“Bukan saya tidak suka bacaan-bacaan, mana mungkin ada
seorang muslim yang tidak suka mendengarkan lantunan ayat suci Alquran?”
keluhnya suatu waktu, “namun jika itu dikumandangkan dengan sangat keras dan
sepanjang hari lamanya, siapa yang tahan?” katanya suatu waktu.
Sebetulnya, ia sudah bermusyawarah dengan anggota takmir yang
lain agar pengeras suara masjid hanya digunakan untuk azan. Boleh juga
digunakan untuk dzikir menjalang iqamah shalat berjalamah dan atau pada
waktu-waktu pendek-pendek saja. Hal ini dimaksudkan agar suara yang baik tidak
menjadi gangguan yang pada akhirnya akan membuat orang menganggap semua suara
yang baik adalah gangguan, sejenis gara-gara ‘nila setitik rusak susu sebelanga’,
atau pars pro toto; sebagian namun lantas dianggap
mewakili keseluruhan (yang terakhir ini kurang pas, ya?).
Memang, ada yang tak suka mendengarkan panggilan kebenaran?
“Capek,” katanya, “kalau harus melayani orang yang bertanya
begitu sementara dia sudah tahu kasus yang saya alami.”
Dia kelihatan sudah lelah. Pertanyaan retoris seperti itu
seolah menganggapnya, bagi dia, tidak setuju dengan suara-suara yang oleh
banyak orang dianggap suara kebaikan, suara kebenaran, padahal kasusnya tidak
demikian simpel. Masa jika tidak setuju pengeras suara diputar keras dalam
waktu tertentu lantas dicap makar dan menentang perintah tuhan? Ia mengeluh. Ia
capek.
Sepintas, sungguh rasanya tidak masuk akal ada orang yang
pindah rumah gara-gara tidak tahan mendengar TOA. Iya, ini terjadi betulan dan
saya saksinya. Rupanya, tidak semua panggilan kebaikan itu menjadi baik jika
tidak disampaikan dengan baik-baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar