“Saya mohon sambung doa, saya mau cari kerja ke Malaysia,” kata lelaki 40 tahunan itu kepada kiai.
“Kenapa kami tidak bertani saja?”
“Saya sudah bertani berkali-kali. Untungnya tidak seberapa, tidak cukup untuk anak istri.”
“Sudah mencoba yang lain, beternak ayam, misalnya? Mungkin kamu cocok jika beternak ayam petelur,” Kiai mencoba membujuk agar dia tak berangkat ke Malaysia meninggalkan anak istrinya. Banyak kasus, di daerah situ: si suami pergi merantau, anak istri ditinggal. Eh, setahun kemudian datang mengirim kabar kawin lagi.
“Tapi saya sudah terlanjur berniat mantap, kiai. Sekali lagi, saya mohon sambung doa mau cari kerja di negeri tetangga saja. Karena saya lihat teman-teman saya lebih bagus perekonomiannya sepulang dari sana.”
Kiai menarik napas dan berkata, “Baiklah, jangan lupa, kalau sudah dapat rezeki, segera kirimkan uang ke rumah, untuk anak dan istrimu.”
Setehu kemudian, lelaki 40 tahunan itu kembali sowan kepada kiai.
“Lho, kapan datang?”
“Kemarin pagi, Kiai.”
“Kok sudah pulang dari Malaysia? Ada rencana kembali?”
“Tidak kiai, kapok. Saya rugi. Kerja 11 bulan dan hanya 7 bulan yang dibayar ringgit. Sisanya ditunda pembayarannya, entah sampai kapan.”
“Oh, apes nasipmu, ya. Kasihan.”
Lelaki 40 tahunan itu terus menunduk. Kini ia ingat, saat dulu sebelum berangkat, di tempat itu, ia pernah berkata kepada kiai bahwa kepergiannya ke Malaysia adalah untuk “cari kerja”, bukan cari duit. Seperti tampak sepele, namun rupanya ia baru sadar bahwa setiap ucapan sejatinya merupakan doa.
2 komentar:
Masyarakat kita mempunyai pilihan-pilihan yang sulit: sebagai petani, mereka tidak beruntung, dan sebagai perantau, mereka pun bisa 'buntung'.
Cerita kecil ini begitu menggugah nalar sehat kita tentang kehidupan petani dan TKI.
kasihan. oh.
Posting Komentar