22 Desember 2016

Sejarah Telolet: Cikal-Bakal Pemikiran, Perkembangan, dan Aliran-alirannya

Hari-hari belakangan ini, fenomena klakson “telolet” menyebar di media sosial. Banyak sekali tagar atau ‘hestek’ yang mengacu kepada klakson bernada itu, terutama tagar #omteloletom (Om, telolet, Om!). Seperti biasa orang Indonesia, dalam menaggapinya, ada pula yang menggunakan ilmu cocokologi, mengutak-atik muasal kata lalu disimpulkan: telolet itu menyesatkan secara makna, terutama bagi kaum muslimin, karena ia merupakan simbol keagamaan Hindu. Akan tetapi, telolet tetap telolet, mumbul dan menjadi trending topic (topik yang paling banyak dibicarakan) sejagat. Dunia selebritis pun dibuatnya gempar. Seleb-seleb mancanegara ikut-ikutan menulis “telolet” atau “om, telolet, om” di Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya.


Fenomena ini, konon, bermula sejak ditemukannya segerombolan anak kecil di beberapa daerah di Jawa, seperti Jepara, Boyolali, Ponorogo, dan juga ruas jalan Pantura. Mereka biasanya berdiri di pinggir jalan, melambai, teriak, meminta sopir bus membunyikan klakson telolet itu. Sandi mereka adalah mengangkat tangan, menunjukkan jempol, hingga membawa spanduk bertuliskan “minta telolet” atau “om, telolet, om”, dlsb. Ada pula yang membawa kamera ponsel berkamera untuk merekamnya. Sopir-sopir bis sepertinya sudah paham kode itu sehingga apabila ada sekerumuman orang, terutama anak-anak di tepi jalan yang menunjukkan kode-kode seperti di atas, sontak mereka akan membunyikan klakson telolet-nya. Klik INI untuk mencoba!

Dengan demikian, fungsi klakson sebagai alat atau bahasa bunyi yang digunakan untuk meminta perhatian orang lain pun mulai bergeser. Klakson telah berubah fungsi sebagai hiburan. Nah, dari video-video dan foto yang disebar lewat media sosial inilah yang kemudian membuat "om, telolet, om" menjadi pembicaraan banyak orang hingga mendunia.

* * *


Sebelum bicara telolet, ada baiknya saya bahas dulu perihal klakson angin yang notabene menjadi bagian terikat komponen truk dan bus dan karena telolet itu merupakan keluarga besarnya.

Sejak dulu, truk-truk besar, seperti Fuso, sudah dibekali klakson angin (air horn), sebagaimana kapal laut dan kereta api. Klakson angin berbunyi karena membran yang ada di dalamnya mendapat tekanan angin yang kuat. Untuk membuka katup, klakson angin zaman dulu menggunakan lengan, manual, dengan cara menarik katup. Saat ini, pembuka katup tersebut telah dipindahtugaskan kepada peranti elektrik. Sebab itulah, klakson angin disebut juga klakson electro-pneumatic karena bunyi trumpet dihasilkan dari membran yang mendapatkan tekanan udara dari kompresor (untuk truk besar dan bus; atau tabung angin yang lebih dulu diisi dengan kompresor eksternal untuk truk kecil [seperti Colt Diesel, Isuzu Elf, dll]), namun katupnya dibuka oleh arus elektrik. Jelasnya, klakson angin atau air horn seperti ini berbeda dengan klakson keong atau klakson elektrik biasa.

Klakson ini sebetulnya hanya butuh tabung angin dan relay saja. Namun, untuk telolet, ia membutuhkan satu perangkat lagi, yaitu modul, semacam peranti elektronik yang dapat mengatur dan membagi arus kepada masing-masing trumpet dan dapat diatur sesuai selera. Seperti diketahui, awalnya, klakson angin itu menggunakan satu corong (trumpet). Trumpet seperti ini biasa digunakan oleh truk dan bus sebagai klakson bawaan. Yang masyhur buatan Hella. Ada pula yang menggunakan dua trumpet, namun bunyi bersamaan (maaf, bukan iklan: sekadar menyebut contoh bermerek Cicada). Pada awal tahun 1990-an, sempat pula populer klakson angin yang menggunakan dua corong namun suaranya bisa bergantian; “to-let” atau “te-lot” (sekadar menyebut contoh, bukan iklan, mereknya Kitahara). Klakson jenis ini kadang diistilahkan juga dengan “2 alternating notes” karena punya dua not atau nada yang berbunyi secara bergantian, bukan serempak.

