Barusan saya pergi ke Prenduan. Saya naik sepeda motor Astrea Prima yang lampu utamanya masih menggunakan bohlam. Sinarnya tampak redup.
Motor buatan Honda di periode 1989-1991 ini, di zaman 2024, setelah 35 tahun luntang-luntung di dunia, banyak yang pajaknya sudah “disuntik mati” alias tidak dibayar lagi. Saya sering menjadi korban stereotifikasi seperti ini, seolah-olah motor saya juga begitu. Taat pajak untuk motor generasi segitu seolah-olah menjadi anomali di negeri pengemplang pajak.
Bukan soal pajak dan ketangguhan mesin yang mau saya ceritakan, melainkan soal lampu sepeda saya dan lampu-lampu sepeda motor lain yang berpapasan. Jarak dari rumah ke pertigaan Prenduan itu 7,5 kilometer. Dalam perjalanan barusan (21.30), saya berpapasan dengan 29 sepeda motor. Dari angka segitu, ada 13 sepeda motor yang lampunya dibiarkan menyala jauh (lampu atas; lampu jauh). Saking terangnya sinar-sinar lampu itu mengenai muka saya, beberapa kali saya sampai harus melambatkan laju kendaraan karena kesilauan hingga nyaris berhenti. Begitulah dampak kesilauan di saat cahaya kendaraan sendiri redup dan berpapasan dengan kendaraan lain yang sangat terang.
Orang-orang yang membiarkan cahaya lampunya menyala tinggi dan terang sehingga mengenai muka pengendara dari lawan arah, alih-alih jalannya sendiri, bukanlah orang yang buta huruf. Mereka adalah orang dewasa yang saya yakin pasti bisa membaca dan menulis. Jika ada istilah illiterate, saya kira jenis orang seperti inilah contohnya: mereka yang bisa baca tulis tapi tidak terberdayakan oleh apa pun dari yang dibaca dan ditulis.
29 Desember 2024
Lampu Jauh dan Illeterate
Langganan:
Postingan (Atom)