Keinginan teman saya ini sederhana, tetapi butuh spekulasi yang tinggi: menang undian/lotere sekitar 1 milyar. Semua duitnya akan didepositokan dan dia tidak akan bekerja atau investasi apa pun. Dia hanya akan menikmati hidup dengan duduk baca koran di pagi hari, siang nonton tivi, dan jalan-jalan sampai malam. Ia hanya ingin hidup dari bunga bank. Cukup.
Ada pula seorang yang sungguh sangat kagum dan bernafsu menjadi pegawai. Pokoknya pegawai, apalagi pegawai negeri. Karena dengannya, kata dia, hidup dia akan terjamin setiap bulan. Kelak, dia juga akan tenang menghabiskan hari-hari di masa tua. Namun, kasihan yang ini: dia belum meraih cita-cita itu sampai sekarang meskipun telah banyak menghilangkan sawah dan ladang orang tuanya. Entah untuk apa.
Satu lagi. Dia yang ingin menjadi orang terkenal. Keinginan ini berdasar pada faktor dendam. Dan dia tidak tidak main-main untuk ini. Ia belajar menyanyi, bersengau-sengau kalau bicara, dan sangat mencintai cermin. Rambutnya selalu rapih, pakaian bersih, dan punya hobi bersisir. Ia ingin jadi sejenis artis, sekurang-kurangnya masuk tabloid showbiz lah. Tujuan akhirnya bukanlah duit, melainkan dengannya dia berharap bisa memilih pasangan yang paling cantik lalu menunjukkan kepada perempuan-perempuan desanya yang telah menolak cintanya.
Ada yang lurus-lurus saja; ini beda lagi. Jalan hidupnya seperti kereta api. Serongnya tidak diketahui. Pikirannya seperti kubus: kotak-kotak. Ia seoalah-olah tidak pernah punya cita-cita. Nasib membuatnya menikah dengan tunangannya yang kebetulan kaya mendadak. Lalu, kebetulan lagi, si putri anak tunggal yang didukung oleh kebetulan lainnya lagi; baru menikah, mertua meninggal. Lelaki itu kini belajar mengemudi, punya mobil mendadak. Dia itu sangat mencintai kebetulan.
Sungguh, ini adalah macam-macam keinginan, pekerjaan, dan nasib. Kiranya, tidak ada yang salah dengan keinginan itu. Saya menulis catatan ini hanya karena tiba-tiba menyadari, betapa banyak cara pandang orang untuk mengetahui cara memperoleh rezeki, bahkan termasuk dengan cara yang jahat, seperti korupsi. Masih mending jika itu hajat dasar hidup, seperti makan. Yang aneh adalah tetap menempuah cara yang haram hanya untuk bermewah-mewah.
Satu lagi: di antara semua teman yang saya kenal, keinginan Udin yang paling remeh. Ini buktinya: “Perempuan seperti apa yang kamu inginkan, Din?”/ “Tidak perlu cantik karena aku juga tidak tampan. Tidak perlu kaya karena aku juga masih pengangguran. Yang seimbang lah. Tapi kalau boleh berharap…” / “Iya, apa harapanmu menyangkut perempuan calon istrimu itu, Din?” / “Punya rumah di tepi jalan.” / “Hanya itu?” / “Iya. Karena aku sudah bosan tinggal di pedalaman selama 20 tahun, jauh dari jalan raya dan lalu lintas kendaraan.” Sungguh. Ini keinginan beneran dari manusia beneran.
Terus terang, karena saya bukan pekerja kantoran, tidak memperoleh pendapatan yang pasti setiap bulan, maka wajar jika saya selalu khawatir, sudah murnikah makanan yang saya telan? Apakah rezeki itu saya peroleh dari jalan yang suci dan benar-benar bebas dari sogokan? Nah, di bulan suci ini, kiranya masih banyak yang menikmati rezeki dari jalan yang kotor. Bahkan, terkadang untuk kepentingan suci di tanah suci, benar-benar ada orang yang membiayainya dari rezeki yang tidak benar-benar suci.
Na’udzubillahi minas sogok, ya, Rabbi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar