25.266 jiwa. Angka ini di luar kondisi sangat parah, seperti gegar otak atau patah tulang serta kerugian material lain. Saya curiga, data ini pun bahkan sudah ‘ditekan’. Angka sejatinya pasti lebih banyak daripada itu. 

Kini, saatnya, kampus dan sekolah harus ikut andil menyelamatkan jiwa dan raga manusia. Tidak bisa tidak, kondisi ini tidak dapat dibiarkan lebih buruk lagi. Atas dasar itulah saya aktif ikut berkampanye tertib berlalu lintas sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu (beberapa kali di antaranya dengan salah satu anggota Polres Pamekasan dan Sumenep, antara lain beberapa kali dengan Bapak Sri Sugiarto sejak beliau di Dikyasalantas hingga sekarang menjabat sebagai Kapolsek Palengaan [2023]). 

Dan kini, saya berupaya untuk merambah kampus (setelah sebelumnya hanya berkutat di lingkungan sekolah dan komunitas terbatas lainnya). Maka, pada pada Sabtu, 16 Juli 2022 lalu, saat Dr. Husnan A. Nafi’ dikukuhkan sebagai rektor IST (Institut Sains & Teknologi) Annuqayah, terbit harapan saat ketika beliau menyambut baik gagasan untuk menyelenggarakan “Orientasi Akhlak dan Fikih Jalan Raya” sebagai sesi khusus dalam rangkaian acara orientasi pendidikan kampus (ORDIK) 2022. 

Praktiknya, acaranya pun dilakukan terpisah dengan INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Sesi ini menandainya sebagai kegiatan tahunan, mengikuti jejak SMK Annuqayah yang sudah terlanjur keren, menyelenggarakannya secara annual. Tahun ini, 2023, berarti merupakan tahun kedua.

Di lingkungan pondok atau komunitas agama, kita harus melihat tertib lalu lintas ini dari sudut pandang yang lain, bukan sekadar dari perspektif hukum positif/legal formal, tapi bisa dari tinjauan tasawuf dan/atau dapat pula mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih untuk dicocokkannya. Terkait ini, saya sudah mencoba dan melakukannya. Sebagian saya tulis dalam artikel atau juga buku.

Latar belakangnya adalah kesadaran—yang datang terlambat—bahwa tertib dan/atau memudahkan orang lain melintas di jalan adalah bagian penting dari akhlak, bahkan bagian dari cabang iman. Kita tahu—atau Anda belum tahu?—bahwa ‘pembunuh’ terbesar di negeri ini bukanlah demam berdarah atau covid, tapi kecelakaan lalu lintas yang di antara penyebabnya hanyalah urusan sepele, seperti menganggap lampu sein sebagai lampu disko. Belum lagi kejadian-kejadian ‘kecil’ yang sedikit demi sedikit mampu menipiskan kepekaan manusia pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang membuat mereka akan kelihatan seperti laptop baru tapi belum dipasangi sistem operasi: canggih tapi kosong, itu juga sangat buwanyak. Data-data saya tentang hal itu sudah ditulis dalam kumpulan esai “Celoteh Jalanan” (2017) dan langkah-langkah pencegahannya disisipkan di dalam buku yang lain, buku fikih perjalanan yang berjudul “Safari” (2021). 

Sesi khusus dalam ORDIK ini diharapkan dapat memberikan dampak, utamanya, pengurangan/pengendalian kecelakaan lalu lintas serta menumbuhkan kepekaan sosial di jalan raya (untuk tahap selanjutnya). Meskipun sebetulnya akan lebih baik andaikan target yang disasar orientasi semacam ini adalah siswa SLTA (SMA atau MA), tapi kali ini difokuskan pada tingkatan mahasiswa karena mereka yang disebut “agen perubahan sosial” itu, yang saking berubahnya terkadang sampai anti-sosial. Sekurang-kurangnya, sesi ini diharapkan dapat menerbitkan “kesadaran baru” yang  dapat digetuktularkan kepada orang/mahasiswa yang lain.

Dalam pada itu, saya melakukan praktik langsung di aula kampus, yaitu dengan meletakkan miniatur jalan raya (berbentuk papan) lengkap dengan beberapa mobil Hot Wheels. Lalu, panitia mengarahkan webcam USB pada miniatur tersebut sehingga proyeksi yang saya jelaskan dapat dipancarkan melalu proyektor besar dan bisa terlihat oleh ratusan mahasiswa. Dengan cara seperti itu, penjelasan seputar tertib dan akhlak di jalan raya langsung dipahami oleh mahasiswa, tidak sekadar berdasarkan teori, tapi langsung berwujud "praktik tanpa harus praktium".

Demikianlah, setiap melihat kesemrawutan manusia dalam berlalu lintas di jalan raya, terbit rasa pesimis: generasi kita ini adalah generasi yang beruntung secara fasilitas teknologi tapi buntung dalam hal kepekaan sosial. Akan tetapi, ketika ada gairah dalam merespon ide seperti ini, harapan baik muncul kembali. Setidaknya, terbersit harapan bahwa kita masih mau merawat kesadaran karena kesadaran itu, sesungguhnya, adalah kehendak untuk berpikir atas setiap tindakan, terutama hal-hal yang prinsip dan mendasar. 

Sesi ORDIK 2023 yang akan datang harus sudah mampu membuat mahasiswa mengerti bahwa mengemudi atau berjoget pun bisa dilakukan oleh si momo. Maka supaya si homo yang berpikir berbeda dengan si momo yang ngandalkan instink, si homo harus sadar dan tahu, bahwa belok mendadak tanpa lihat spion itu biasanya perilaku sapi, bukan sapiens.


01 Mei 2022

'Tragedi' Baju Imam Shalat Id

 

Empat atau lima tahun yang lalu, saya diminta untuk mengimami shalat id. Entah itu untuk yang pertama kali atau yang kedua kalinya, saya tidak ingat. Yang jelas, yang terus melekat, momen itu begitu kuat membekas. Apa pasal? Karena ‘kasus’ pakaian yang saya kenakan di saat membaca khotbah, saat ngimami, saat naik ke mimbar. Apakah saya menggunakan pakaian yang keliru?

Oh, tidak. Jadi, begini ceritanya. Sebagaimana kita tahu, pada hari raya, orang-orang biasanya mengenakan baju baru (padahal yang dianjurkan itu bukanlah baju baru, melainkan memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki—yang notabene biasanya yang paling baru). Tapi, apa lacur, kenyataan di masyarakat, lebaran itu identik dengan membeli baju baru untuk mendapatkan pakaian baru. Hanya sedikit dari mereka—mungkin hanya golongan tua-tua—yang tidak membeli baju baru dan hanya mengenakan pakaian yang dianggap paling pas, paling cocok, paling pantas, meskipun tidak baru.

Lalu, siapakah yang mengubah statemen “mengenakan/memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki” ke “mengenakan/memakai pakaian yang baru”? Yeah, Anda pasti tahulah, siapa yang mengubahnya, atau paling tidak, siapa yang melanggengkan anggapan seperti itu. Pakaian adalah simbol, dan seperti itulah simbol bekerja atau dibuat tetap bekerja sesuai kehendak kekuatan yang membuatnya bekerja. Pada akhirnya, ia akan berdampak pada keuntungan-keuntungan material bagi pihak-pihak tertentu di saat yang lain (merasa) terpuaskan oleh keuntungan-keuntungan spiritual.

Oh, ya, hampir lupa. Lanjut…

Waktu itu, saya tidak memakai baju baru. Saya hanya mengenakan baju putih—baju yang dianggap paling pantas buat naik mimbar. Tapi, ternyata, saya tidak sadar kalau saya melakukan ‘kekeliruan’ kecuali setelah turun dari mihrab dan setelah saya melihat hasil foto. Keganjilannya adalah; kaos dalam saya kelihatan, entah karena bahan kain baju yang terlalu tipis atau karena aura kaosnya yang terlalu kuat.











28 April 2022

Wabah dan Egoisme Manusia

 

Wabah telah berlangsung satu tahun lebih dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Kita memaksa diri untuk percaya bahwa wabah pasti berakhir, atau yakin di dalam doa saja: setidaknya wabah yang mendunia ini menjadi lebih sempit persebarannya, dari pandemi ke epidemi.


Dalam pada itu, sebagian orang iseng membuat perbandingan angka kematian dan ketidakseberapaan wabah ini, misalnya membandingkannya dengan angka kecelakaan lalu lintas atau korban demam berdarah, atau perbandingan apa pun yang tidak setimbang, tidak apple to apple, cuman mirip-mirip saja (sejenis Apple-to-Huawei). Pembandingan ini—seperti pernyataan bahwa korban jatuh dan sepeda motor dan mati masih lebih banyak daripada korban covid dan mati—sebetulnya tidaklah penting bagi data petugas kesehatan, tapi ia penting bagi masyarakat umum sebagai hiburan, untuk menenangkan. Terkadang, agar tidak benar-benar menakutkan dan kita tidak ketakutan, dalam pada itu, sebagian dari kita asyik membuat perbadingan wabah yang tak kalah ganasnya, seperti black death di Eropa. Tujuannya bukan kepentingan ilmuah, tapi agar kita lebih tenang menajali hidup.


Akan tetapi, yang saya renungkan adalah pengungulan vaksin di satu sisi dan perendahan ramuan di sisi lain. Seoalah empon-empon jadi bahan ledekan dan vaksin adalah suatu yang wajib, pasti, dan berhasil, padahal kenyataan yang terjadi adalah; vaksin hanya menolak infeksi, tapi tidak benar-benar bisa memberikan jaminan keselamatan. Bukti bahwa masyarakat yang meninggal setelah vaksin juga sudah banyak, meskipun itu perkecualian karena hari demi hari, perkembangan ketahanan manusia secara umumterus kelihatan membaik, dari vaksin dua kali ke booster, begitu seterusnya. Bagaimanapun, sains harus dikelola agar jangan sampai kehabisan marwahnya karena sesuatu yang tampaknya sangat ‘kecil’ ini.


Ada baiknya kita bertanya: mengapa orang-orang sibuk merendahkan empon-empon dan semua ramuan alternatif yang dianggap ketinggalan sebagai pelindung dan pertahanan tubuh, padahal ramuan sejenis itu, termasuk teknik akupressur-nya, konon telah dikenal 8000 tahun yang lalu, dan ia dideso-desokan oleh teknologi kedokteran yang berkembang baru 50 tahun terakhir? Mengapa kita tidak bekerja sama, saling percaya, saling menghargai, melawan satu wabah dan virus sebagai musuh bersama?

.

Dasar egois! Nih, saya buatkan puisinya.


YANG MAHA-ENTAH


Dengan shalat kita mendekat

pada Yang Mahabesar

yang karena terlampau dekat

sampai-sampai tak terlihat


Lalu, kita menjauh setelah dapat

karena yang dibutuhkan

hanya puas di dalam jasad

sekadar tahu membaca abjad


Dengan ilmu dan teknologi

dibuatlah percepatan dan pemampatan

merancang dan melampaui imajinasi

yang tak terbayangkan pernah terjadi


Lalu, datanglah wabah dan jerah

sampai-sampai kita harus meringkuk

takut pada yang mahakecil dan mahaentah

ngumpet seperti curut, di pojok rumah


Hai Manu, cuma gitu aja?

Betapa recehnya!


09/04/2020 (M. Faizi)




















11 Januari 2022

Rumah Tangga Rusak Karena 'Orang Lain'

sumber: harianmerapi

Runtuhnya rumah tangga itu bermula ketika ada orang lain yang ikut campur urusan urusan dapur (urusan rumah tangga sepasang suami-istri). Kesimpulan ini didapat dari perbincangan saya dengan Jufri Halim, teman kelas di ibtidaiyah dulu yang sekarang menjadi dosen di UIN Syarif, beberapa waktu yang lalu. Pembicaraan tersebut berlanjut tadi siang dengan Nihwan di warung pentolnya Izzy. Akhirnya, obrolan pun bermuara pada gagasan untuk memberikan konseling kepada pasangan-pasangan sekitar yang siap-siap menikah dan/atau sedang berstatus menikah. 

Menurut Jufri, dari sekian banyak pasangan yang dia datangi untuk konseling, karena hal itu termasuk program kampus, kasus perceraian terbanyak adalah dipicu oleh buntunya komunikasi antarpasangan karena kehadiran (ikut campur) orang lain. Contohnya seperti seseorang yang curhat bukan kepada pasangannya dan itulah yang disebut dengan curhat kepada orang lain. Sebab itu, ketika ada kasus dan salah satu keduanya mendatangkan lawyer, hampir pasti pernikahan sudah tidak dapat diselamatkan lagi. 

Memang ada beberapa kasus—disebut ‘beberapa’ karena tidak banyak, artinya secara prosentase hanya berada di angka (mungkin) tidak sampai puluhan—yang disebabkan oleh faktor ekonomi, tapi itu pun tidak prinsip. Ada juga yang disebabkan oleh faktor lainnya (seperti kasus mandul atau impotensi, dll), dan ini lebih kecil lagi. 

Dengan begitu, sebelum melibatkan dan kalau terpaksa harus melibatkan pihak luar, semua permasalahan harus selesai di dalam rumah. Tapi, jika terpaksa dan tidak dapat dibendung, Islam memberikan solusi syiqaq (perselisihan) ini dengan adanya perantara. Di masyarakat (Madura) biasanya menunjuk kiai (atau tokoh adat di tempat yang lain) untuk menjadi hakam (juru damai) yang dapat adil dan tidak berpihak kepada salah satu keduanya. Yang umum adalah pendamai  (hakam), satu dari keluarga suami, yang lain dari keluarga istri. Sementara wali berperan memberi pembebanan kepada masing-masing keduanya, atau keluarga, dan rekan-rekannya. Kiranya, tindakan ini adalah langkah yang bijak,

Jadi, siapakah “orang lain” itu? 

Orang lain adalah siapa pun selain pasangan. Orangtua dan mertua adalah orang lain, tetangga apalagi, media sosial pun juga. Pokoknya, selain suami yang curhat kepada istri atau sebaliknya maka itu disebut curhat kepada orang lain. Maka, curhat kepada orang lain dengan tanpa lebih dulu menyelesaikan persoalan rumah tangga secara tertutup adalah awal mula terbukanya orang lain masuk ke dalam kehidupan sebuah pasangan. Dan yang paling jahat di antara “orang lain” tersebut adalah orang yang melakukan takhbib: yaitu mereka yang sengaja menggoda-goda salah satu pasangan yang sudah sah, baik godaan secara langsung atau godaan pembuka yang membuat peluang untuk godaan selanjutnya. Saking jahatnya dosa takhbib ini sampai-sampai Rasul menyatakan bahwa orang yang melalukan takhbib bukanlah termasuk golongannya. Ia adalah dosa besar. 

Hati-hati bertetangga dan bermedia sosial, ya, kawan!

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) chatting (1) chemistry (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (1) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) pernikahan (1) persahabatan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) sugesti (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (27) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog