Saya pernah kedatangan tamu yang membawa air sendiri. Saya tidak tersinggung karena saya tahu, air yang dibawanya itu mungkin air istimewa, semacam air suwuk, air obat, air TDS rendah, atau air entah apa. Saya maklumi yang begini ini. Biasanya, orang yang begini tidak perlu disuguhi kopi atau teh.
Ada pula tamu yang bawa gula sendiri. Karena menyuguhkan kopi dan teh merupakan kebiasaan kami, maka ia tentu tetap menerima suguhan itu dengan persyaratan khusus: tidak perlu dikasih gula karena dia bawa gula khusus, seperti gula jagung atau gula khusus pengidap diabetes. Yang begini ini juga harap dimaklumi, enggak usah bikin baper.
Nah, yang umum itu adalah tamu yang bawa rokok sendiri (meskipun ada pula tamu yang cuma modal korek saja; rokok nunut tuan rumah). Di Madura, memang ada juga tuan rumah yang bukan hanya menyuguhkan minuman dan cemilan, tapi juga sekaligus rokoknya, bahkan andaipun tuan rumah bukanlah seorang perokok (mengapa rokok? Mungkin karena Madura termasuk daerah penghasil tembakau).
Dan tadi malam, adalah pengalaman pertama dalam hidup saya: kedatangan tamu yang bukan saja bawa minuman sendiri, melainkan “bawa dapur sendiri”. Jadinya, sayalah yang disuguhi minuman. “Entah ada apa di awal Maret ini,” batin saya. Malam sebelumnya, saya juga ketibaan rezeki tamu para terapis, Bapak Tomy Aditama dan kawan-kawan dari Toms Hepi Jogja yang secara kebetulan bertandang ke rumah karena mereka sedang berziarah di Pulau Madura, lalu mampir ke tempat saya. Terus terang, saya baru sekali bertemu beliau. Eh, rupanya beliau ini penganut aturan FIFA: setelah ada laga tandang, ada pula laga kandang.
Oh, balik lagi: ulangi…
Nah, ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya. Tadi malam, tamu saya bukan saja bawa minuman sendiri, melainkan “bawa dapur sendiri”. Jadinya, sayalah yang disuguhi minuman. Satu per satu, perkakas dapurnya dikeluarkan dan dibawa ke ruang tamu saya: panci, kompor, gelas, sendok, kopi, cemilan, grinder kopi, susu, dan entah apa lagi. Pokoknya, badunan (tempat samping musala—red) yang saya biasa tempati untuk menerima tamu dan juga belajar mengajar itu mendadak serupa dapur tiban.
Tentu saja, saya senang karena tamu ini malah memosisikan diri jadi barista atau petugas kafe. Saya diminta memilih apa pun yang dikehendaki, termasuk kopi Gayo dan berbagai pemrosesannya, dari V60, vietnamese drip (kopi tetes ala Vietnam), cascara (teh dari daun kopi), dll. Agar tak “kalah”, saya pun mengeluarkan bahan mentahnya, kopi ijo khas Turki (Turk Kahve Has) dan juga Tiryaki Çayi (teh Turki berasa teh rosela) yang dibawa Bernando J Sujibto saat bertandang kemari, dua malam sebelumnya.
Demikianlah, ini bagian pengalaman saya dalam menerima tamu. Bagaimanapun, prinsip saya, menerima tamu adalah sebuah rezeki. Bahkan, jatah rezeki untuk mereka sudah datang 3 hari sebelumnya. Saya yakin itu, saya percaya. Tentu saja, saya tetap menyuguhkan kopi bikinan sendiri secara ala kadarnya meskipun dengan perasaan inferior alias minder. Apa pasal? Soalnya, tamu kali ini punya sederat label terkait kopi: dia adalah Lia Zen, pemilik kafe Jungkir Balik Sidoarjo, konsultan kafe, juga Duta Kopi Indonesia 2016.
Karena hari-hari yang menyenangkan inilah saya punya alasan untuk menulis lagi di blog ini. Walhamdulillah.
Ada pula tamu yang bawa gula sendiri. Karena menyuguhkan kopi dan teh merupakan kebiasaan kami, maka ia tentu tetap menerima suguhan itu dengan persyaratan khusus: tidak perlu dikasih gula karena dia bawa gula khusus, seperti gula jagung atau gula khusus pengidap diabetes. Yang begini ini juga harap dimaklumi, enggak usah bikin baper.
Nah, yang umum itu adalah tamu yang bawa rokok sendiri (meskipun ada pula tamu yang cuma modal korek saja; rokok nunut tuan rumah). Di Madura, memang ada juga tuan rumah yang bukan hanya menyuguhkan minuman dan cemilan, tapi juga sekaligus rokoknya, bahkan andaipun tuan rumah bukanlah seorang perokok (mengapa rokok? Mungkin karena Madura termasuk daerah penghasil tembakau).
Dan tadi malam, adalah pengalaman pertama dalam hidup saya: kedatangan tamu yang bukan saja bawa minuman sendiri, melainkan “bawa dapur sendiri”. Jadinya, sayalah yang disuguhi minuman. “Entah ada apa di awal Maret ini,” batin saya. Malam sebelumnya, saya juga ketibaan rezeki tamu para terapis, Bapak Tomy Aditama dan kawan-kawan dari Toms Hepi Jogja yang secara kebetulan bertandang ke rumah karena mereka sedang berziarah di Pulau Madura, lalu mampir ke tempat saya. Terus terang, saya baru sekali bertemu beliau. Eh, rupanya beliau ini penganut aturan FIFA: setelah ada laga tandang, ada pula laga kandang.
Oh, balik lagi: ulangi…
Nah, ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya. Tadi malam, tamu saya bukan saja bawa minuman sendiri, melainkan “bawa dapur sendiri”. Jadinya, sayalah yang disuguhi minuman. Satu per satu, perkakas dapurnya dikeluarkan dan dibawa ke ruang tamu saya: panci, kompor, gelas, sendok, kopi, cemilan, grinder kopi, susu, dan entah apa lagi. Pokoknya, badunan (tempat samping musala—red) yang saya biasa tempati untuk menerima tamu dan juga belajar mengajar itu mendadak serupa dapur tiban.
Tentu saja, saya senang karena tamu ini malah memosisikan diri jadi barista atau petugas kafe. Saya diminta memilih apa pun yang dikehendaki, termasuk kopi Gayo dan berbagai pemrosesannya, dari V60, vietnamese drip (kopi tetes ala Vietnam), cascara (teh dari daun kopi), dll. Agar tak “kalah”, saya pun mengeluarkan bahan mentahnya, kopi ijo khas Turki (Turk Kahve Has) dan juga Tiryaki Çayi (teh Turki berasa teh rosela) yang dibawa Bernando J Sujibto saat bertandang kemari, dua malam sebelumnya.
Demikianlah, ini bagian pengalaman saya dalam menerima tamu. Bagaimanapun, prinsip saya, menerima tamu adalah sebuah rezeki. Bahkan, jatah rezeki untuk mereka sudah datang 3 hari sebelumnya. Saya yakin itu, saya percaya. Tentu saja, saya tetap menyuguhkan kopi bikinan sendiri secara ala kadarnya meskipun dengan perasaan inferior alias minder. Apa pasal? Soalnya, tamu kali ini punya sederat label terkait kopi: dia adalah Lia Zen, pemilik kafe Jungkir Balik Sidoarjo, konsultan kafe, juga Duta Kopi Indonesia 2016.
Karena hari-hari yang menyenangkan inilah saya punya alasan untuk menulis lagi di blog ini. Walhamdulillah.
5 komentar:
�� saya nggak nyadar pamam kalau bawa dapur dari rumah, malah yg saya bawa ke man izi kemarin masih 1/2 dr yg biasanya di angkut ... terima kasih sdh mengijinkan saya buka lapak di ruang tamu paman
Tamu yg istimewa, umumnya datang kepada tuan rumah yg istimewa pula. Semoga kita termasuk orang2 yg istimewa di mata Allah swt. Aamiin!
Terima kasih atas tanggapan untuk Lia Zen dan Rusdi el Umar, juga karena telah meluangkan waktu untuk membaca catatan harian saya ini
Hebat
Asik tuh kalo ada tamu kaya gitu. :-)
Reksadana Online | bumi datar dalam kosmologi Hindu
Posting Komentar