“Imam, sini kamu!”
Imam pun maju ke depan kelas. Pak Guru menjewer telinganya seraya berkata, “Kan sudah kubilang, kalau jangan cowok pakai gelang biar enggak kayak cewek.” Seluruh kelas malah gerrr. Imam kembali duduk, namun malah cengengesan, berbisik sama teman duduknya, jumawa, “Enggak sakit!” katanya.
Bukan sebab tidak setia kawan kalau setelah itu si teman duduk berdiri dan berkata lantang, “Pak, kata Imam, barusan itu enggak sakit katanya, Pak!”. Dia itu hanya terlalu polos, kurang tahu situasi dan keadaan. Maklum, mereka masih kelas 2 ibtidaiyah alias sekolah dasar.
Kini, giliran Pak Guru yang mendekati. Imam memang masih tetap duduk dengan mata menatap lurus ke depan, sama sekali tidak memperhatikan langkah-langkah Pak Guru ke arahnya, namun ada sesuatu yang tidak dapat disembunyikan: air mukanya berubah, tegang, kelam bersemu merah. Ia membayangkan apa yang akan terjadi dalam beberapa detik lagi; membayangkan Pak Guru akan menarik 3 gelang karet yang dipakainya di pergelangan tangan kirinya itu secara bersamaan lalu melepasnya sekaligus.
Pak Guru kini berdiri di samping Imam. Suasana tegang lalu kelas menjadi hening. Semua murid seolah-olah sedang menunggu keputusan yang menyangkut hidup dan mati…
* * *
“Masih ingat kejadian itu, Mam?” tanya saya padanya beberapa waktu yang lalu. Imam tertawa. “Sungguh indah masa kanak-kanak,” bisiknya lirih. “Kami merindukan masa-masa seperti itu.”
Kami pun bernostalgia, teringat masa kanak dulu. Ada kawan kami yang mungkin kalau mandi tidak pernah pakai sabun, tubuhnya bau daging sapi. Ada kawan kami yang rambutnya senantiasa klimis oleh minyak goreng, “Biar hitam mengkilat,” katanya. Pomade sejenis Brisk atau Tancho hanya biasa dipakai oleh orang dewasa. Terkadang kami saling ngerjain satu sama lain, semisal menarik kolor dari arah belakang hingga menyentuh tanah. Tak ada amarah, tak ada dendam. Hukuman seperti yang berlangsung di atas itu adalah hal biasa, termasuk bagian dari hiburan kami yang salah satu lainnya adalah mengisi mata pelajaran pertama di hari tertentu dengan mandi bersama ke sumber air yang tak jauh dari madrasah.
“Mam, andai sekarang kamu pakai gelang karet dan kamu diperlakukan begitu oleh gurumu, apa tindakanmu?”
“Lapor orang tua agar dilaporkan ke dinas terkait, atau kalau perlu ke Komnas Anak!”
Kami tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang terlalu lucu, memang. Kami hanya menertawakan keadaan yang sekarang berubah. Dikiranya ilmu manfaat itu bisa datang dari mulut ke telinga, dari buku ke pikiran, dari membaca ke pengertian? Ia datang dari hati ke hati, dari dada ke dada, melalui doa guru kepada murid di malam yang hening di saat mungkin orangtuanya malah tidur pulas dan tidak tahu apa yang akan dipelajari anaknya esok hari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Sudah saya baca, dan menarik. Tapi itu, apa ada salah tempat kata, Ki Faizi? "Jangan cowok" apa " Cowok jangan"?
Bagian akhir tulisannya sangat-sangat pokoknya. Itulah guru yang sejati.
@Muktir: ya, Anda betul. Akan saya perbaiki. terima kasih
@Kulit Kupat: terima kasih
Selalu menyenangkan mengingat masa kanak-kanak. Sesuatu yang hanya bisa diingat dan ditertawakan.
@Edwin F Nurin: begitu memang
bener,..
ilmu yang disampaikan dari hati-hati
itu yang bermanfaat dan membekas,..
makasih untuk sharingnya mas
Posting Komentar