Meskipun hanya jawaban kelakar, saya mencoba berpikir, ternyata, bagi orang yang menginginkan ketenangan benar-benar, suara adzan, dzikir, tartil, dan ‘suara-suara baik’ yang lain akan dapat dianggap ‘gangguan’, ingat, ya, kalau itu terlalu keras/lantang. Nah, beberapa waktu yang lalu, saya mendengar kabar dari saudara jauh. Bahwa pada akhirnya, mereka, dia dan orangtuanya, pindah rumah karena, salah satu alasan terpentingnya, tidak tahan pada keberisikan suara pengeras suara dari masjid yang ada persis sampingnya.
“Mengapa tidak mohon pengertian takmir masjid?”
“Sudah, namun takmir masjid rupanya tidak mau ditegur meskipun beberapa warga sudah berembuk, mendatangi, dan menyampaikannya.”
Saudara saya itu bercerita, bahwa di hari-hari tertentu, ada khataman Alquran, dzikir, qiraah, ceramah, bahkan terkadang musik-musik qosidah yang diputar dari pengeras suara masjid, sepanjang hari, dari pagi sampi sore. Dan catat: semua itu diputar dengan suara yang sangat keras/lantang. Inilah alasan yang akhirnya membuat mereka mengalah, pindah rumah.
Bukan hanya cerita di atas, masih banyak kisah sejenis, seperti yang saya alami baru-baru ini, yang berhubungan dengan keberisikan. Suatu waktu, saya datang ke rumah famili untuk acara peringatan maulid Nabi. Akan tetapi, karena benar-benar tidak tahan pada keberisikan sound system yang konon sudah dibunyikan keras-keras selama 3 hari sebelum hari-H, dengan sangat kecewa akhirnya saya menyingkir, tidak jadi ikut acara inti. Jangankan mau rehat istirahat, mau ngomong dengan teman duduk saja saya harus dengan teriak-teriak. Begitulah kondisinya.
Hari ini, kasus serupa terjadi lagi. Saya mendengar kabar dari famili, di tempat yang jauh dari rumah, bahwa ada seorang tetangganya yang hampir stres gara-gara polusi suara. Dia sedang merawat neneknya yang sakit. Dia pun, bersama tokoh setempat, mendatangi pemilik musholla dan berharap agar sedikit mengecilkan volume suara loudspeaker-nya. Eh, si empunya TOA cuek saja. Dia pun mengalah, menahan berisik namun dengan tetap menyimpan amarah.
Nah, begitulah, ternyata, suara-suara yang baik itu seringkali menjadi blunder, malah menjadi sebab menjauhnya seseorang dari kebaikan yang hendak dibawanya. Alasannya hanyalah karena kebaikan itu disampaikan dengan cara yang kurang tepat. Setidaknya demikian yang saya rasakan dan juga disampaikan oleh beberapa orang yang pernah mengalami nasib dan pengalaman serupa dengan saya. Jadi, jika kasusnya seperti salah satu bagian kisah di atas, menyewa sound system ribuan watt dan digunakan sampai ke taraf mengganggu saraf dan telinga, mengganggu kehidmatan yang lain, untuk apa gunanya?
5 komentar:
"SUARA bagus, harus disuarakan dengan 'cara dan volume yang juga bagus'. Tentang ini, lamat-lamat saya ingat, ada istilah; ketika memuji-muji Sang Maha Pencipta dengan suara lantang, bisa diartikan sebuah hal yang kurang tepat. Sebagai Dzat yang Maha Mendengar, Allah sungguh tak perlu 'diteriaki' dengan berkoar-koar.
Namun, ada pula, Mas Edi, thariqah yang memang membuat dzikiran dibacakan secara keras. Semua ini bukan karena Tuhan perlu diteriaki, namun ada alasan-alasan lain. Thariqah Qadiriyah/Qadiriyah Naqsyabandiyah setahu saya demikian.
Setuju. Hanya saja, ada perkecualian untuk saya. Sekuat apa pun sound systen agar mengeluarkan suara Rhoma Irama, saya menganggapnya 'hiburan', Mas Kyai.
Ha..ha..
ralat: soundsystem, bukan sound systen, agar diganti tapi. Alamak!
Rhoma Irama adalah perkecualian, dan perkecualian tidak dapat dijadikan pijakan hukum umum, begitukah? hahaha
Posting Komentar