Di antara itu, masih ada jenis klakson angin yang lain, menggunakan kompresor mini yang terpadu dengan klaksonnya. Pengembangan jenis ini adalah musical horn (sekadar menyebut contoh, bukan iklan, seperti merek Suzanna [Italia]). Cara kerjanya: kompresor mini meniupkan angin. Panjang-pendek dan tinggi-rendahnya nada diatur oleh sebuah lempengan yang memiliki lubang-lubang udara (besar-kecil, panjang-pendek). Lempengan tersebut berputar seiring putaran dinamo yang menghasilkan udara sehingga suara yang dihasilkan mirip musik instrumentalia. Namanya kompresor kecil, maka jelas suaranya tidak selantang klakson telolet yang sedang kita bicarakan.

Nah, yang terakhir, yang sekarang sedang ramai di tanah air, adalah klakson telolet. Klakson ini disebut juga dengan “3 alternating notes” hingga “6 alternating notes”, yaitu klakson yang memiliki 3-6 not atau nada yang bisa bergantian (yang pertama saya tahu bermerek Marco). Jadi, sekarang Anda dapat membedakan klakson ganda yang bunyi “bersamaan” seperti contoh di atas dengan klakson telolet ala Marco ini. Kata kunci perbedaannya ada pada “bersamaan/serempak” dan atau “bergantian”. Yang pertama hanya menggunakan relay, yang kedua dikendalikan oleh “modul”, sebuah peranti elektronik yang tidak dipasang pada klakson yang disebutkan sebelumnya.

Ini dia: Telolet!

Kata ‘telolet’ sendiri merupakan tiruan bunyi karena klakson tersebut memang terdengar demikian bunyinya (awalnya memang ada 3 trumpet, belakangan berkembang lebih dari 3 bahkan hingga 6 trumpet). Pada dasarnya, bunyi klakson telolet itu adalah tangga nada (mayor), yakni:
               te (1/do),
               lo (3/mi)
               let (5/sol).
Namun juga mungkin ditemukan klakson yang memiliki susunan not seperti ini:
               to (3/mi)
               le (4/fa)
               lot (5/sol)
Atau yang bersusun urut:
                to (1/do)
                le (2/re)

                lot (3/mi)
mi-fa-sol (Marco)
Dengan demikian, apabila ketiga trumpet (pada susunan pertama) tersebut dibunyikan secara bersama (by pass), maka yang akan terdengar adalah chord mayor, bisa C mayor atau E mayor atau entahlah. Sejujurnya, Rhoma Irama sudah dari zaman dulu menyanyikan “telolet”. Ingat, kan, lagunya yang berjudul “Do Mi Sol” kala beliau berduet dengan Rita Sugiarto? Nah, itu dia. Jadi, sebetulnya, lagu tersebut bisa dipahami menjadi “te, lo, let, mari menyanyi… te, lo, let, mari menyanyi”. Sementara susunan nada yang kedua, bunyinya akan berebeda, namun tetapi memiliki “kesan telolet” yang dalam istilah Eki Setiawan dari PO Efisiensi itu bukanlah “te-lo-let”, melainkan “tolelot”. Singkatnya begitu.

contoh modul
Adapun perangkat yang mengatur distribusi arus ke masing-masing trumpet itu menggunakan modul elektrik. Cara kerjanya bergiliran (kurang lebih 1/3 detik). Ketika ditekan sekali, nada yang dihasilkan hanyalah satu nada saja, yakni “te (1/do)”. Apabila kita memencet tombol klakson lebih lama (anggaplah 1/2 detik atau 1 detik kurang sedikit), maka nada yang dihasilkan adalah bunyi “te (1/do)” sekaligus “le (3/mi)”. Dan jika kita menekannya lebih lama lagi (anggaplah 3 detik), maka ketiga (3) nada tersebut akan terus berbunyi secara berurutan menjadi “telolet…, telolet…, telolet…, dst.”

Pada perkembangan selanjutnya, modul dimodifikasi sehingga dapat mengatur arus secara bersilang, berurutan, bersamaan, cepat-lambat, selang-seling, dan semacamnya. Begitu pula, trumpet yang semula hanya tersedia dalam 3 not, kini sudah tersedia lebih dari itu (do, re, mi, fa, sol, dst.). Dan meskipun sudah menggunakan lebih dari 3 trumpet, masyarakat terlanjur dan tetap menyebutnya “telolet”. Singkat kata, mau dibikin menyanyi pun, klakson telolet itu bisa, bergantung modulnya (Saya punya pengalaman menggunakan 3 trumpet namun melepas modul elektriknya lalu menggantinya dengan 3 tombol terpisah sehingga klakson dapat dibunyikan sesuka hati karena telah berubah menjadi manual).

Cikal Bakal Fenomena Telolet

Dalam sebuah video dokumenter berdatum 2005, saya menemukan bus PO Sinabung Jaya (di Sumatera Utara) yang sudah menggunakan klakson telolet ini. Namun begitu, tidak banyak orang yang mempedulikan keberadaan jenis klakson bertangga nada tersebut. Klakson telolet ini muncul dan mulai ramai digunakan sekitar 2-3 tahun belakangan. (pertama kali saya menemukannya dalam satu topik di malilinglist bismania community [BMC], sebuah komunitas penggemar bis di Indionesia, kisaran tahun 2010 atau sebelumnya; lupa).

Maskot Tolelot PO Efisiensi
Di Jawa, atau bahkan Indonesia, sejarah telolet tidak dapat dilepaskan dari nama perusahaan otobus Efisiensi yang bermarkas di Kebumen. Menurut Eki Setiawan  dari  PO. Efisiensi, PO ini sudah menggunakan klakson—dalam versinya—“tolelot” (bukan “telolet”) sejak kisaran tahun 2007-2008, bermerek Marco. Ia menyebut begitu karena nada Marco adalah “mi-fa-sol” dan bukan “do-mi-sol”. Ia membeli klakson-klakson tersebut di Jedah (Saudi Arabia) yang lantas digunakannya untuk bus-bus Efisiensi karena ketika itu masih sulit mendapatkannya di toko-toko di Indonesia, tuturnya. Bahkan, Efisiensi sudah membuatkan maskot untuknya. 

Dalam catatan saya, hanya Efisiensi-lah yang dalam SOP-nya mematenkan klakson telolet untuk semua (catat: semua) armadanya. Klakson telolet ini dipasang di atas kaca depan (bukan di balik bumper sebagaimana kebanyakan) dan dilindungi keranjang besi (mungkin demi pengamanan). Semua armada Efisiensi sudah menggunakan telolet ketika armada-armada lain baru satu-dua yang menggunakannya.

Aliran-Aliran dalam Telolet

Menurut saya, telolet pun ada aliran dan isme-nya (Ini pendapat sementara saja; Anda dapat menambahkan atau bahkan tidak menyetujuinya sama sekali). Tentu saja, maksud pengelompokan ini bukan maksud untuk mencari-cari perbedaan, melainkan hanya untuk membedakan jenis-jenis dan ragam serta penggunaannya. Beruntung, saat ini kita akan diceraiberaikan oleh ideologi dan partai serta berbagai kepentingan, untung ada telolet yang mempersatukan.

Adapun aliran yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Aliran Telolet Ortodok: paham ini menggunakan klakson telolet biasa dan digunakan sebagai fungsi klakson sebagaimana fungsi dasar klakson pada umumnya. Sopir-sopir aliran ini mungkin sesekali saja akan melayani permintaan anak-anak di tepi jalan ketika diminta membunyikan telolet-nya. Modul yang digunakan pun modul standar, yakni satu varian bunyi saja.

Aliran Telolet Progresif: aliran ini adalah “ahlut telolet”, bervisi-misi telolet; sebentar-sebentar telolet. Mereka biasanya tidak puas dengan hasil rakitan pabrik. Modul akan diubah hingga ke beberapa jenis varian. Corong atau trumpetnya pun juga tidak puas jika hanya menggunakan 3 saja. Golongan ini akan menggunakan 3 corong trumpet namun dengan berbagai varian, atau bahkan hingga 6 trumpet dengan sekian banyak lagi varian bunyinya. Makanya, kita lihat golongan ini akan sangat menghibur para pemburu telolet tapi boleh jadi juga akan sangat menyiksa orang-orang yang tidak menyukainya. Nada-nada yang dibunyikan pun bukan lagi sekadar “do-mi-sol” atau “mi-fa-sol”, tapi malah bisa menyanyikan lagu sejenis “Abang Tukang Bakso” atau “Ondel-Ondel”.

Aliran Telolet Radikal: nah, aliran ini agak rawan karena mereka sama sekali tidak akan menggubris permintaan telolet. Sopir-sopir aliran ini hanya mau membunyikan klakson untuk diperdengarkan ke telinga orang lain hanya agar mereka menyingkir. Para sopirnya “sangat ingin diperhatikan” namun “susah untuk memperhatikan”. Jangan harap mereka mengalah. Prinsip “dilarang membuang klakson ke sembarang telinga” tidak laku untuk aliran ini. Maka, saya sedih dan khawatir, golongan mereka ini bisa jadi akan menghancurkan visi-misi telolet kebangsaan yang sudah dibangun bersama-sama sehingga ia menjadi tren yang mendunia.

