01 Mei 2022

'Tragedi' Baju Imam Shalat Id

 

Empat atau lima tahun yang lalu, saya diminta untuk mengimami shalat id. Entah itu untuk yang pertama kali atau yang kedua kalinya, saya tidak ingat. Yang jelas, yang terus melekat, momen itu begitu kuat membekas. Apa pasal? Karena ‘kasus’ pakaian yang saya kenakan di saat membaca khotbah, saat ngimami, saat naik ke mimbar. Apakah saya menggunakan pakaian yang keliru?

Oh, tidak. Jadi, begini ceritanya. Sebagaimana kita tahu, pada hari raya, orang-orang biasanya mengenakan baju baru (padahal yang dianjurkan itu bukanlah baju baru, melainkan memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki—yang notabene biasanya yang paling baru). Tapi, apa lacur, kenyataan di masyarakat, lebaran itu identik dengan membeli baju baru untuk mendapatkan pakaian baru. Hanya sedikit dari mereka—mungkin hanya golongan tua-tua—yang tidak membeli baju baru dan hanya mengenakan pakaian yang dianggap paling pas, paling cocok, paling pantas, meskipun tidak baru.

Lalu, siapakah yang mengubah statemen “mengenakan/memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki” ke “mengenakan/memakai pakaian yang baru”? Yeah, Anda pasti tahulah, siapa yang mengubahnya, atau paling tidak, siapa yang melanggengkan anggapan seperti itu. Pakaian adalah simbol, dan seperti itulah simbol bekerja atau dibuat tetap bekerja sesuai kehendak kekuatan yang membuatnya bekerja. Pada akhirnya, ia akan berdampak pada keuntungan-keuntungan material bagi pihak-pihak tertentu di saat yang lain (merasa) terpuaskan oleh keuntungan-keuntungan spiritual.

Oh, ya, hampir lupa. Lanjut…

Waktu itu, saya tidak memakai baju baru. Saya hanya mengenakan baju putih—baju yang dianggap paling pantas buat naik mimbar. Tapi, ternyata, saya tidak sadar kalau saya melakukan ‘kekeliruan’ kecuali setelah turun dari mihrab dan setelah saya melihat hasil foto. Keganjilannya adalah; kaos dalam saya kelihatan, entah karena bahan kain baju yang terlalu tipis atau karena aura kaosnya yang terlalu kuat.











28 April 2022

Wabah dan Egoisme Manusia

 

Wabah telah berlangsung satu tahun lebih dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Kita memaksa diri untuk percaya bahwa wabah pasti berakhir, atau yakin di dalam doa saja: setidaknya wabah yang mendunia ini menjadi lebih sempit persebarannya, dari pandemi ke epidemi.


Dalam pada itu, sebagian orang iseng membuat perbandingan angka kematian dan ketidakseberapaan wabah ini, misalnya membandingkannya dengan angka kecelakaan lalu lintas atau korban demam berdarah, atau perbandingan apa pun yang tidak setimbang, tidak apple to apple, cuman mirip-mirip saja (sejenis Apple-to-Huawei). Pembandingan ini—seperti pernyataan bahwa korban jatuh dan sepeda motor dan mati masih lebih banyak daripada korban covid dan mati—sebetulnya tidaklah penting bagi data petugas kesehatan, tapi ia penting bagi masyarakat umum sebagai hiburan, untuk menenangkan. Terkadang, agar tidak benar-benar menakutkan dan kita tidak ketakutan, dalam pada itu, sebagian dari kita asyik membuat perbadingan wabah yang tak kalah ganasnya, seperti black death di Eropa. Tujuannya bukan kepentingan ilmuah, tapi agar kita lebih tenang menajali hidup.


Akan tetapi, yang saya renungkan adalah pengungulan vaksin di satu sisi dan perendahan ramuan di sisi lain. Seoalah empon-empon jadi bahan ledekan dan vaksin adalah suatu yang wajib, pasti, dan berhasil, padahal kenyataan yang terjadi adalah; vaksin hanya menolak infeksi, tapi tidak benar-benar bisa memberikan jaminan keselamatan. Bukti bahwa masyarakat yang meninggal setelah vaksin juga sudah banyak, meskipun itu perkecualian karena hari demi hari, perkembangan ketahanan manusia secara umumterus kelihatan membaik, dari vaksin dua kali ke booster, begitu seterusnya. Bagaimanapun, sains harus dikelola agar jangan sampai kehabisan marwahnya karena sesuatu yang tampaknya sangat ‘kecil’ ini.


