Suatu
hari, saya ketibaan dua orang tamu. Satunya membawa segepok karya. Dia bilang,
dia harap agar saya bisa membacanya dan memberikan tanggapan, sejenis
endorsemen. Saya bilang kepada satu dari dua orang itu agar meminta komentar
kepada guru bahasa atau tokoh sanggarnya saja. “Itu lebih baik karena merekalah
yang membimbing kamu,” saya bilang begitu. Entah alasan apa, dia ingin agar saya
juga menulis komentar untuk puisi yang akan segera diterbitkannya ini.
“Ya, Sampeyan pulang dulu. Kapan dibutuhkan?” Saya biasa
menanyakan hal seperti ini untuk menguji tingkat kepentingan. Biasanya, orang-orang
dan bahkan kita pun akan menjawab “secepat mungkin”, atau “lebih cepat lebih
baik”, dan sejenisnya. Nah, untuk hal seperti ini, saya sudah menyiapkan jawaban
berdasarkan pengalaman yang saya alami. “Ya, kalau bisa besok atau lusa,”
katanya. “Hah, besok atau lusa?” Mata saya membelalak. “Begini, saya pernah
minta kata pengantar pada seseorang dan hampir satu tahun lamanya, lho, buat
menunggu. Itupun yang saya dapatkan ‘hanya’ komentar pendek. Masa kamu kamu minta
saya membaca secepat itu?”
Wajahnya tiba-tiba sedih. Saya segera menghiburnya. “Rabu
depan kamu kembali!”
Selama rentang waktu kira-kira 5 hari, saya menyempatkan
diri untuk membaca karyanya itu. Alangkah kaget, astaga, saya jumpai beberapa
frase dan kalimat yang sungguh-sungguh saya kenali, yaitu puisi saya sendiri.
Dia mengubah beberapa bagian pada puisi untuk menghilangkan jejak puisi saya di
dalam puisinya. Tapi, namanya juga karya saya sendiri, tentu saya tetap kenal
bagian-bagian yang diubah itu karena perubahannya pun tidak banyak. Sayang sekali,
dia ini kurang kreatif. Dia hanya melakukan penggantian di level kata (diksi)
dan sejenisnya.
Dari pembacaan itu, saya berkesimpulan bahwa orang ini
punya niat tidak baik, yaitu menjiplak. Ah, jangan-kangan itu kebetulan. Ah,
masa kebetulan? Satu-dua sih iya, tapi kalau sampai sebegitu banyaknya, jelas
ini pemalsuan namanya. Saya lantas menaruh curiga, dia tidak hanya kulakan
puisi dari karya saya, melainkan juga dari karya-karya orang lain. Hanya saja
saya yang tidak mampu mengenalinya.
Adalah suatu hal yang aneh karena orang itu datang kepada
saya, kepada orang yang puisi-puisinya justru ditirunya. Mungkin, dia tidak
tahu dan tidak pernah kenal dengan wajah saya; mungkin pula ia mendapatkan
puisi saya tersebut dari lembaran-lembaran yang ditulis ulang dan telah
dihilangkan nama pengarangnya (saya) untuk kepentingan tertentu; atau juga dia
menemukan puisi itu dan tahu itu karya saya tapi tidak tahu siapa saya serta
tidak pernah saling-bertemu sebelumnya. Apes benar dia.
Rabu yang
ditentukan, dia datang. Setelah berbasa-basi dan saya suguhkan kopi, saya
bilang kalau saya keberatan untuk memberikan endorsemen untuknya. Dia diam,
tidak ada tanggapan. Mulailah saya mencari tahu dengan cara bertanya pada
masalah tingkat paling rendah, yakni seputar kosa kata. Saya menyebut suatu
kata, hanya sebagai contoh, seperti ini, misalnya:
“Dari mana kamu dapat kata Wayanjana?” Saya tanyakan ini
karena kosa kata dimaksud—sebagai contoh—ada di dalam puisi saya yang ditirunya
itu.
“Dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia,” jawabnya.
“Ah, kata
itu tidak ada dalam KBBI, lho, ya. Jangan ngarang!” Dia diam, saya bertanya
lagi,
“Kamu
tahu, apa itu Wayanjana?” Dia menggeleng tanda tak tahu. “Loh, tadi kami bilang
kata itu kamu ambil dari kamus besar, sekarang kamu bilang nggak tahu. Baiklah,
kamu sudah jujur dengan bilang nggak tahu. Tapi, kenapa kamu menulis sesuatu
yang kamu nggak tahu?”
Dia diam begitu lama. Akhirnya, saya minta temannya itu
untuk membacakan karya saya. Sementara dia sendiri membacakan karyanya, secara
bersamaan. Akhirnya, dia tahu kalau kedua puisi itu relatif sama, bahkan dalam
jumlah bait dan barisnya.
“Penyair dan seniman itu harus jujur. Berhentilah melakukan
penjiplakan.” Dia pun pamit pulang. Dia tersenyum meskipun terasa hambar. Tapi,
tak apalah asalkan dia menyadari kekeliruannya. Dan setelah mereka berdua
menghilang dari pandangan, saya berdoa. “Semoga penyair itu segera mendapatkan
hidayah dan tidak suka menipu lagi.”