Oh, ya. Yang kawe-kawe juga ada. Klakson telolet-nya tetap berbunyi telolet, tapi sumbang nadanya. Artinya, kalau nada-nada itu dipaskan ke garpu tala, tidak akan masuk, fals. Telinga orang yang tidak peka tetap akan menerima sebagai telolet, dan tidak merasa kalau itu sumbang. Bagi yang biasa dengar nada standar, pasti gatal membran telinga mendengarnya.

Sesungguhnya, saya masih mendambakan yang lebih dari ini semua, yaitu suasana jalan raya yang ramah, yang tidak berisik, di mana klakson dibunyikan karena memang harus dibunyikan, bukan karena iseng apalagi karena amarah. Saya membayangkan masa depan lalu lintas dan jalan rayanya—yang semakin kejam terhadap para pejalan kaki karena sempadan jalannya semakin hari semakin dihabisi dan pohon-pohon di kedua sisinya tak henti ditebangi—masih akan lebih baik lagi, lebih ramah dan menghargai sesamanya.


29 September 2016

Membayangkan Masa Depan

Tidak pernah terbayangkan, Nokia yang salah satu produknya dipakai oleh lebih dari 200 juta orang itu harus tutup toko. BlackBerry juga begitu. Masa berjayanya tidaklah lama. Sekarang, apa-apa itu senantiasa berasosiasi dengan Android, apa-apa itu Google. Di antara mereka ada satu nama: Samsung. ‘Cuil’, mesin pencari yang bersesumbar dapat melakukan pencarian beberapa kali lipat lebih banyak daripada Google, belum sempat terkenal saja malah sudah bangkrut.

Hampir semua orang, dulu, jika disebut mengenal internet maka ia bakal juga mengenal Yahoo! Email memakai Yahoo! Mesin mencari juga memakai Yahoo! Berdiskusi juga memakai Yahoo! (Yahoogroups). Di antara selempitannya ada Altavista, tapi nyaris tidak tampak secara nyata. Kini, Yahoo! Messengger sudah tidak dipakai; Mailing-list sudah mulai ditinggalkan. Facebook menggantikan banyak fasilitas yang dimilikinya. Hampir setiap orang punya akun di Facebook meskipun ada di antara mereka yang bahkan tidak tahu fungsi email kecuali digunakan buat ‘log-in’. Pernah terbayangkah suatu masa di mana ngomong Facebook itu bakal sangat ketinggalan? Pasti, masa itu akan datang, tidak lama lagi.  Hukum alamnya begitu. Semakin ke sini, dunia semakin cepat berputar dan apa-apa semakin cepat berubah.

Saya masih ingat, dan juga menikmati, betapa kode pos itu sangat membantu tukang pos dalam mengantar surat. Hanya dengan mengenal angka pertama dari lima angkanya, tukang pos langsung paham sialamat itu ada di provinsi apa. Dengan mengenal dua digit terakhirnya, ia langsung mengenal sialamat berada di kecamatan apa. Akan tetapi, kini, alamat surat pun mulai ditinggalkan kecuali hanya untuk mengirim dokumen dan barang yang bersifat fisik. Begitu pula, pertanyaan semacam “Mas, numpang tanya, rumahnya Pak Anu itu di sebelah mana, ya?” atau pertanyaan seperti “Anda tahu alamat ini?” akan digunakan mungkin hanya sebagai modus sebab semua orang sudah pegang GPS dan tahu kordinat masing-masing. Kode pos akan ketinggalan.

Teknologi memudahkan manusia, bukan justru meribetkannya. Saking memudahkannya, kita terkadang berada di pada kondisi yang merasakan keribetan sebagai bagian dari kemudahan. Sibuk sekali kita ngurus teknologi ini hingga persinggungan dan persentuhan yang manusiawi menjadi tidak berharga lagi. Buktinya, orang panggil salam, ketika dia sudah ada di depan rumah orang yang akan dikunjungi, malah menggunakan SMS: “Ass. Saya ada d depan”. Dan naifnya, karena sibuk, dari dalam, tuan rumah tidak keluar. Yang muncul malah SMS balasan. “Wss. Letakkan dpn pintu. Mkch”. Mereka dekat tapi tidak bertemu, atau mereka bertemu tapi tidak merasa dekat.

Sampai saat ini, saya masih belum membayangkan betapa bakal akan semakin sibuk manusia-manusia itu. Pada suatu saat, barangkali orang tidak perlu meluangkan waktu 10-15 menit untuk makan karena akan ada kapsul pengganti nutrisi dan suplemen yang fungsinya sama dengan nasi. Telan beberapa butir, minum air, langsung berangkat kerja karena sarapan sudah dilaksanakan hanya dalam beberapa detik saja.