Ada baiknya kita bertanya: mengapa orang-orang sibuk merendahkan empon-empon dan semua ramuan alternatif yang dianggap ketinggalan sebagai pelindung dan pertahanan tubuh, padahal ramuan sejenis itu, termasuk teknik akupressur-nya, konon telah dikenal 8000 tahun yang lalu, dan ia dideso-desokan oleh teknologi kedokteran yang berkembang baru 50 tahun terakhir? Mengapa kita tidak bekerja sama, saling percaya, saling menghargai, melawan satu wabah dan virus sebagai musuh bersama?

.

Dasar egois! Nih, saya buatkan puisinya.


YANG MAHA-ENTAH


Dengan shalat kita mendekat

pada Yang Mahabesar

yang karena terlampau dekat

sampai-sampai tak terlihat


Lalu, kita menjauh setelah dapat

karena yang dibutuhkan

hanya puas di dalam jasad

sekadar tahu membaca abjad


Dengan ilmu dan teknologi

dibuatlah percepatan dan pemampatan

merancang dan melampaui imajinasi

yang tak terbayangkan pernah terjadi


Lalu, datanglah wabah dan jerah

sampai-sampai kita harus meringkuk

takut pada yang mahakecil dan mahaentah

ngumpet seperti curut, di pojok rumah


Hai Manu, cuma gitu aja?

Betapa recehnya!


09/04/2020 (M. Faizi)




















11 Januari 2022

Rumah Tangga Rusak Karena 'Orang Lain'

sumber: harianmerapi

Runtuhnya rumah tangga itu bermula ketika ada orang lain yang ikut campur urusan urusan dapur (urusan rumah tangga sepasang suami-istri). Kesimpulan ini didapat dari perbincangan saya dengan Jufri Halim, teman kelas di ibtidaiyah dulu yang sekarang menjadi dosen di UIN Syarif, beberapa waktu yang lalu. Pembicaraan tersebut berlanjut tadi siang dengan Nihwan di warung pentolnya Izzy. Akhirnya, obrolan pun bermuara pada gagasan untuk memberikan konseling kepada pasangan-pasangan sekitar yang siap-siap menikah dan/atau sedang berstatus menikah. 

Menurut Jufri, dari sekian banyak pasangan yang dia datangi untuk konseling, karena hal itu termasuk program kampus, kasus perceraian terbanyak adalah dipicu oleh buntunya komunikasi antarpasangan karena kehadiran (ikut campur) orang lain. Contohnya seperti seseorang yang curhat bukan kepada pasangannya dan itulah yang disebut dengan curhat kepada orang lain. Sebab itu, ketika ada kasus dan salah satu keduanya mendatangkan lawyer, hampir pasti pernikahan sudah tidak dapat diselamatkan lagi. 

Memang ada beberapa kasus—disebut ‘beberapa’ karena tidak banyak, artinya secara prosentase hanya berada di angka (mungkin) tidak sampai puluhan—yang disebabkan oleh faktor ekonomi, tapi itu pun tidak prinsip. Ada juga yang disebabkan oleh faktor lainnya (seperti kasus mandul atau impotensi, dll), dan ini lebih kecil lagi. 

Dengan begitu, sebelum melibatkan dan kalau terpaksa harus melibatkan pihak luar, semua permasalahan harus selesai di dalam rumah. Tapi, jika terpaksa dan tidak dapat dibendung, Islam memberikan solusi syiqaq (perselisihan) ini dengan adanya perantara. Di masyarakat (Madura) biasanya menunjuk kiai (atau tokoh adat di tempat yang lain) untuk menjadi hakam (juru damai) yang dapat adil dan tidak berpihak kepada salah satu keduanya. Yang umum adalah pendamai  (hakam), satu dari keluarga suami, yang lain dari keluarga istri. Sementara wali berperan memberi pembebanan kepada masing-masing keduanya, atau keluarga, dan rekan-rekannya. Kiranya, tindakan ini adalah langkah yang bijak,

Jadi, siapakah “orang lain” itu? 

Orang lain adalah siapa pun selain pasangan. Orangtua dan mertua adalah orang lain, tetangga apalagi, media sosial pun juga. Pokoknya, selain suami yang curhat kepada istri atau sebaliknya maka itu disebut curhat kepada orang lain. Maka, curhat kepada orang lain dengan tanpa lebih dulu menyelesaikan persoalan rumah tangga secara tertutup adalah awal mula terbukanya orang lain masuk ke dalam kehidupan sebuah pasangan. Dan yang paling jahat di antara “orang lain” tersebut adalah orang yang melakukan takhbib: yaitu mereka yang sengaja menggoda-goda salah satu pasangan yang sudah sah, baik godaan secara langsung atau godaan pembuka yang membuat peluang untuk godaan selanjutnya. Saking jahatnya dosa takhbib ini sampai-sampai Rasul menyatakan bahwa orang yang melalukan takhbib bukanlah termasuk golongannya. Ia adalah dosa besar. 

Hati-hati bertetangga dan bermedia sosial, ya, kawan!

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog