instan kunyit & sirih untuk menaikkan imun |
Teringat peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 1815 yang menandai bencana alam dan kemanusian terparah di zaman modern. Tapi, peristiwa ini tidak mendunia, ‘hanya’ sekitar Asia dan Eropa serta sebagian Australia. Letusan mahadahsyat ini menimbulkan banyak penyakit dan kelaparan karena sinar ultraviolet matahari tidak bisa menembus bumi selama hampir satu tahun. Ini juga katanya, lho, sebab saya taksir, abad itu adalah zaman generasi ke-9 atau ke-10 di atas saya.
Begitu pula dengan epidemi/pandemi yang lain, Black Death di masa lampau atau yang lebih kekinian, seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Kedua yang terakhir sama-sama nyaris viral dan mendunia dan secara kebetulan memang merupakan dua jenis virus yang sama-sama menyerang alat pernafasan. Namun, hanya Covid 19 inilah yang benar-benar telah mengubah segala-galanya: mengubah sistem belajar, mengubah sistem ekonomi, bahkan mengubah persepsi dan idealisasi. Jika sebelumnya kita bangga mencapai tempat terjauh, kini kita bangga justru ketika bisa bertahan di rumah dan tidak ke mana-mana. Betapa jungkir baliknya definisi-definisi yang telah ada sebelumnya.
Lantas, mengingat virus ini tidak jelas dan sangat simpang siur dalam menyikapinya, tidak dapat diperkirakan pula kapan berakhirnya, belum ditemukan juga vaksin dan cara membasminya, maka pada akhirnya, setelah...
menimbang dan seterusnya
mengingat dan seterusnya
memperhatikan dan seterusnya
Pemerintah menetapkan; lockdown harus dibuka; kunci pengucilan diri harus dilepas. Alasannya? Pilihan tersisa hanya dua: mati karena diserang virus ke saluran pernapasan atau mati terkurung karena kekurangan makanan. Ini belaku bagi orang, komunitas, atau pun negara.
Setelah dalam 5 bulan terakhir istilah-istilah asing bermunculan tak dapat dibendung, mulai dari istilah lama hingga istilah baru, seperti pandemi, epidemi, lockdown, physical distancing, hand sanitizer, dll. Petani dan buruh tani yang dulu jarang kenal dengan istilah-istilah itu kini juga menyelipkan kata-kata tersebut dalam obrolannya. Keren banget.
Nah, berikutnya muncul lagi istilah baru: “New Normal”. Apa pula ini? Ialah kehidupan normal, kehidupan wajar, kehidupan seperti sediakala. Akan tetapi, istilah ini pun bukan saja ada yang membantah, yang menjadikannya bahan olok-olok pun juga banyak. Adapun yang saya pahami dengan “New Normal” ini adalah menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana biasa, seperti keseharian kita sebelum pandemi Covid 19 ini, tapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti penggunaan masker, rajin cuci tangan (bersih-bersih), dll. Gampangnya, kehidupan yang disebut “New Normal” itu adalah kehidupan yang lebih bersih daripada kehidupan sebelumnya jorok dan cuek sama diri sendiri apalagi sama sekitar. Itulah pemahaman saya. Yang tidak saya pahami, mengapa harus “new” dan bukan “baru”; mengapa harus… ah!
Nyatanya, kalau kita amati, kehidupan wajar yang telah kita jalani sebelum ini adalah kehidupan “jar-wajar tanggung”, semacam "normal-normalan". Pandemi Covid-lah yang menyadarkan kita akan semua itu sehingga kita berusaha “kembali ke pengaturan awal” atau “kembali ke pengaturan pabrik”. Contoh: dari dulu, ada anjuran menutup mulut dan hidung kalau kita sedang bersin, tapi yang demikian itu kita temukan hanya ada 1 di antara 10. Maka, kehidupan “New Normal” menetapkan aturan: orang flu dan batuk boleh datang ke tempat tertentu tapi harus memakai masker. Yang lebih utama adalah selalu mengenakan masker di saat adanya virus Corona (seperti sekarang) yang penularannya sangat tinggi.
Apa langkah kita? Sepertinya, kita harus kembali ke alam, kembali ke cara leluhur dalam menjalani hidup keseharian, yakni hidup siaga dengan jamu. Wow, jamu? Kok kuno?
Pada dasarnya, nenek moyang kita membuat jamu itu bukan untuk mengobati, melainkan untuk melindungi diri, bersiaga. Jadi, jika selama ini kita minum obat atau jamu herbal flu saat diserang flu itu adalah sikap umum: “melawan setelah diserang”. Adapun New Normal adalah “melindungi diri agar aman dari serangan virus flu”. Sedangkan cara orang dulu adalah minum jamu—misalnya jamu kunyit dan sirih—dan itu adalah “siaga agar tidak sampai flu”.
Jadi, filosofi minum jamu itu adalah filosofi zirah: bersiaga sebelum diserang, semacam mengenakan baju besi sebelum perang atau mengamalkan “lembu sekilan” atau pelias sebelum bertanding. Sementara kehidupan keseharian kita sejak dulu adalah baru akan mencari obat merah setelah terkena sabetan pedang. Dari sini saya curiga, jangan-jangan teori “survival of the fittest”-nya Charles Darwin yang kita tolak itu sebetulnya hanyalah sebentuk gambaran bagaimana ras manusia yang tersisa dan bertahan di muka bumi dari kepunahan itu, salah satunya, adalah karena selalu siaga fisik dengan minum jamu, beda dengan monyet.
Ini cuma jangan-jangan, lho, jangan lantas dimasukkan hati.
4 komentar:
Dan, kata iklan, ada jamu sachetan yang khusus dikonsumsi oleh orang pintar.
Makasih atas komentarnya, Mas Edi
Seneng baca tulisane njenengan,bahasanya sederhana tapi sangat menarik khas penulis2 yang bukan dari jaman now 😆🙏🏻 dan kadang ada lucu lucunya sampe ketawa sendiri pas baca 😁 semoga sering update trus.aku juga ngikuti fb nya njenengan karena tulisanya menarik gak mbosenin
@Godonggedang: makasih ekmbali karena sudah membaca dan menanggapi
Posting Komentar