Di saat saya sibuk bertanya seperti itu, pada suatu ujian bikin SIM di kota kabupaten, seorang teman duduk yang usianya setara dengan saya (ketika itu tahun 2014; usia kisaran 39 tahun), bertanya begini:
“Mas, ini mau diisi apa?”
“Mana?” Saya melongok, “Ooo… kolom itu diisi kode pos!”
Jeda sejenak.
“Kode pos itu apa?”

27 Agustus 2016

Teknik Sontekan dan Beberapa Cara Kerjanya

Dicarikan alasan apa pun, nyontek itu tetaplah bentuk kejahatan. Memang betul, ada tulisan yang sama tapi tidak persis dan itu terjadi kebetulan, tapi tentu hanya untuk satu-dua kalimat saja toleransinya. Kalau “sama persis”-nya hingga beberapa paragraf dan atau bahkan satu bab, ya, susah menyembunyikan kedok sontekannya.

Nyontek itu ada dua: main kasar dan main alus. Yang kasar biasanya cepat ketahuan (dilakukan karena terburu-buru kejar target atau setoran atau karena orderan). Yang alus biasanya aman, atau ketahuan tapi setelah waktu yang lama, atau hanya tertuduh namun tidak sampai ke tingkat perdata karena bukti tidak cukup kuat.

Sontekan yang sering bermasalah itu kalau hanya modal salin-tempel secara lugu. Salah satu teknik nyontek adalah dengan membuat parafrasa baru. Caranya, teks dipahami dulu, diolah lagi, kasih bumbu-bumbu sedikit, lalu tuang ke dalam loyang ketikan, jadilah. Cara lainnya adalah dengan; ambil semua tulisan secara utuh lalu ubah kata per kata, frasa per frasa. Setelah itu, gantilah dengan yang lain, yang mirip atau sepadan sesuai dengan tema dan gagasan.

Berikut ini ada tiga paragraf yang saya lampirkan. Secara susunan, satu sama lainnya sama, hanya ada perubahan pada kata per kata, frasa per frasa. Selamat mencoba, tapi jangan coba-coba!


USTAD SUHO

Setelah selama setahun lebih sebulan belajar secara otodidak lewat medsos dan kitab-kitab terjemahan, sekarang Suho sudah mulai tampil di balik mimbar, menyampaikan fatwa ini dan itu. Karena beruntung bisa masuk televisi, dakwahnya semakin hari semakin tersebar luas. Atas prestasinya ini, Suho mendapatkan gelar baru: Ustad Suho.

Muis, begitu juga banyak orang lainnya, mengagumi keberhasilan Suho hanya dengan satu kriteria: Suho punya banyak pengikut di media sosial meskipun itu bukan orang sungguhan alias akun-akunan. Kata Muis, ini adalah satu pertanda bahwa Suho memang pintar. Buktinya, ia mampu belajar agama dengan cepat dan kini sudah punya banyak penggemar/langganan. Bukankah kenyataan ini sudah cukup menjadi bukti bahwa semua yang disampaikan Suho itu benar adanya?

Di tempat lain, keberadaan Suho telah membuat galau Hamdi yang selama 10 tahun mengaji tafsir dan balaghah Alquran saja masih belum mampu menyesat-nyesatkan temannya yang tidak sepaham dengannya. Hamdi juga sudah belajar ushul, qiyas/analogi, balaghah, tafsir, dll, tapi tidak terkenal juga, tidak punya jamaah, sedangkan yang baru 1-2 tahun sudah ngetop minta ampun. Apa nggak bikin baper yang begituan itu?

DRIVER SUHO

Setelah selama setahun lebih sebulan belajar secara otodidak di lapangan dan video tutorial, sekarang Suho sudah berani duduk di belakang kemudi, menjalankan mobil ke sana ke mari. Karena beruntung bisa beli mobil sekaligus ‘beli’ SIM, daya jelajahnya semakin hari semakin jauh saja. Atas kemampuannya ini, Suho mendapatkan gelar baru: Driver Suho.

Muis, begitu juga banyak orang lainnya, mengagumi keberhasilan Suho hanya dengan satu kriteria: Suho punya banyak pengikut di media sosial meskipun itu bukan orang sungguhan alias akun-akunan. Kata Muis, ini adalah satu pertanda bahwa Suho memang cekatan. Buktinya, ia mampu belajar mengemudi dengan cepat dan kini sudah punya banyak penggemar/penyewa. Bukankah kenyataan ini sudah cukup menjadi bukti bahwa semua yang dimiliki Suho itu ngetop adanya?

