08 Desember 2015

Gara-gara TOA Setitik, Rusak Masjid Seluruhnya

Ada seseorang—saya kenal dan saya tahu persis; seorang anggota takmir masjid dekat rumahnya—yang akhirnya pindah rumah gara-gara tidak tahan pada keberisikan pengeras suara masjidnya. Rumahnya memang sangat dekat dengan masjid, bisa disebut hanya sepelongokan leher. Masjid yang merupakan tempat ibadah dan kedamaian justru menjadi momok menakutkan karenanya.

“Bukan saya tidak suka bacaan-bacaan, mana mungkin ada seorang muslim yang tidak suka mendengarkan lantunan ayat suci Alquran?” keluhnya suatu waktu, “namun jika itu dikumandangkan dengan sangat keras dan sepanjang hari lamanya, siapa yang tahan?” katanya suatu waktu.


Sebetulnya, ia sudah bermusyawarah dengan anggota takmir yang lain agar pengeras suara masjid hanya digunakan untuk azan. Boleh juga digunakan untuk dzikir menjalang iqamah shalat berjalamah dan atau pada waktu-waktu pendek-pendek saja. Hal ini dimaksudkan agar suara yang baik tidak menjadi gangguan yang pada akhirnya akan membuat orang menganggap semua suara yang baik adalah gangguan, sejenis gara-gara ‘nila setitik rusak susu sebelanga’, atau pars pro toto; sebagian namun lantas dianggap mewakili keseluruhan (yang terakhir ini kurang pas, ya?).


Memang, ada yang tak suka mendengarkan panggilan kebenaran?

“Capek,” katanya, “kalau harus melayani orang yang bertanya begitu sementara dia sudah tahu kasus yang saya alami.”

Dia kelihatan sudah lelah. Pertanyaan retoris seperti itu seolah menganggapnya, bagi dia, tidak setuju dengan suara-suara yang oleh banyak orang dianggap suara kebaikan, suara kebenaran, padahal kasusnya tidak demikian simpel. Masa jika tidak setuju pengeras suara diputar keras dalam waktu tertentu lantas dicap makar dan menentang perintah tuhan? Ia mengeluh. Ia capek.

Sepintas, sungguh rasanya tidak masuk akal ada orang yang pindah rumah gara-gara tidak tahan mendengar TOA. Iya, ini terjadi betulan dan saya saksinya. Rupanya, tidak semua panggilan kebaikan itu menjadi baik jika tidak disampaikan dengan baik-baik.




03 Desember 2015

Ustad

Di terminal, makelar punya kecepatan mengidentifikasi calon penumpang berdasarkan busananya. Acapkali mereka memanggil dengan sebutan yang menyiratkan keakraban, sekiranya pas karena dianggap tepat. Orang-orang pasar juga punya keahlian serupa, seperti abang becak dan penjual, misalnya. Intinya, di banyak tempat umum, pengalaman dalam mengidentifikasi cepat seperti ini sering kali terjadi.

Jika ada seorang berusia 40 atau 50-an dan mengenakan peci haji, ia akan disapa dengan “Mau ke mana, Pak Haji?” (di terminal) dan atau “Cari apa, Pak Haji?” (di pasar). Tentu, makelar dan pedagang tidak perlu melakukan wawancara lebih dulu apakah orang yang melintas tersebut sudah menunaikan ibadah haji atau belum. Mereka hanya memindai secara cepat terhadap salah satu simbol busananya; peci atau jubah atau surban yang dikenakan.

Adanya sinetron, filem, juga sosial media yang menokohkan seseorang yang (kelihatan seperti) ahli dalam agama berdasarkan busananya membuat definisi ‘ustad’ menjadi meluas. Maka dari itu, jika ada orang yang kalau ngomong sebentar-sebentar membumbui ucapannya dengan bahasa Arab dan atau juga kutipan hadits akan dengan mudah disebut ustad oleh sekelompok orang tertentu. Memang, penggunaan panggilan atau sebutan macam ini bukan hal yang salah. Akan tetapi, apa benar ia seorang ustad, seorang ahli, seorang pakar (di bidangnya)?

Kita maklum, karena nongol belakangan, Bahasa Indonesia mengunduh kosa kata dan lema dari bahasa berbagai bangsa. Yang paling banyak tentu dari bahasa daerah, bahasa serumpun, dan dari Bahasa Arab (karena faktor kitab dan penyebaran Islam), juga dari Bahasa Belanda (karena unsur penjajahan yang lama), dan tentu saja, yang terakhir dari Bahasa Inggris (karena penggunaan istilah-istilah mutakhir/teknologi). Dalam proses itu, terjadi pergesaran makna; baik menyempit, meluas, atau bahkan menyimpang.

Di sini, saya akan membicarakan lema yang berasal dari Bahasa Arab saja agar tidak kebablasan ngomong ke mana-mana. Sebut saja satu contoh: ‘amal’. Kata amal mengalami penyempitan. Arti asal amal adalah berbuat/perbuatan, tapi kini disempitkan hanya untuk perbuatan baik. Jika ditulis; “Umumnya, maling beramal di malam hari”, jadi wagu, kan?

Yang maknanya meluas juga ada, dan inilah yang sedang kita bicarakan. Sebut contoh: ustad. Di Indonesia khususnya, makna kata ustad telah meluas, bahkan nyaris salah kaprah. Mestinya, sebutan ustad itu istimewa karena ia adalah gelar kepakaran yang disematkan untuk ahli di bidang ilmu tertentu, semacam profesor. Penggunaan gelar dalam jagat akademik, ustad adalah pakar. Penyebutan ‘al-ustad fi al-falsafah’ adalah guru besar filsafat, dst.

Di Madura, mungkin pula di daerah lain, kini, jika yang sedang melintas adalah seorang remaja usia 30-an tahun, bersarung dan berpeci, baik putih maupun peci hitam, orang cenderung langsung menyapanya dengan sebutan ‘ustad’. Sebutan ini adalah identitas bagi seorang pengajar, guru di pondok pesantren, ataupun santri senior. Ustad mengalami perluasan makna dari kata asalnya yang memiliki arti guru ahli atau profesor. Saat ini, khususnya di Indonesia, kata ‘ustad’ dipahami sebagai guru agama atau mereka yang ahli di bidang agama.

Bagian yang ‘menyimpang’ (saya mengapit kata ‘menyimpang’ ini dengan dua tanda kutip dengan maksud bahwa kata tersebut dinaturalisasi dengan kesalahpahaman dari kata asalnya) ada juga, lho. Contohnya adalah ‘kalimat’. Kalimat berasal dari bahasa Arab ‘kalimah’ atau ‘kalimat’ yang berarti ‘kata’, namun di sini ia bermakna: sebuah susunan kata yang memiliki satu pemahaman atau pengertian (kalam), alias sebuah susunan yang dapat dimengerti dan predikatif.

Kasus demi kasus kebahasaan semacam itu dimaklumi saja. Namanya juga akulturasi dan asimilasi, wajarlah, mau apalagi? Toh, bahasa itu terbentuk berdasarkan konvensi. Andai kita bersepakat memahami ‘chair’ sebagai verba ‘meleleh’ pun tidak apa-apa meskipun dalam Bahasa Inggris itu bermakna ‘kursi’. Di sisi yang lain, terkadang kita cenderung menggunakan kata tertentu hanya karena sudah paham terhadap artinya harfiahnya, bukan paham secara istilah, sehingga sesekali kita mendengar ada orang yang menggunakan kata ‘al-hafidh’ (makna: penghafal) untuk gelar penghafal Alquran, padahal secara istilah ia merupakan gelar terhadap penghafal hadits.

Kembali ke ustad, kita tidak perlu menyalahkan wartawan atau pakar dan pengguna bahasa yang telah terlibat aktif dalam melakukan tindak perluasan dan penyempitan makna ini, atau pula yang menyimpangkannya. Semua itu merupakan ‘sunnah’ bahasa. Yang jadi masalah adalah apabila membiarkan kata-kata yang telah meluas ini digunakan secara sembarangan tanpa dasar pengetahuan.

Ada cerita anak-anak muda (atau siapa pun) yang karena kebanyakan nonton sinetron dan daring di Facebook lantas dengan mudah latah dan ikut-ikutan. Kacaulah jika mereka begitu mudah terpedaya oleh penampilan tokoh melalui identitas fisiknya sebaimana sering nongol di acara tertentu di televisi atau dalam sinetron-sinetron. Modal hafal hadis atau ayat untuk tema tertentu tidaklah cukup untuk menjadi ustad. Beban moral dan pengetahuan ustad tidak seenteng itu, dan terlebih jika ditambah berlagu nuding sana-sini dengan mengafirkan sesama "ahlul qiblat", sesama muslim yang masih salat.

Apa yang terjadi kemudian? Maka, “semua ustad” pun bakal kena getahnya. Kata pepatah: “Gara-gara ngawur setitik, rusak ustad seluruhnya”.

CATATAN: yang baku adalah "ustaz" menurut KBBI, cuma saya, kok, enggak tega untuk menulis begitu. Maaf, ya!

09 Oktober 2015

Gelang Karet

“Imam, sini kamu!”

Imam pun maju ke depan kelas. Pak Guru menjewer telinganya seraya berkata, “Kan sudah kubilang, kalau jangan cowok pakai gelang biar enggak kayak cewek.” Seluruh kelas malah gerrr. Imam kembali duduk, namun malah cengengesan, berbisik sama teman duduknya, jumawa, “Enggak sakit!” katanya.

Bukan sebab tidak setia kawan kalau setelah itu si teman duduk berdiri dan berkata lantang, “Pak, kata Imam, barusan itu enggak sakit katanya, Pak!”. Dia itu hanya terlalu polos, kurang tahu situasi dan keadaan. Maklum, mereka masih kelas 2 ibtidaiyah alias sekolah dasar.

Kini, giliran Pak Guru yang mendekati. Imam memang masih tetap duduk dengan mata menatap lurus ke depan, sama sekali tidak memperhatikan langkah-langkah Pak Guru ke arahnya, namun ada sesuatu yang tidak dapat disembunyikan: air mukanya berubah, tegang, kelam bersemu merah. Ia membayangkan apa yang akan terjadi dalam beberapa detik lagi; membayangkan Pak Guru akan menarik 3 gelang karet yang dipakainya di pergelangan tangan kirinya itu secara bersamaan lalu melepasnya sekaligus.

Pak Guru kini berdiri di samping Imam. Suasana tegang lalu kelas menjadi hening. Semua murid seolah-olah sedang menunggu keputusan yang menyangkut hidup dan mati…

* * *

“Masih ingat kejadian itu, Mam?” tanya saya padanya beberapa waktu yang lalu. Imam tertawa. “Sungguh indah masa kanak-kanak,” bisiknya lirih. “Kami merindukan masa-masa seperti itu.”

Kami pun bernostalgia, teringat masa kanak dulu. Ada kawan kami yang mungkin kalau mandi tidak pernah pakai sabun, tubuhnya bau daging sapi. Ada kawan kami yang rambutnya senantiasa klimis oleh minyak goreng, “Biar hitam mengkilat,” katanya. Pomade sejenis Brisk atau Tancho hanya biasa dipakai oleh orang dewasa. Terkadang kami saling ngerjain satu sama lain, semisal menarik kolor dari arah belakang hingga menyentuh tanah. Tak ada amarah, tak ada dendam. Hukuman seperti yang berlangsung di atas itu adalah hal biasa, termasuk bagian dari hiburan kami yang salah satu lainnya adalah mengisi mata pelajaran pertama di hari tertentu dengan mandi bersama ke sumber air yang tak jauh dari madrasah.

“Mam, andai sekarang kamu pakai gelang karet dan kamu diperlakukan begitu oleh gurumu, apa tindakanmu?”
“Lapor orang tua agar dilaporkan ke dinas terkait, atau kalau perlu ke Komnas Anak!”

Kami tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang terlalu lucu, memang. Kami hanya menertawakan keadaan yang sekarang berubah. Dikiranya ilmu manfaat itu bisa datang dari mulut ke telinga, dari buku ke pikiran, dari membaca ke pengertian? Ia datang dari hati ke hati, dari dada ke dada, melalui doa guru kepada murid di malam yang hening di saat mungkin orangtuanya malah tidur pulas dan tidak tahu apa yang akan dipelajari anaknya esok hari.



19 September 2015

Benar Apa Adanya


Kadang kita melakukan sesuatu secara benar namun salah di mata orang lain. Jika kita ditegur, sangat mungkin kita tidak terima karena kita telah melakukan perilaku yang tidak salah secara hukum formal. Kadang pula, ada orang yang—untuk kasus sejenis—tidak menegur karena memang menanggap tindakan yang tidak mengenakkannya dianggap benar dan dia untuk sementara tidak punya alasan untuk menegurnya.

Saat kita duduk di sebuah warung untuk makan, lalu datang sebuah mobil pengangkut ayam parkir persis di depan kita, apa yang akan kita lakukan? Mobil sudah parkir sesuai aturan, sesuai areal parkir yang disediakan sedangkan kita duduk di meja yang disediakan dan melakukan apa yang mestinya dilakukan; makan. Sementara itu, bau kotoran ayam dari mobil yang jaraknya hanya 3 atau 4 langkah dari hadapan kita sangatlah menyengat.

Jika apa-apa kita lakukan hanya karena alasan benar, sungguh terkadang itu menyengsarakan bagi orang lain. Oleh karena itu, baiknya kita selalu berpikir ulang saat hendak melakukan sesuatu yang melibatkan orang lain. Benar tidak tentu menyenangkan bagi orang lain. Kerap muncul sisi gelap dalam kebenaran yang dilakukan secara apa adanya. Sebab karena kebenaran itu sangat mulia, tidak boleh kita lakukan secara apa adanya.



01 Agustus 2015

Mitos Sebagai Hukum(an)

Ini adalah kejadian tahun lalu. Entah seperti apa di tahun ini, saya tidak tahu karena saya tidak terlibat langsung dalam kemacetan pasar tumpah yang terjadi hampir setiap hari di ruas jalan Pamekasan-Sampang-Bangkalan. Akan tetapi, laporan beberapa orang dan kawan yang sedang melakukan perjalanan cenderung mengabarkan hal sama, macet luar biasa.

Saya sempat menyaksian arus balik pada hari Ahad 7 Syawal alias 3 Agustus 2014), dari arah Madura ke Surabaya, pertunjukan iring-iringan kendaraan bermotor yang sungguh dramatis. Sebab dari semua ini adalah karena hari itu adalah puncak arus balik, mungkin. Setiap kali arus lalu lintas tersendat, langsung saja dari kanan kiri ada yang nyerobot. Yang kanan melawan arah tentunya, yang di kiri lewat di bahu jalan. Mengapa ini bisa terjadi? Ada beberapa alasan: tergesa-gesa; sudah terbiasa; terinspirasi voorijder (patwal), dll.

Akan tetapi, saya masih bisa berpikir dan menduga, bahwa yang suka nyerobot dalam kasus ini bukanlah orang lokal atau warga setempat karena dalam kehidupan sehari-hari saya jarang sekali menekukan hal yang seperti ini. Mungkin kebanyakan dari mereka adalah ‘orang lokal’ yang kini telah mengalami internalisasi ‘nilai-nilai penyerobotan’ di tempat yang jauh, di perantauan, di ibu kota, misalnya. Ketika kebiasan buruk itu dipentaskan di dunia lokal yang selama ini tertib, saya yakin, sedikit-banyak, pada saat itu pula terjadi salin-nilai, sebuah perilaku buruk dalam bertata tertib yang disampaikan langsung di jalan raya, leh orang jauh kepada orang setempat. Soal seberapa besar pengaruhnya, saya tidak tahu.

Ketika aturan tertib lalin bisa disepelekan, hukum dilecehkan, fatwa agama tidak diindahkan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem ini tampaknya adalah mitos. Maksudnya, upaya memperbaiki dan menata kembali itu masih dapat dilakukan, namun bukan lagi dengan hukum dan agama, melainkan melalui mitos. Orang dulu menciptakan mitos, di antaranya, adalah untuk ‘menjaga harmonisasi’ kehidupan.

Mengapa mitos yang cenderung sulit dirasionalisasi itu terbukti masyarakat tidak melawannya. Pasalnya, di balik mitos adanya ancaman yang juga tidak masuk akal di saat orang-orang hanya bisa berpikir rasional. Contoh: “Pohon besar adalah rumah makhluk halus, jangan ditebang, kecuali akan kesurupan”. Bagi sebagian, harus ada bukti agar sebuah kepercayaan ditaati. Bagi sebagian lain tidak perlu bukti karena mereka yakin sudah terbukti namun tanpa diketahui.

Kini, mitos seperti itu telah dimatikan oleh mitos yang lainnya, mitos digital. Angka-angka dan data yang dipalsukan mampu menghapus mitos. Ancaman tak terlihat, tulah, kualat, dikalahkan oleh digit-digit ini. Bagaimana proses ini bisa terjadi? Demikinalah perkembangan wawasan dan pengetahuan manusia. Dalam setiap masa, selalu saja ada perubahan sudut pandang. Begitulah mansia berdialog dengan sesama, dengan alam, dengan Tuhan.


