“Rang-terrang tana” (waktu matahari belum terbit tetapi sudah sangat terang); “Manjing dluha” (saat matahari setinggi tombak atau sekitar 15 menit setelah terbit matahari); “Ban-aban laggu” (nah, ini yang tidak jelas, yaitu waktu antara pagi menjelang siang), sama juga dengan penanda waktu “Sar-Ashar mabha” (setelah shalat ashar tetapi sudah agak sore menjelang Maghrib).
Ada pula yang lebih tegas, yaitu penanda waktu berdasarkan waktu shalat, antara lain, bakda Maghrib, bakda Isya’, dan bakda-bakda yang lain. “Bakda” artinya “setelah”. Bakda Maghrib atrinya setelah shalat Maghrib secara sempurna. Penanda waktu seperti ini biasanya digunakan untuk acara tahlilan dan lain sebagainya. Namun, untuk acara walimah/akad nikah, masyarakat menggunakan penanda waktu angka sebagaimana lazimnya, seperti pukul 10.00 WIB, atau pukul 1 siang istiwa’, dan seterusnya.
Molor? Ya, saya sering menghadapi dan mengalami keadaan seperti ini, kecuali untuk acara walimah/akad nikah di daerah Pore dan Cangkreng sekitarnya (kecamatan Lenteng, Sumenep). Saya sangat kagum terhadap komitmen masyarakat di sana terhadap waktu karena nyaris tidak pernah molor dalam menentukan acaranya.
8 komentar:
:)
Orang Madura ternyata betul-betul menghargai waktu, sehingga begitu banyak nama di setiap dengusnya. :-D
hemp...bener juga, harus lebih menghargai waktu..
@Ahmad Sahidah: komentar hiburan berhadiah payung :-)
@Obat: iya. mari menghargai...
berilah saya waktu...
@Kuli: nanti saya kasih yang banyak untuk diresensi, ya...
Hahahha... masih baik2kah waktu di sana?
baik dan sehat. waktu makin gemuk sekarang
Posting Komentar