Di tempat lain, keberadaan Suho telah membuat galau Hamdi yang selama 10 tahun jadi sopir trayek masih belum mampu membuat penumpangnya histeris karena tidak berani nyalip di tikungan, tidak berani belok mendadak atau pindah jalur tanpa sein. Hamdi juga sudah belajar kerja-kinerja mesin, rambu-rambu, etiket, dan teknik mengemudi aman tapi kok tidak terkenal juga, tidak punya penggemar, sedangkan yang baru 1-2 tahun sudah ngetop minta ampun. Apa nggak bikin baper yang begituan itu?

PENYAIR SUHO

Setelah selama setahun lebih sebulan belajar secara otodidak lewat medsos dan buku-buku fotokopian, sekarang Suho sudah berani menerbitkan buku puisi, mengisi seminar ini dan itu. Karena beruntung bisa masuk koran, popularitasnya semakin hari semakin naik dan dikenal oleh orang ramai. Atas prestasinya ini, Suho mendapatkan gelar baru: Penyair Suho.

Muis, begitu juga banyak orang lainnya, mengagumi keberhasilan Suho hanya dengan satu kriteria: Suho punya banyak pengikut di media sosial meskipun itu bukan orang sungguhan alias akun-akunan. Kata Muis, ini adalah satu pertanda bahwa Suho memang cerdas. Buktinya, ia mampu belajar puisi dengan cepat dan kini sudah punya banyak penggemar/langganan. Bukankah kenyataan ini sudah cukup menjadi bukti bahwa semua yang disampaikan Suho itu keren adanya?

Di tempat lain, keberadaan Suho telah membuat galau Hamdi yang selama 10 tahun belajar tata bahasa dan gaya bahasa, masih belum mampu menjelek-jelekkan karya temannya yang tidak dimuat-muat oleh koran dan majalah. Hamdi juga sudah belajar logika, sejarah sastra, teori interpretasi, dll, tapi dia tidak terkenal juga, tidak punya penggemar, sedangkan yang baru 1-2 menulis tahun sudah ngetop minta ampun. Apa nggak bikin baper yang begituan itu?

Catatan: ini hanya contoh dasar. Anda bisa mengembangkan teknik lain, mengubah ini dan itu, mengembangkan kalimat, dan seterusnya.

03 Juli 2016

Minta Nama

Pada suatu pagi hari Jumat di pertengahan tahun 2015, datang dua orang pemuda. Saya agak heran karena dia tidak pernah saya lihat bertandang ke mari sebelumya. Lagi pula, ia datang pagi sekali. Sepintas, keduanya tampak sebagai mahasiswa semester awal.

Setelah menyuguhkan minuman dan berbasi-basi “dari mana”, saya tunggu ia menyampaikan maksud dan tujuan, tak disampaikannya pula hingga saya suguhkan penganan. Rupanya, tamu ini tipe tamu ‘lawas’: pantang menyampaikan maksud dan tujuan sebelum tuan rumah yang menanyakan. Karena saya tahu ada aturan-tidak-terlulis semacam itu dalam tradisi kami di Madura, maka saya pun yang mulai bertanya.

“Maaf, ada tujuan apa?”
“Saya minta nama.”

Saya menautkan alis, memperhatikan lagi kedua tamu ini lebih cermat. “Masa iya usia segini sudah punya anak? Tampangnya juga kayak mahasiswa imut semester awal…” Begtulah saya bertanya kepada diri sendiri, membatin.

“Maaf, jangan tersinggung, ya!” pinta saya berhati-hati, “Apakah Anda sudah menikah?”
“Belum.”
“Loh, kok mau minta nama? Memang nama buat siapa?”

Sepi sesaat. Teman yang satu menggoyangkan sikunya ke paha teman satunya. Saya menangkap itu sebagai isyarat ‘siapa yang mesti jadi juru bicara’.

“Mmm… nama buat BAND kami!”

Astaga! Saya nyaris terjengkang dibuatnya.


06 Mei 2016

Ketika Ucap-Tulis Menjadi Doa

"Alaaah, impas kok kalau dihitung dengan kerjanya," dalih Samaon ketika dirisak perihal laba padinya yang baru panen.
Banyak orang yang bilang impas dengar arti untung; bilang lumayan padahal laba banyak. Kalau rugi sedikit saja, mengeluhnya panjang sekali. "Hati-hati kalau ngomong," pesan nenek saya, dulu, mewanti-wanti agar tak sembarangan. "Salah-salah, omongan biasa jadi doa."
* * *
"Aku ingin jalan-jalan terus yang sekiranya tidak perlu mengeluarkan ongkos. Pasti seneng, ya, jalan-jalan tanpa modal seperti itu," kata Sinu pada kawannya yang menanyakan keinginan terbesarnya. TERKABUL: Sinu jadi kondektur.
 
