Malam sabtu kemarin, aku mendahului/berpapasan, dengan beberapa sepeda motor yang tidak punya lampu kota (lampu belakang). Ada pula yang kaca lampu kotanya diganti warna puitih. Jadinya, sepeda motor seolah-olah sedang berjalan mundur.
Sungguh menyebalkan berada di belakang kendaraan seperti ini, utamanya di malam hari, dan utamanya jika Anda sedang mengendarai kendaraan roda empat/roda enam. Maunya, saat sedang asyik-asyiknya berjalan cepat di gigi empat misalnya, eh, tiba-tiba mendadak ada makhluk bergerak-gerak, samar, dan ternyata sepeda motor tanpa lampu belakang. Harusnya berjalan dengan istighfar, eh, ketemu kayak beginian, biasanya enggak memisuh, akhirnya, harus mengeluh.
Di tengah keadaan seperti ini, masih sempat saya berpikir, apakah tidak sebaiknya, saat pengambilan/uji SIM, diadakan pula ada uji mental/emosional, ya? Maksudnya, agar tidak mudah kita berbuat anarkis di jalan raya.
Malam Sabtu kemarin, sungguh saya gelisah rasanya ingin menulis esai untuk “Manusia Madura”-nya Mien A. Rifai yang dipuji-puji: Madura yang cerdas itu seperti apa? Saya kira, jika kasus yang saya alami ini menjadi salah satu sampel penelitian Pak Mien (sepanjang jalan Prenduan-Pamekasan lebih banyak bertemu sepeda motor yang tidak menggunakan lampu belakang daripada yang resmi/menggunakannya), arah pembicaraan buku itu mungkin akan sedikit berubah.
Namun demikian, saya buat kesimpulan lebih dulu, ya...
Ini dia:
Lampu depan saja: enak sama dia, gak enak sama saya
Lampu belakang saja: enak sama saya, gak enak sama dia (tapi kasus yang macam ini kok jarang ada, ya?)
Semua lampu menyala: enak sama dia, juga enak sama saya
Semua lampu tidak menyala: tidak enak sama dia, tidak enak sama saya, dan enak tilang-nya
Prit…….
Parkir.
Ada surat-surat?
Ada lampu kota?
GELAP!
Sungguh menyebalkan berada di belakang kendaraan seperti ini, utamanya di malam hari, dan utamanya jika Anda sedang mengendarai kendaraan roda empat/roda enam. Maunya, saat sedang asyik-asyiknya berjalan cepat di gigi empat misalnya, eh, tiba-tiba mendadak ada makhluk bergerak-gerak, samar, dan ternyata sepeda motor tanpa lampu belakang. Harusnya berjalan dengan istighfar, eh, ketemu kayak beginian, biasanya enggak memisuh, akhirnya, harus mengeluh.
Di tengah keadaan seperti ini, masih sempat saya berpikir, apakah tidak sebaiknya, saat pengambilan/uji SIM, diadakan pula ada uji mental/emosional, ya? Maksudnya, agar tidak mudah kita berbuat anarkis di jalan raya.
Malam Sabtu kemarin, sungguh saya gelisah rasanya ingin menulis esai untuk “Manusia Madura”-nya Mien A. Rifai yang dipuji-puji: Madura yang cerdas itu seperti apa? Saya kira, jika kasus yang saya alami ini menjadi salah satu sampel penelitian Pak Mien (sepanjang jalan Prenduan-Pamekasan lebih banyak bertemu sepeda motor yang tidak menggunakan lampu belakang daripada yang resmi/menggunakannya), arah pembicaraan buku itu mungkin akan sedikit berubah.
Namun demikian, saya buat kesimpulan lebih dulu, ya...
Ini dia:
Lampu depan saja: enak sama dia, gak enak sama saya
Lampu belakang saja: enak sama saya, gak enak sama dia (tapi kasus yang macam ini kok jarang ada, ya?)
Semua lampu menyala: enak sama dia, juga enak sama saya
Semua lampu tidak menyala: tidak enak sama dia, tidak enak sama saya, dan enak tilang-nya
Prit…….
Parkir.
Ada surat-surat?
Ada lampu kota?
GELAP!
2 komentar:
Yasudah enakan emang ang depan belakang pun bisa... :-)
betul, setuju juga saya....
Posting Komentar