Pada suatu hari Rabu, saya pergi ke
Pasar Prenduan. Pasar ini merupakan pasar desa di kecamatan Pragaan. Sebuah
pemandangan unik saya saksikan dengan kepala sendiri. Pagi yang mulai panas itu
jadi menyenangkan sekali.
Tampak seseorang yang menggiring anak
kambing di sisi selatan jalan dan seorang lain ada orang yang menawarnya.
“Eyocola berempa?” (mau dilepas berapa
[harga kambing itu])?
“Nemseket.” (650 ribu rupiah)
“Ta’ ekenning lemaratos?” (Enggak bisa
kalau dilepas dengan harga 500 ribu?)
“Engko’ keng pas ta’ eparoko’a?”
(Lalu, saya lantas enggak mau dikasih uang jajan buat sekadar beli rokok?).
Pertanyaan retoris di atas ini adalah ungkapan populer masyarakat Madura. Meskipun bentuknya pertanyaan, tapi yang
dimaksudkannya adalah bahwa ia keberatan dengan harga tersebut karena itu
artinya sama dengan uang modal. Kalau dilepas dengan harga segitu (500 ribu),
bahkan ia tidak akan dapat keuntungan sama sekali, meskipun hanya sekadar
untung buat beli rokok). Ya, semacam basa-basi saja, sih.
“Yeh, lema’ seket lah.” (Ya udah,
550 ribu dah…)
Se penjual kambing kini melangkah tegap ke arah depan, tidak menoleh lagi seperti sebelumnya. Maklum, dari tadi, tawar-menawar ini terjadi di dua tempat yang bersisian, dipisahkan oleh jalan raya: Yang menggiring kambing berjalan di selatan jalan, yang menawarnya berada di utara jalan. Mereka berdua sama-sama berjalan ke arah arat, menuju ke pasar. Ya, mereka melakukan tawar-menawar sembari berjalan.
* * *
Betapa asyiknya mereka berdua, pikir
saya. Mereka begitu ceplas-ceplos melakukan
tawar-menawar barang dagangan dan hal itu terajadi di kedua sisi jalan yang
berbeda. Bagi bukan warga setempat, terutama mereka yang tinggal di Jawa dan
sama sekali tidak paham Bahasa Madura, pemandangan ini mungkin tampak seperti
dua orang yang sedang bertengkar karena nada suaranya begitu tinggi. Maklum,
suara mereka harus lantang agar mampu mengalahkan deru kendaraan bermotor yang
memisahkan mereka berdua.
Bagi orang yang terbiasa masuk ke dalam toko waralaba dan bermodel swalayan
itu, saya yakin, akan kaget melihat pemandangan seperti ini. Biasanya, mereka disambut
sapa pelayan, senyum kasir. Kata-kata yang ramah dan lembut sama sekali tidak
ada di tempat ini. Orang tawar-menawar saja kayak orang bertengkar. Tapi, ya,
mau apa lagi? Mereka sudah terbiasa begini dalam melakukan transaksi dan semua
itu berlangsung asyik-asyik saja. Saya melihatnya begitu.
Makanya,
saya suka belanja ke pasar dan toko kelontongan itu karena masih ada basa-basi, ada tawar-menawar dan ada pula obrolan tidak penting yang kadang tidak berhubungan
langsung dengan barang dagangan. Semua itu tidak akan terjadi di toko yang
semua harganya sudah dipatok dan tidak dapat ditawar lagi. Bahkan, ke toko seperti ini,
kita dapat melakukan transaksi dengan tanpa bicara sama sekali, sama sekali,
namun itu tidak mungkin terjadi di pasar, di toko kelontong.
Duh, asyiknya belanja di toko tetangga dan pasar yang sayangnya kini sudah mulai tidak begitu diminati lagi.
Duh, asyiknya belanja di toko tetangga dan pasar yang sayangnya kini sudah mulai tidak begitu diminati lagi.
2 komentar:
Pertanyaannya, mengapa Polsek Kec. Pragaan diberi nama Polsek Prenduan?
@Maron: Nah ini pertanyaan keren. Sungguh ini bisa jadi esai, haha
Posting Komentar