"Saya mau pamit cari kerja ke Malaysia, Kiai," tutur Hamdan pada Kiai Abdullah saat ia pamit pergi merantau. Setahun kemudian, Hamdan pulang kena tangkap polis. TERKABUL: ia dapat kerjaan jadi tukang bangunan tapi cukongnya nakal. Dia kerja melulu tapi tak dibayar.
 
Samsul sudah naik haji, tepatnya dihajikan pemerintah, dulu ketika ia menjabat orang penting. Kali ini, ia akan pergi haji dengan biaya sendiri bersama istrinya karena dulu ia pergi hanya seorang diri. "Panjenengan mau haji lagi, Pak?" tanya koleganya. "Ah, Ndak, cuma mau ngantar istri saja.". TERKABUL: Samsul pergi ke Makkah bersama istrinya di musim haji tapi tidak bisa menunaikan rukun-rukun haji karena pas bertepatan di kala itu ia sakit keras, padahal seger waras ketika datang dan ketika akan pulang.
 
Mamat pamit merantau kepada iparnya, Sundari, agar istrinya yang kebetulan adik kandung si Sun ini dijaga. "Aku mau cari kerja di negeri jiran, ingin bangun rumah sendiri agar tak numpang lagi kepada ayahmu," katanya.
Enam bulan, Mamat dipulangkan, kena tangkap polis. Ia tak membawa duit. TERKABUL: Mamat langsung dapat kerjaan jadi tukang bangunan tapi tuannya curang; Mamat hanya dikasih kerjaan, tapi tidak dibayar.
 
 

06 April 2016

Manajemen Popok

Popok itu, saking remehnya, sampai tidak pernah diperhatikan dalam keseharian kita. Gonjang-ganjing politik, kesemrawutan lalu lintas, penipuan, buruknya pelayanan publik, lebih menarik menjadi tema gosip dan keluhan. Sisanya, kita sibuk mencari uang, uang, uang; kerja, kerja, kerja. Saya yakin, semua keluarga yang punya anak pasti punya urusan dengan yang remeh-temeh ini: popok. Ketika seseorang memberi tahu saya bahwa ia menghabiskan uang 5 juta rupiah hanya untuk buat beli popok anaknya hingga berusia 2 tahun, saya berkesimpulan bahwa kita harus bikin manajemen popok. Dalam taksiran saya, ya, memang segitu kira-kira habisnya, yakni 5 jutaan. Ruwet juga ngurus popok ini ternyata.

Membuang popok ke keranjang di depan atau di belakang rumah, apalagi di selokan, nyatanya bukanlah sebenar-benar bentuk tanggung jawab, itu hanya pekerjaan memindah; dari kamar mandi ke tempat sampah. Pernahkah Anda berpikir, bagaimana nasib popok anak Anda itu pada akhirnya? Diurai tanah (setelah puluhan tahun kemudian), dibakar petugas, terikut banjir ke sawah ladang orang? Bagaimana?

Saat saya masih kecil, saya mengenakan popok “rambing”, yaitu sobekan kain, kadang perca, atau kain tidak terpakai yang dibentuk sedemikian rupa, dilipat, dan dibungkus plastik (untuk urusan ini saja saya berhutang banyak pada orangtua yang membesarkan saya). Saya menirunya sekarang untuk anak saya. Adanya penemuan teknologi gel yang menyebabkan ditemukannya “popok sekali pakai” membuat orang lebih senang membeli daripada bersusah payah membuat popok sendiri. Berapa pun harga pasti terbeli karena ia membuat kita lebih santai, tak perlu mencuci. Lantas, pernahkah kita berpikir, betapa seremnya sampah popok?

Seorang sahabat yang lain, beberapa hari lalu, becerita bahwa salah seorang tetangganya nyaris baku pukul dengan tetangganya yang lain karena soal popok. Si tetangga satunya ini sering membuang popok anaknya ke sebuah jurang. Benar jurang itu tanah tak bertuan, namun karena jurang tersebut dilewati pipa ledeng, yang mungkin sebagiannya bocor dan rembes, si tetangga merasa jijik sebab pipa tersebut dilalui air minum yang mengalir ke rumah-rumah penduduk. Masalah lainnya; jika hujan lebat turun, popok akan hanyut, dibawa air, lalu berserakan di ladang-ladang, mungkin pula dengan gel yang berubah warna hitam kekuningan.

