Malam itu, saya diundang sebuah komunitas sastra. Acaranya diskusi dan baca puisi. Anak-anak komunitas ini sangat giat, dan saya senang pada anak-anak yang punya kemauan keras. Ya, macam mereka ini. Karena simpati, saya ikuti acara sampai tuntas.
Saat hendak pulang, seseorang mencegat di pintu. Tampaknya dia ketua panitia, atau seksi acaranya. Ia menjabat, bersalaman, dan menyelinapkan amplop di antara tangan saya dan tangannya. Saya tahu, ini "hororarium" namanya.
Karena melihat sikon yang menyedihkan itu, saya tolak sambil berkata, “Sudahlah, ini buat kalian saja.” Tapi mereka memaksa, saya juga bersikukuh menolakanya, dan dia tetap ngotot memaksa. Paksa-memaksa berlangusng, untung saja tidak samapai terjadi pertumpahan darah.
Singkatnya, acara selesai dan saya pulang: tanpa amplop. Saya turun cari sandal: tidak ada! Saya cari di selatan, juga tak ada; di utara, tambah gak ada.
“Halo.. halo.. ada yang mengamankan sandal saya?”
Tak ada jawaban. Hanya gumam-guman yang mengusik perasaan.
Kesimpulannya, sandal saya raib, atau diraibkan?
Paya… sudah gratis, ngembat sandal pula.
(Dalam hati saya membatin, “Barangkali panitia memang berencana memberi duit agar saya ganti sandal yang lebih baru dan lebih bagus daripada sandal yang saya pakai itu.. Atau, mungkin "cuma" di-ghasab, ya?”