Manusia adalah hewan yang berakal; hayawan an-nathiq, atau, meskipun tidak sepenuhnya searti, homo sapiens, lah… Kucing adalah hewan yang tidak nathiq. Ia menjadi terkenal karena merupakan hewan piaraan pada banyak keluarga.
Di rumahku, kucing tidak dipiara, tetapi jumlahnya cukup banyak. Kemarin, saat aku teledor tidak menutup pintu, seekor kucing dari lingkungan rumahku sendiri mengembat bandeng dalam kardus pemberian saudara sepupuku yang dihadiahi tunangannya dari pesisir utara Jawa. Padahal, dalam kardus tersebut, terdapat bandeng dan mujair. Namun, mengapa sang kucing lebih memilih bandeng daripada mujair? Pilihan sang kucing ini nyaris sama dengan pilihan hampir semua hayawan an-nathiq pada umumnya.
Dalam kasus ini, adakah unsur seentah-berapa-persen “nathiq” dalam kucing atau hanya kebetulan belaka? Sementara saya tidak memikirkan hal ini karena saya telah mekasa puas dengan memakan mujair sebagai ‘ashobah dari “peninggalan” kucing itu. Sekarang, saya sedang menimbang nilai “kepasrahan ketika barang itu telah hilang” jika dibanding sejajar dengan “pasrah diberikan ketika kita sedang memilikinya dalam keadaan berlimpah”?
“Pasrahkan saja!”
Mengapa “pasrahkan saja!” sering kali muncul setelah barang itu hilang dan pada saat kita masih sedang menyayanginya?
2 komentar:
tak oneng mon e papolong : bandeng, mujair, karapo, kakap..
bha' se kaemma se e kala' sareng koceng ?
nb: koceng e compo' e nyamae INDAH FINZA sareng anak kaula. mangken para' rembi'a pon....
"Laysa-l 'athoo-u mina-l fudhuuli samaahatan #
Hattaa tajuuda wa maa ladayka qaliilu..."
Ini 'pelajaran' yg semoga tak salah saya tangkap... ;-)
Posting Komentar