BARU KENAL, GOMBAL
“Dik, jika engkau
Shinta, akulah Sri Rama.”
“Tapi, kan ada
Rahwana, Mas? Kalau aku diculik, ntar gimana?”
“Lah, adegan itu ‘kan
ada di buku jilid II? Ya, gak usah dibacalah!”
SETELAH MENIKAH,
CEMBURU
“Kang, mengapa
kamu keramas?”
“Kok jadi
masalah, sih, Jeng? Bukannya kalau mandi justru wangi?”
“Soalnya, Akang
mandi basah itu ‘kan hanya kalau junub, padahal aku lagi datang bulan!”
SUDAH LAMA, LUPA
“Mas, dulu kamu
bilang, kita bagai Rama dan Shinta, tapi kini, beras habis pun kamu tak peduli!”
“Lah, kamu emang
tidak baca jilid II-nya, Dik? Saat Kerajaan Wideha mengalami paceklik?”
***
Asmara dalam
pernikahan itu fluktuatif, bukan cuman nilai tukar rupiah dan bursa efek yang
begitu-begitu. Pernikahan sendiri tidak pernah berada dalam status selalu aman,
pasti akan ada masa kritisnya.
Maka, cerita dalam
keluarga itupun tidak pernah datar. Jika ingin cerita yang lempeng dan lurus,
protagonis menang terus, antagonis kalah melulu (atau kalau perlu ditiadakan), maka
bikinlah roman atau novel sendiri, baca sendiri, sebab kalau dijual, kisah yang
seperti itu harus masuk waktu agak malam lebih dulu yang mau laku, itupun jika
diobral dan diecer oleh pedagang asongan profesional.