Ini pemandangan di desa:
Kalau ada suami-istri sedang jalan bareng, biasanya si suami berjarak 5-7 meter di belakang sang istri. Bahkan terkadang ada yang berjalan di seberang jalan. Kemungkinan baik: suami enggan atau risih ''merasa mesra'' dilihat masyarakat umum. Kemungkinan buruk: jaga-jaga ada serangan sehingga jika tidak kena dua-duanya sekaligus.
Anehnya, pemuda-pemuda desa suka nongkrong di pinggir jalan tetapi dengan posisi memunggungi/membelakangi jalan. Anehnya lagi, nongkrongnya justru di bibir jalan (dengan separuh kaki di atas aspal), bukan di teras. Padahal, salah satu tujuan nongkrong adalah melihat lalu-lalang orang/kendaraan, tetapi mengapa dengan cara ''memunggungi jalan''? Akibatnya, mereka harus menoleh 90-180° jika ada orang yang lewat. Bukan penelitian memang, tapi bisa jadi, orang-orang tua Madura yang di masa mudanya suka nongkrong, akan lebih banyak sakit/keseleo urat lehernya karena sering menoleh di waktu muda.
Lagi-lagi bukan penelitian memang, tapi mungkin, jika Anda menemukan 7 dari 10 orang yang merokok saat mengemudikan sepeda motor, insya Allah dia orang Madura (juga berlaku jika pemandangan ini Anda temukan di San Francisco, Madrid, ataupun di Moskow saat udara dingin mencucuk tulang sumsum).
Membawa beban berat sekalipun, perempuan Madura cenderung ''menyunggi'' (nyo'on), tidak seperti perempuan-perempuan Jawa (khususnya Jogja yang saya tahu) yang suka membawa beban berat dengan menggendong. Bukan penelitian memang, tapi kalau diperhatikan, jarang (jika diperbandingkan) perempuan Madura yang bungkuk di saat tua meskipun tidak minum susu anti-osteoporosis. Alasannya: menyunggi (nyo’on) mengharuskan badan dalam posisi tegap untuk menjaga keseimbangan, berbeda dengan menggendong beban berat yang mengharuskan berjalan doyong untuk mengurangi berat beban.
Tidak menuduh latah memang, tetapi orang-orang Madura (utamanya di daerah Sumenep/Pamekasan, dan lebih khusus lagi di desa-desa) sangat suka fashion bermerek serupa, yakni Topsy, Hassenda, dan Carvil.
Orang Madura punya kecintaan terhadap kata "Madura'' secara luar biasa. Berbeda dengan orang Sumatera Utara yang menyebut diri berasal dari "Medan'' (meskipun berasal dari kota-kota kabupaten di luar Medan) atau orang eks-Karesidenan Surakarta di tanah rantau yang menyebut diri dari ''Solo'' (meskipun berasal dari Wonogiri atau Boyolali), orang Madura lebih dari itu. Orang Madura memaksakan diri menulis kata “Madura”, misalnya, dalam alamat surat atau formulir data diri, contoh:
Nama: Abd.Razak, dengan alamat:
Pordapor (sebagai desa),
Guluk-Guluk (sebagai kecamatan),
Sumenep (sebagai kabupaten),
Madura (sebagai apanya? masa sebagai eks-karesidenan/nama pulau?),
Jawa Timur (provinsinya)…