Dengan menggunakan popok sendiri, atau membeli popok yang bisa dicuci, kita bisa hemat biaya. Lebih dari itu, kita telah berbuat lebih baik untuk alam, yang selanjutnya tindakan itu akan lebih ramah terhadap lingkungan. Saya menggunakan kedua-duanya; popok buatan sendiri dan popok yang bisa dicuci. Hanya kalau kepepet saja, seperti pergi kondangan atau dalam perjalanan jauh, saya menggunakan popok sekali pakai. Berikut cara-cara membuat popok (dalam gambar-gambar di bawah) yang dimaksud: 1. Ambillah kain bekas 2. Potong segi empat (sesuai ukuran) 3. Lipat memanjang 4. Letakkan di dalam bekas popok habis pakai (atau beli yang berbahan plastik) 5. Rekatkan pada dedek bayi 6. (pilihan; boleh diterapkan boleh tidak) Lapisi bagian luar dengan plastik untuk lebih aman dari kebocoran

Sekarang kita tahu, capek, kan, mengurus popok itu? Iya, jelas iya, namun jika kita lalukan, ia akan membuat kocek kita lebih lama susutnya dan jelas-jelaslah kita sudah berbuat lebih baik pada lingkungan. Dan inilah salah satu bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia, bukan sekadar sebagai orangtua. Masalah sesungguhnya, kekayaan, adanya dana, sedikitnya kesempatan, juga rasa jijik, cenderung membuat orang ingin praktis selagi dia bisa membeli popok sekali pakai, selagi dia punya duit.

Ketika ada orang enggan atau menolak untuk menggunakan popok sekali pakai karena orientasi lingkungan, masih ada pula yang berpikiran bahwa orang yang begitu itu pastilah orang pelit atau kurang kerjaan. Komentar seperti ini tidak perlu dilayani kalau tidak ingin stres. Mereka berkomentar begitu karena mereka tidak pernah bertanya; entah berapa tahun lamanya popok—yang sebagian besar bahannya berbahan plastik—itu dapat diurai oleh tanah? Apakah kita tega meninggalkan bumi ini yang sepenuhnya berisi popok bekas untuk anak cucu kita nanti?

Kalau kita duduk agak lama, tenang, berpikir dengan jernih, urusan dana buat beli popok ternyata urusan yang tidak besar-besar amat. Yang jauh lebih besar adalah ngurus “popok habis pakai sebagai sampah”. Nah! Sebagai orangtua, Anda mampu dan bertanggung jawab membeli popok, tapi mengurus dan mengurai popok habis pakai sebagai sampah, sanggupkah? Cara lainnya adalah dengan membaringkan dedek bayi pada “perlak” (karpet plastik). Anak bebas pipis kapan saja dan orangtua hanya mencuci perlak di pagi hari. Begitu seterusnya. Sayangnya, tidak semua dedek bayi, terutama yang sudah agak gede, mau tidur pada perlak sebab biasanya kurang enak, kurang bisa nyenyak.
Mari mikir, mari berbuat!





x

22 Maret 2016

Pipis di Toilet Masjid


Ponten umum biasanya ada di kota. Terus, kalau Situ mau pipis di perjalanan, di mana? Biasanya di SPBU. Saat SPBU masih jarang dan jaraknya berjauhan satu sama lain, dulu, orang-orang pada pipis di balik pohon pisang, di tepi jalan. Sebagian lagi mereka mencari masjid untuk pipis, tepatnya mencari toilet yang ada di lingkungan masjid. Masjid menjadi tidak lagi sekadar tempat shalat, tetapi juga tempat istirahat dan semacam motel; tempat bermalam.

SPBU Dawesari Grati Pasuruan

Setelah mengamati beberapa masjid, dana terbesar yang diperoleh takmir memanglah dana dari kotak amal. Ada takmir yang memperoleh dana 2.000.000 per minggu, mungkin masih ada yang lebih. Hasil kotak amal ini, kalau diperhatikan lagi, yang terbesar adalah dari receh kamar mandi dan toilet. Kotak amal edaran biasanya hanya dilakukan pada waktu shalat Jumat. Selebihnya, dari mana takmir memperoleh dana jika ada perbaikan dan rehab? Nyaris hanya berasal dari simpatisan saja.

Makanya, kalau Situ pipis di toilet masjid, supaya mereka makmur dan ndak usah minta di jalan, masukkanlah recehmu ke kotak amalnya, jangan cuma parkir, pipis, dan pergi. Maka, ucapkan terima kasih untuk takmir masjid. Wajib bagi kami/kita ngasih uang di kotak amalmu lebih banyak dari yang harus kami bayarkan ke ponten umum.


Dan ingat, hematlah air. Tidak alasan Situ menggunakan air sebanyak mungkin, lebih dari yang sewajarnya. Mubazir tetaplah haram meskipun untuk pipis saja kamu masukkan uang Rp1.000.000 ke kotak amal.

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog