Belakangan, saya memiliki pakaian sejenis tidak hanya satu. Ada beberapa motif yang
sama dan akhirnya menjadi bagian dari penghuni lemari pakaian kami. Terus terang,
saya masih tetap tidak suka menggunakan pakaian model semacam ini dengan alasan
seperti mengesakan simbol harmonis yang dipaksakan. Mungkin, dugaan saya
terlalu berlebihan. Akan tetapi, saya tidak menyalahkan model “seragam
bapak-ibu” ini. Karena itu saya tidak bikin kampanye agar orang lain tidak
mengenakannya juga. Saya hanya kurang suka tanpa alasan yang dibuat-buat, dan
itu bergantung kepada selera saya pribadi.
Suatu hari, tepatnya tanggal 2 Maret 2012, saya pergi ke sebuah
pesta pernikahan teman di Tulungagung. Karena ingin simpel, saya hanya membawa
sebuah tas selempang kecil, berisi 1 sarung dan 1 baju ganti. Saya berangkat dengan
perkiraan waktu yang pas. Berangkat tengah malam dari rumah, kira-kira pukul 10
lewat sedikit saya sudah tiba di Tulungagung. Acara akan dilangsungkan bakda Jumat.
Menjelang shalat Jumat, saya numpang mandi di rumah tuan
rumah. Begitu hendak akan mengenakan baju ganti itu, ternyata saya salah bawa
pakaian. Yang saya bawa dalam tas selempang itu ternyata pakaiain istri saya
yang motif dan bentuknya nyaris sama. Kala itu pula, sontak bertambahlah rasa
enggan saya untuk memiliki “seragam bapak-ibu” seperti ini. Apa boleh buat, akhirnya saya tetap memakai baju yang telah
saya pakai 12 jam yang lalu dan sudah menempuh perjalanan 300-an kilometer.