Lalu, mitos apa yang sebaiknya diciptakan terkait kasus ini? “Barangsiapa yang menyerobot hak orang lain, secara fisik ia memang akan segera sampai di tempat tujuan, namun keinginannya yang lain akan tertahan: yang bujang tidak cepat laku; yang miskin tidak segera kaya, yang mogok bakal tidak ditolong montir atau tidak nemu bengkel.”

19 Mei 2015

Mengubah Kaset Pita Menjadi MP3

Sebelum YouTube bisa diakses dengan baik lantaran kecepatan internet hanya 33-41 kbps di jaringan ‘telkomnet instan’, tidak sembarang lagu mudah didapat. Saya ingin memiliki memutar banyak lagu lewat komputer, sayangnya kebanyakan lagu masih dalam bentuk  pita kaset (file mp3 pertama yang tahu adalah album Cross Road-nya Bon Jovi di tahun 1996), sementara tape pemutarnya sudah pada rusak.

Maka, yang saya lakukan adalah memutar lagu yang masih tersimpan dalam kaset. Maka, yang dilakukan adalah mencari pinjaman tape recorder, merekamnya, dan menyimpannya dalam bentuk file audio, mp3 misalnya.

September tahun 2000, saya punya PC IBM 166 dengan soundcard Yamaha. Dari komputer ini saya kemudian mencoba merekam beberapa lagu dari pita kaset. Lagu yang pertama saya rekam adalah lagunya Amr Diab, “Habibi ya Nuril ‘Ain”. Konon, ia adalah lagu Arab pertama yang bisa nyelonong masuk dan nangkring di Top 40 Billboard Amerika. Menggunakan tape dan direkam dengan “Y-Station”, sebuah perangkat lunak yang merupakan bagian dari soundcard tersebut. Sayangnya, cara ini benar-benar manual. Lagu yang sudah direkam tidak dapat diedit lagi, padahal hardisk komputer saya kala itu hanyalah 2,1 Gb dengan RAM 32.

Seorang sahabat, Abidah el-Khalieqy, yang kebetulan sangat menyukai Mayadah el Hennawi yang kebetulan saya miliki kasetnya, nekat meminjam kaset saya lantas merekam pita kaset tersebut ke sebuah studio di Jogja, Silver, di Papringan dengan ongkos 50.000. Betapa mahalnya, uang segitu banyak (zaman segitu, lho) hanya dapat 1 album kaset. Jika tak salah ingat, itu terjadi tahun 2001.

Tahun 2006, setelah saya punya komputer IBM IntelliStation 450 Mhz (pentium III) dengan hardisk 40 Gb, serta mulai kenal perangkat lunak Cool Edit (belakangan dibeli Adiobe dan jadi Adobe Audition), mulailah saya merekam kaset-kaset saya, terutama kaset yang berisi lagu dan sekiranya susah ditemukan di web atau di hardisk teman. Tentu, cara ini sangat melelahkan karena kerja yang lambat sebab RAM komputer hanya 384 (256 + 128).

Berikut adalah cara yang saya gunakan untuk merekam pita kaset itu:
1.      siapkan tape (pemutar pita kaset)
2.      pastikan head/kop tape tersebut sudah bersih (sebab jika lama tidak digunakan ada kemungkinan berjamur; dapat Anda bersihkan dengan alkohol atau cairan pembersih CD/DVD-ROM),
3.      siapkan kabel (ujung yang satu masuk ke line-out di tape tersebut [umumnya jack RCA yang berwatna merah-putih-kuning] dan ujung yang satu dicolokkan ke line-in komputer dan biasanya pakai jack ukuran 3,5)
4.      buka Cool Edit atau Adobe Audition, buka tab “New”
5.      mulai merekam
6.      simpan sebagai *wav ataupun mp3
7.      selesai


Setelah menjadi sebentuk file, pastikan ada bagian ‘senyap’ pada awal dan akhir lagu. Saya menggunakan 1 detik senyap sebelum mulai dan 2 detik sebelum senyap berakhir. Atau, Anda bisa menggunakan ‘fade in’ dan ‘fade out’ untuk menggantikan suara senyap itu (klik tab Favorite). Yang juga perlu diperhatikan, jika Anda punya hardisk berkapasitas besar, simpan saja file dalam bentuk ‘wav’ sehingga pada suatu saat Anda bisa membuatnya menjadi mp3 atau file yang lebih jernih lagi, seperti *FLAC dll. Jika Anda terlanjur menyimpan dalam bentuk mp3, Anda sudah tidak dapat mengembalikan file itu kepada kualitas yang 'asli' (seperti kaset) karena mp3 merupakan file yang sudah dikompres/dimampatkan. Demikian juga, standar bitrate mp3 itu 128, tapi untuk yang lebih bagus tentu kita dapat pilih untuk menggunakan bitrate 192 atau 256. selamat mencoba.

SEKADAR BERBAGI PENGALAMAN, di antara file mp3 yang pernah saya buat dan paling populer dalam penyebarannya adalah file pengajian murattal Syaikh Mahmud Khalil Al-Husari yang saya tayangkan di blog.  Ternyata, hingga artikel ini ditulis (hari ini, 19 Mei 2015) pos tersebut sudah dilihat 53.021 kali.
Saya beranggapan, semula banyak orang yang menginginkan file audio murattal yang sangat masyhur di Nusantara ini namun belum ada filenya. Atas dasar itu, lantas saya alihmediakan, dari kaset ke mp3. Sekarang, barangkali sudah banyak yang juga melakukan seperti yang saya lakukan atas murattal tersebut. Akan tetapi, saya masih tahu dan titen, apabila Anda punya file murattal Surah Al-Hujurat tersebut, manakah file yang saya buat dan mana pula yang lain. Bila file mp3 yang saya buat itu diputar, perhatikan pada detik ke 24-25, apabila terdengar 'nggeleyor' (suara yang ditimbulkan oleh pita kaset yang kusut) selama 3 detik, maka itulah file yang saya alih-mediakan karena ketika itu, kaset rekaman Lokananta yang saya gunakan tersebut memang ada bagian kusutnya.
 

