23 Juni 2012
Petugas SPBU versus Mobil Bergincu
07 Juni 2012
Andaikan Anda Tak Punya Anak
Saya pernah dibikin sakit hati oleh seseorang. Pasalnya, baru kenal dia langsung ceramah di depan saya. Topiknya masalah rezeki. Kala itu, saya baru menikah, ya, mungkin sekitar 1 tahun. Dia tahu, kami belum dikaruniai momongan, sedangkan tamu ini, sebut saja namanya Jojon, sudah punya seorang anak. Usianya mungkin 3 tahunan.
Jojon mengantar istrinya bertandang ke rumah saya. Kebetulan, istri Jojon dan istri saya dulu teman sekolah. Kami duduk berhadapan. Camilin dihidangkan. Basa-basi dimulai.
“Sudah punya putra berapa?”
“Belum.”
“Wah, gimana?”
“Ya, nggak tahu. Saya sudah berusaha, tapi belum keparing sama Gusti Allah.”
“Eh, kamu ndak usah takut, ya. Rezeki anak itu ada tersendiri. Jangan khawatir.”
Ceramahnya ini disampaikan dengan intonasi seolah saya sangat bodoh. Nah, coba Anda bayangkan jika kalimat di atas ini diucapkan oleh orang yang baru saja kita kenal. Meskipun itu pernyataan yang benar, tapi dia telah menyampaikan dengan cara yang tidak benar. Bukan hikmah yang didapat, malah marah.
Belum cukup sampai di situ, si Jojon ini malah mengutip ayat Alquran, Surat Hud, ayat ke-6, yang menyatakan jaminan rezeki dari Allah untuk semua dabbah (binatang melata, termasuk manusia). Hari itu, saya benar-benar tampak sebagai orang awam di hadapannya.
“Iya, Anda kok bilang begitu,” kata saya mulai naik pitam. “Emang anak Anda itu Anda yang bkin? Cuma titipan to? Nabi Zakariya saja sampai usia 125 tahun belum dikarunia putra.”
“Iya, tapi itu
“Lah, iya. Seperti Nabi Nuh. Bagaimana jika anak kita membangkang kelak, seperti Kan’an misalnya. Apa Anda sanggup?”
Jojon terdiam. Saya benar-benar sakit hati dibuatnya. Baru bertamu sudah berfatwa. Suasana baru mereda ketika kami akhirnya makan bersama.
Mengolok-olok orang yang tidak dikaruniai keturunan (anak) sungguh merupakan olokan yang paling menyakitkan, terutama apabila yang mengolok-olok itu sudah ketibaan rezeki anak lebih dulu. Namun, banyak orang yang secara kormeddal ngomong sembarangan dan menganggap olokan macam ini termasuk dari jenis basa-basi semata. Saya menghindari cara itu karena saya sudah tahu betapa sakit hati orang yang tidak punya keturunan ketika mendapat olok-olok tentang kemandulan justru dari orang yang sudah punya anak.
* * *
Beberapa waktu yang lalu, setelah cerita di atas terjadi sekitar 8 tahun yang silam, istri Jojon menelepon istri saya dan bertanya, sudah punya anak apa belum? Kami lama tidak saling berkomunikasi. Istri si Jojon ini curhat karena dia ingin anak lagi, tetapi anak baru satu sejak dulu. Ekonominya kurang bagus sehingga ia harus merantau ke tempat yang jauh. Istri saya bilang alhamdulillah kalau kami sudah dikaruniai dua momongan, laki-perempuan.
Bagaimana kabar si Jojon sekarang? Saya ingat dia. Saya kasihan kepadanya, sekarang.