Durno artinya lancung. Konon, asal mula kata durno adalah akronim “ondur setan, dhateng dhano” (setan minggat, datang Dano). Dano itu, ya, sejenis setan. Frasa tersebut kira-kira mirip dengan “lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya”. Di Madura, jika ada sebutan “sepeda durno”, maka yang dimaksudkan adalah sepeda motor dengan STNK, tanpa BPKB, atau malah tanpa dua-duanya (biasanya sepeda motor sitaan). Adapun istilah rokok durno mengacu pada rokok tanpa cukai.
Saat ini, rokok durno sangat marak diproduksi. Mereknya macam-macam, bahkan menggunakan nama mobil segala. Ada Granmax, ada Ferrari, dan sebentar lagi mungkin bakal ada yang merek Boeing. Akan tetapi, jika di dunia bisnis global merek itu dipertaruhkan, di sini, masyarakat nyaris tidak peduli, bahkan sebagian mereka menggunakan istilah sendiri, seperti “720” (harga 7 ribu, isi 20 batang), “612” (harga 6 ribu, isi 12 batang), dlsb.
Memproduksi rokok durno bakal membuat orang kaya raya mendadak. Buktinya untuk ini tidak perlu dijabarkan, terlalu banyak buktinya. Pokoknya banyak, ya, begitu saja, deh, pokoknya. Tapi, rokok durno ini meresahkan negara dan pamilik modal. Bagaimana tidak, cukai hasil tembakau (CHT) yang menurut Bu Sri Mulyani nyaris tembus 200 triliun (Rp200.000.000.000.000,00) per tahun itu, gara-gara rokok non-cukai ini, bakal mengubah digit di baris depannya. Pendapatan negera dari duit cukai rokok yang dalam setahun dapat membangun (kira-kira) 40 Jembatan Suramadu itu jelas-jelas akan terganggu.
contoh beberapa rokok durno (foto pinjam punya orang) |
Di lain ladang, para petani malah senang karena tembakau mereka dipastikan akan terserap semua dan harganya pun bakal naik, beda dengan masa-masa sebelum ini yang sering tidak nutut untuk menutup biaya produksi taninya. Mereka senang karena jika selama puluhan tahun harga tembakau berada dalam situasi absurd, sekarang relatif nyata, jelas, bahkan nyaris pasti. Namun, di ladang yang lain lagi, kepastian harga itu berada di antara ketidakpastian persembunyian para pelaku ini dalam permainan petak umpat pita cukai.
Ada yang lucu di antara ketegangan ini. Saking lakunya rokok-rokok palsu alias durno ini di pasaran, malah ada orang lain yang menirunya, membuat rokok durno versi durnonya, didurnoin lagi oleh sesama pesaing durno-nya: palsu yang dipalsukan lagi. Si pembuat “durno asli” tidak berani melaporkan munculnya “durno palsu” ini ke pihak berwenang karena mereka sama-sama durno dalam level yang berbeda.
Bagaimana hukum rokok durno? Sah akad jual belinya, haram memperdagangkan karena melanggar terhadap aturan pemerintah. Keputusan hasil bahsul masail baru-baru ini. Keputusan tetaplah keputusan meskipun banyak orang yang tidak peduli. Yang pasti, tidak elok dan tidak boleh mengolok-olok hasil bahsul masail karena keputusan itu dihasilkan dari musyawarah pengambil keputusan yang kompetensi di bidang fikihnya dianggap mumpuni. Kalau tidak setuju, ya, harus ada bantahan dan argumentasi, bukan berdasarkan suka dan tidak suka.
Di ladang yang lain lagi lubuknya, seseorang bertanya:
“Memperdagangkan rokok durno dilarang karena melanggar aturan pemerintah, ya, itu saya ngerti. Lalu, apakah selama ini pemerintah, sepanjang beberapa tahun terakhir, telah menjalankan tugasnya sesuai aturan, terutama terkait tata kelola tani dan khususnya tembakau? Apakah mereka membela kami, petani, dan bukannya membela pemilik modal?”
Saya tidak bisa menjawabnya karena saya tidak tahu. Pengetahuan saya cetek, tidak sampai ke situ. Saya hanya bilang begini:
“Yang saya tahu, duit negara dari hasil cukai tembakau itu swangat banyak, tapi rakyat seakan-akan (seakan-akan, lho) berjalan sendiri dan mengurus tani (tembakau)nya semau-maunya sendiri. Terus, kebijakan pemerintah itu bergantung orang-orang di parlemennya; orang-orang di parlemen bergantung kepada para pemilihnya; dan para pemilih itu, kamu di antaranya, (banyak yang) bergantung kepada uang suara yang diperolehnya. Jika satu suaramu dibeli dengan harga Rp750.000, maka setiap hari, selama 5 tahun, suara pemilih, ya, kayak kamu itu, dibanderol Rp410, setara dengan harga sebatang rokok durno.”