30 April 2015

Pelajaran Bahasa Kiasan: "Makan"

Di hari-hari tertentu, pelajaran pertama di madrasah ibtidaiyah kami adalah mandi. Berhitung atau membaca berlangsung setelah itu. Ini mungkin disebabkan  oleh karena Pak Mahmudi melihat banyak siswa yang masuk kelas dalam keadaan berkeringat dan kecut. Penyebabnya, mereka bermain lebih dulu atau karena berjalan kaki amat jauh dari rumah mereka sehingga muka dan punggungnya basah oleh peluh.

Pak Mahmudi merupakan seorang guru di madrasah kami, masyhur karena banyak “makan garam” dalam hal mengajar. Sebab ketelatenan dan kesabarannya, beliau ditugaskan untuk menghadapi anak-anak kecil seperti kami yang biasanya sulit sekali diatur. Dalam upacara mandi pagi, Pak Mahmudi menggiring kami ke sumber dengan sebilah tongkat. Tidak dipukulkan, sih, hanya untuk pengendalian saja, semacam ‘remote control’-lah. Ya, di Sumber Daleman itu kami semua “mandi kerbau”, tanpa sabun dan tanpa tuala.

Kami adalah murid di kelas 2 madrasah ibtidaiyah. Entah mengapa di hari itu tak ada jadwal mandi ke Sumber Daleman. Kakak sepupu dua kali (dupopo) saya, mengajukan usul.
“Mari pulang saja ke rumah Embah. Saya lihat tadi Embah goreng otak dan hati. Kita makan, yuk!”
“Kapan, Kak?”
“Sekarang!”
“Beh, ini Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis, bagaimana mungkin kita pergi dari dalam kelas?”
“Empeyan buka pintu, saya yang akan bawa sandal, terus kita lari…”

Saat Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis dengan kapur, kakak saya berbisik, “Ayo, satu, dua, tigaaa…!!!”
Kami pun berhambur ke luar ruangan. Saya buka pintu dengan sigap, kakak ambil sandal, kami lari tunggang-langgang.

DI RUMAH MBAH MU’ADZAH

“Beh, ma’ ta’ asakolah, Cong?” (Kok nggak sekolah, Cung?)
“Libur, Mba.” (Libur, Mbah)
“Mun libur, arapa ma’ tager ngangsor?” (Kalau libur, kenapa kok sampe ngos-ngosan?)

Kami berdua kehilangan gaya, sama sekali tak menyangka ulah kami akan diketahui. Beruntung, kakak saya segera improvisasi untuk mengalihkan interogasi.
“Mba, ngakana angguy juko’ ateh…” (Mbah, [kami] mau makan pakai hati)

Di rumah Mbah, pagi itu, kami berdua “makan besar”. Kami senang sekali karena jarang-jaranglah kami makan dengan menu seperti ini. Di sana, di dalam kelas, Pak Mahmudi mungkin sedang “makan bawang”, sedih dan kesal melihat kelakuan dua muridnya yang baru saja “makan hati”.

* * *
Kami minta maaf, Pak. Kalau saja kelakukan anak dan murid kami ada yang mirip atau bahkan lebih dari itu di saat ini atau di masa yang akan datang, kami sadar itu merupakan ongkos bolos yang harus kami bayar. Jika tidak ada, maka itu semoga menjadi pertanda belas kasih-Nya bagi kami dan juga bagi Bapak yang telah membuat Bapak berhati mulia: memafkan kami bahkan sebelum kami melakukannya. 


26 Maret 2015

Bahkan untuk Minum Pun Kita Harus Berpikir

Dulu, saat saya masih Ibtidaiyah (SD), kira-kira tahun 1985 atau 1986, saya menemukan iklan AMDK pada sebuah majalah kaluarga, ‘Majalah Amanah’. Adalah suatu hal yang tidak pernah saya bayangkan bakal ada jawaban untuk pertanyaan “mungkinkah air yang selama ini kita dapatkan gratis dari bumi akan dijual demi keuntungan pribadi?”. Kini, setiap melakukan perjalanan, bahkan di rumah sendiri pun, kebanyakan orang (kita?) sudah terbiasa minum dari air minum dalam kemasan yang dimaksudkan itu.

Di masa kecil saya, dulu, di Madura, mudah ditemukan gentong berisi air minum yang diletakkan di pinggir jalan. Biasanya, gentong ini ditempatkan di depan rumah. Pejalan kaki yang melintas dapat minum dari gentong ini secara langsung karena juga disediakan gayung (umumnya dari batok kelapa). Air tersebut adalah air minum cuma-cuma untuk siapa pun yang haus dan kebetulan lewat di sana.

Lambat laun, gentong seperti ini tidak tampak lagi. Hanya beberapa kali saya sempat melihatnya. Salah satunya, yang terakhir saya lihat, berada di depan rumah Haji Jirman, di Larangan Tokol, Pamekasan. Bedanya, wadah air berupa ember plastik, bukan gentong tanah liat. Saya tidak tahu, entah masih ada atau tidak orang yang minum dari ember itu mengingat Haji Jirman juga pemilik toko kelontong yang menjual air minum dalam kemasan (AMDK).

Yang tersisa dari kenyataan ini adalah “pelajaran berbagi”, bahwa berbagi bagi siapa pun itu baik dan tidak perlu kita kenal lebih dulu. Bukan soal hanya karena air yang dapat diperoleh secara cuma-cuma itu yang dibagi, tetapi yang patut dipikirkan adalah untuk  apa warisan leluhur ini masih dan harus dipertahankan. Nilai-nilai kemanusian yang ada di sana sangatlah tinggi meskipun secara materi tentu tidak seberapa.

Dalam walimah, resepsi, selamatan, atau kegiatan apa pun, nyaris semua hidangan dan suguhan disisipi air minum dalam kemasan. Jelas, maksud dari semua ini adalah nilai praktisnya karena tuan rumah tidak perlu repot harus mencuci gelas dan tidak perlu khawatir ia pecah atau hilang. Namun, yang tidak dipikirkan, apakah kebiasan ini merupakan kebiasan baik bagi alam? Apakah leluhur kita pernah mengajari membuat sampah kelas berat (sampah plastik) untuk sesuatu yang sangat sepele (minum air)? Kiranya, tidak perlu dijelaskan di sini perihal berapa puluh/ratus tahun tanah mampu mengurai sampah plastik yang dibuang sembarangan dan ditinggalakan oleh manusia hanya demi seteguk air untuk mengobati rasa hausnya.

Kita melakukan hal-hal demikian itu karena kekaprahan, karena banyaknya orang melakukan, terlepas itu benar atau salah. Awalnya, ia dianggap anomali, lama-lama menjadi biasa. Apa pasal jadi begitu? Hilangnya kebiasaan berpikir untuk semua tindakan yang kita lakukan sebab ia dianggap remeh dan tidak berdampak langsung bagi kehidupan pribadi manusia. ‘

Bukan hanya karena takjub pada begitu besarnya gugusan bintang, bima sakti, pleades, cluster, dan planet-planet saja kita harus berpikir, bahkan untuk minum air pun semestinya kita juga berpikir.

07 Maret 2015

Manusia Multitugas: Kelola Waktu bagi Pumula

Ada beberapa tugas/pekerjaan yang harus diselesaikan manusia selagi dia hidup di dunia. Sebagian besar pekerjaan itu—bahkan secara bersamaan—dapat dikerjakan sejak (atau ketika) muda, seperti belajar, mengaji, mencari ilmu, banyak membaca, dll. Jika itu tidak dilakukannya sejak muda, dan karena ia merupakan tugas yang harus dilaksanakan sebelum mati, maka banyak dijumpa orang yang justru sibuk di masa tuanya. Mereka yang sibuk itu terkadang bukan melakukan sesuatu yang baru, melainkan hanya mengganti tugas-tugas tertunda yang sejatinya bisa dibereskan di masa mudanya.

Kian hari, tugas kian banyak, pekerjaan terus bertambah, sedangkan bilangan waktu tetap 24 jam sehari-semalam, tidak berubah. Pada praktiknya, masa tua itu, masa yang diandaikan sebagai masa tenang dan rehat kala kita masih remaja, ternyata juga merupakan masa penuh aktivitas. Jadi, tak ada waktu yang benar-benar santai dalam hidup ini kecuali hanya di saat kita ngopi di warung, itupun kalau tidak sibuk sambil main gadget.

Menghadapi situasi seperti ini, maka tugas-ganda (multitasking) harus diterapkan. Pepatah lama; “sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui”, sebetulnya sudah mengacu pada prinsip ini. Contoh: ada seorang ibu sambil lalu melipat pakaian, ia juga nonton televisi dan login Facebook dalam waktu yang bersamaan. Atau bisa juga seperti menyiapkan buku bagi Anda yang punya jaringan internet lemot sehingga berkesempatan membaca paragraf demi paragrafnya di saat menunggu laman yang dibuka tak kunjung nongol.

Orang yang mampu melakukan banyak hal dalam satu kali kesempatan bukanlah orang sakti. Dia hanya orang biasa yang beruntung karena mampu ‘mengelola’ waktunya. Andaipun ia diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis ‘sudahkah Anda’ yang mencakup hal-hal seputar ibadah, ilmiah, amaliyah, seperti ‘sudahkah Anda membaca (Alquran, shalawat, buku) hari ini?’, ‘sudahkah Anda ngopi hari ini?’, atau ‘sudahkah Anda mandi/sikatan hari ini?’, dengan mudah dia akan “Yes to All” lalu “Enter”.

Jika Facebook dianggap tidak berguna, tinggalkan. Jika nge-blog tidak berguna, tinggalkan. Jika SMS dan  telepon juga tidak berguna, tinggalkan.

Akan tetapi, Anda harus dapat mengimbangi alasan buang-buang waktu itu dengan pekerjaan yang nyata bermanfaat. Maka, tentu menjadi rugi jika dengan ‘meninggalkan banyak hal’ itu waktu kita ternyata juga tidak lebih efektif untuk berinteraksi dengan Tuhan, dengan manusia, pun dengan alam dan tidak mampu “Yes to All” untuk beberapa pekerjaan harian. Eh, hampir lupa. Ada satu hal lagi: perlu diingat, bahwa ‘aktivitas berganda dalam sekali waktu’ ini tidak dapat diterapkan untuk semua urusan, misalnya ngemil sambil SMS-an sambil nonton video sambil mengemudi, begitu pula tidak elok diterapkan seperti ngomong sama teman tapi pandangan mata terus melolot ke layar ponsel di tangan.

06 Maret 2015

Oleh-Oleh dalam Kardus

Saya masih ingat, dulu sewaktu saya masih muda, ketika hendak kembali ke pondok atau ketika sudah remaja, manakala saya akan kembali ke kampus dari libur panjang, sering kali—jika tidak bisa dibilang pasti—saya pergi dengan membawa kardus. Isinya adalah barang bawaan yang kurang layak masuk ke ransel, misalnya beras atau gula. Kardus tersebut umumnya seukuran 8” x 10”  atau lebih kecil, semacam kardus bungkus air kemasan atau mi instan.

model oleh: saya (M. Faizi); foto oleh: Ahmad Faisal Imron
Saya tak pernah ambil urusan, mengapa banyak orang membawa kardus-kardus semacam itu dalam perjalanan, terutama mereka yang berangkat dari Madura atau hendak ke Madura? Itu baru terasa penting untuk diingat dan diperhatikan saat ini, yakni setelah saya mulai jarang melakukannya lagi. Saat hendak naik bis, misalnya, selalu saja saya bertemu dan melihat orang-orang seperti itu, membawa kardus, dari Madura pergi ke Jawa atau sebaliknya. Di perjalanan, saya benar-benar tidak sendirian. Di halte atau partelon tempat perhentian bis antarkota, selalu saja saya temukan orang yang selau membawa kardus untuk membungkus barang bawaannya. Bagi kami, kardus adalah semacam ‘koper yang tertunda’. Ia terkadang dimasukkan ke dalam bagasi atau juga setara dengan penumpang lainnya; masuk ke dalam kabin bis. Orang Madura nyaris identik dengan pemandangan ini. Oleh karena itu, andaikan Anda menemukan pemandangan tersebut di, misalnya, Bandar Udara Frankfurt atau di Schiphol, cobalah langsung disapa dengan Bahasa Madura…

Ada sebuah perusahan otobis yang melayani trayek Jakarta-Madura. Dari  pembicaraan yang bersumber dari salah satu krunya, saya mendengar keluhan bahwa ia terkadang stress menghadapi penumpang Madura karena terkadang satu penumpang bisa membawa kardus berjibun, sebanyak satu Carry bak terbuka: entah ini hiperbola atau memang sejumlah itu banyaknya. Yang pasti, bahwa kerap ada barang bawaan penumpang yang lebih berat daripada berat badannya sendiri. (Kembali ke kru…) Di sisi lain, PO mereka tersebut justru menjadi laris dan menjadi pilihan penumpang Madura karena tidak mengenakan tarif barang (kecuali tip biasa), berbeda dengan armada pesaing yang mengenakan tarif barang untuk jumlah di luar batas normal.

Melihat kenyataan, saya lantas berpikir bahwa masyarakat Madura (atau mana pun) yang percaya pada filosofi ‘oleh-oleh’, cenderung akan membawa oleh-oleh dari rumahnya dengan pengutamaan jenis buah tangan yang tidak ada atau jarang ditemukan di tempat tujuan. Akan tetapi, pada praktiknya, kriteria oleh-oleh yang demikian itu sudah susah sekali dipegang karena banyak faktor, salah satunya adalah ‘globalisasi’ seiring makin ‘sempitnya dunia’: Dodol Garut dengan mudah diperoleh di Madura sebagaimana Jenang Kudus pun dapat ditemukan di mana-mana. Maka, filosofi yang terus bertahan sehingga oleh-oleh itu selalu ada dan selalu dibawa adalah karena oleh-oleh itu disyaratkan menempuh perjalanan panjang. Contoh: orang Madura tetap membawa oleh-oleh beras dan gula, misalnya, walaupun di saat mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Jatiroto, yakni tempat pabrik gula terbesar di Indonesia itu berada.

(Kembali ke kardus…)

Dari gambaran ini, dapat dimengerti bahwa oleh-oleh yang dibawa di dalam kardus oleh orang-orang Madura itu biasanya cenderung berupa ‘barang kasar’, seperti buah kelapa, dll, dan telah menempuh perjalanan jauh, bukan sekadar barang yang akan diberikan kepada tuan rumah atau sanak yang hendak dikunjungi atau keluarga yang menunggu di rumah namun dibeli di dekat tujuan. Buktinya, sering saya jumpai orang yang  membawa ayam dari Madura ke Jember sebagai oleh-oleh, padahal… masa’ di Jember tidak ada ayam? Filosofinya: ayam Jember akan berbeda dengan ayam Madura meskipun ras-nya sama, sebab ayam Madura yang dibawa ke Jember sudah pengalaman naik AKAS. Intinya: jarak dan perjalanan juga menentukan nilai oleh-oleh sebagai buah tangan.


27 Februari 2015

Pergi Sebelum Jumat, Pulang Sebelum Maghrib

Hari ini saya keluar rumah untuk takziyah sekaligus menghadiri haul pertama KH. A. Warits Ilyas sekaligus tahlil bersama untuk para almarhumin masyayih Pondok Pesantren Annuqayah di Rubaru. Perjalanan dari rumah ke tempat acara pertama (takziyah) di Sumenep sekitar 23 km. Dari Kota Sumenep ke Rubaru mungkin 17-an km. Begitu rencana yang saya catat.

Saat masuk jalan lingkar atau ringroad menjelang kota, saya mengeluarkan uang 2 x 50 ribuan dari dompet untuk belanja bahan bakar. Jadinya, uang saya tinggal seratus ribu lebih sedikit yang tersisa. Kepada dua lembar uang pecahan 50 ribuan itu saya berkata, layaknya ngomong kepada manusia.

“Hai uang, kali ini engkau akan berpindah ke tangan orang lain. Sebab ini adalah niscaya dan memang begitu yang seharusnya terjadi, pergilah, tapi ingat: jangan lama-lama!”

Semua penumpang mobil yang saya kemudikan itu tertawa seketika melihat apa yang saya lakukan. Mereka kita saya berkelakar, padahal saya bersungguh-sungguh. Saya percaya, apa pun itu sebetulnya bisa diajak bicara. Barangkali hanya cara meresponnya saja yang berbeda-beda, dan kita tak paham. Jelas, yang mendengarnya tentu hanyalah Yang Esa.

Pagi ini saya melayat ke rumah duka di Kolor, Sumenep. Yang wafat adalah H. Abdul Aziz, orangtua dari kawan saya Edi Mulyono. Sebelum masuk perumahan, saya menemukan kejutan: bertemu dengan Pak Nurhadi, ketua pak RT setempat yang dulu pernah bekerja dengan saya di Jurnal Edukasi. Sepuluh langkah berikut, saya bertemu dengan Pak Zawawi Imron yang menyapa dari belakang saat beliau dibonceng dengan sepeda motor; tujuan kami sama. Lima langkah berikutnya, eh, giliran Pak Pri yang menyapa. Beliau adalah mantan sopir AKAS II Sumenep-Jogja yang dulu sering saya turuti bisnya.


* * *

Sehabis takziyah, saya langsung menuju Rubaru untuk mengukuti haul masyayikh Annuqayah. Acara ini digagas oleh IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) Rubaru. Acaranya dikemas sederhana, yakni menggunakan pranata acara standar: pembukaan, pembacaan Yasin, tahlil, ceramah, doa. Acara sedikit molor karena kendala teknis namun saya sudah tiba di TKP 10 menit sebelum pukul 13.00, yitu waktu yang dijadwalkan.

Selepas acara, salah seorang panitia memberi saya amplop, katanya ‘uang transport’. “Oh, tidak!” balas saya. “Hari ini saya memang mau takziyah juga, jadi ‘di-sekalian-kan’ saja keluar dari rumah. Tidak perlu ganti uang BBM segala. Terima kasih!”. Dia ngotot, memaksa agar saya menerimanya. Singkat cerita, amplop itu masuk ke kantong baju. Sebab itu, akhirnya saya ceritakan kepadanya bahwa tadi sebelum masuk SPBU, saya sempat “berbicara ini-itu kepada uang dengan maksud sebagai doa”. Saya tertawa dan beliau tertawa karena tawa saya. “Boleh dicoba kapan-kapan,” katanya.

Alhamdulillah, doa terkbaul. Benar rupanya, uang yang dibelanjakan untuk suatu maslahah cenderung akan dapat ganti dengan mudah, begitu yang saya perhatikan selama ini. Benar-benar singkat, uang yang tadi pergi ke dompet orang lain sebelum Jumat, kini sudah kembali lagi ke dompet saya sebelum Maghrib.

02 Februari 2015

Model Komunikasi di Media Sosial

Foto ini adalah tangkap layar (printed screen atau screenshot) dari sebuah akun di Facebook, yakni Abuya Busro Karim. Beliau merupakan Bupati Sumenep. Di Facebook, Bapak Bupati membagikan tautan berita tentang penerbangan komersial dari Bandara Trunojoyo (Sumenep) yang kemudian ditanggapi oleh banyak komentator. Mari kita simak:

STATUS TAUTAN DARI PAK BUPATI: 
"Trigana Air : Penerbangan Perdana Komersial Pertengahan Agustus"

KOMENTAR WARGANYA: “Maaf pak kyai rencana audiensi dengan jennengan tidak bisa terlaksana hari ini karena saya habis sakit mata saya kuatir bapak ketularan karena mata saya masih merah…insyaallah hbs lebaran saya akan sowan ke jennengan….membangun visi pengembangan kebudayaan madura ke depan nya….”

Sepintas, status dan komentar di atas ini (sebagaimana dapat dilihat di dalam foto) biasa saja terjadi (di Facebook), namun jika ditelisik, maka ia akan tampak sebagai sebuah gejala komunikasi yang tidak sehat. Tidak masalah masyarakat menyampaikan aspirasi kepada Bupati lewat media apa pun, termasuk juga Facebook, sebagaimana mereka juga menyampaikannya lewat email atau pengaduan SMS, apakah hubungun status Bapak Bupati dengan tanggapan di bawahnya? Nggak nyambung. Soal kepantasan, apakah hal itu pantas disampaikan dengan cara seperti itu? Tidak mungkin itu terjadi di luar Facebook. Apakah komentar di atas sudah dianggap konfirmasi? Jelas tidak cukup.

Media sosial, termasuk Facebook, telah menghapus banyak kesenjangan antarkelas. Bicara soal kesetaraan dan komunikasi, kenyataan ini bagus. Akan tetapi, yang juga perlu diingat adalah bahwa cara seperti ini juga menyisakan masalah aturan main berkomunikasi, seperti hubungan guru-murid, kiai-santri, tua-muda, dan atau juga sebagaimana tampak di atas, warga dengan pemerintah. Komunikasi seperti ini kerap menjadi masalah. Komentar ‘asbun’ alias ‘asal bunyi’ kerap terjadi di media sosial, yang tragis (namun mungkin tanpa sepengetahuan orang lain) seperti komentar antipati dan sinisme, yang ditulis di toilet atau sambil tiduran untuk keputusan yang dipikir dan telah dimusyawarahkan berbulan-bulan.

Itulah, lalu lintas komunikasi di sosial media begitu kacaunya sehingga orang bisa seenaknya bicara dan menulis. Mengapa hal ini terjadi adalah karena anggapan dan sudut pandang orang yang menggunakannya, misal bahwa ia hanya main-main di Facebook atau Twitter; atau pula ia terpengaruh pada jarigan atau teman yang ada dilingkungan pertemanannya yang rata-rata mempunyai anggapan seperti itu. Apa beda dunia maya dan dunia nyata? Selama kita menganggapnya tidak ada perbedaan berarti di dalam komunikasi, maka tak perbedaan tidak itu. Pada saat berkomunikasi, kita tidak dekat dengan lawan bicara; secara jarak dan secara emosi: itu saja perbedaannya. Tata cara dan aturan berkomunikasinya—seharusnya—tetaplah berlaku sama.



Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog