
Tujuan akun blog ini, pada mulanya, adalah untuk menuliskan celoteh yang muncul secara mendadak di pikiran, yang mungkin tidak perlu pendalaman dalam permenungan. Wajarlah jika yang direncakan terbit dalam blog ini adalah renungan atas kehidupan sehari-hari. Biasanya, saya menulis tidak lama setelah menjumpai peristiwa atau suatu renungan secara impulsif.
Bertahun-tahun lalu, saya tidak pernah terpikir akan menghadapai era digital seperti sekarang, saat orang lebih menyukai miniblog seperti Facebook, atau media sosial yang lain seperti X atau IG. Di media sosial yang disebut, sekarang, kesembronoan orang dalam menulis saya kira sudah melampaui batas, setidaknya melampaui imajinasi saya ketima membuat blog ini, dulu. Nyaris setiap hari saya menjumpai komentar-komentar yang benar-benar instan, asal bunyi, tidak ada rasa malu pada kedangkalan pengetahuan yang dimiliki, bahkan tidak lagi mempedulikan pada kapasitas orang yang dikomentari dan pada saat yang sama juga tidak mempertimbangkan kapasitas dirinya dalam melihat persoalan. Rasanya, menjadi wajar jika disebut bahwa di zaman ini kepakaran sudah mulai mati perlahan-lahan, disuntik mati oleh akun-akun media sosial.
Kasus hukum terkini adalah hukum sound horeg, tata suara yang suaranya sangat keras (yang desibel-nya mungkin sudah di atas angka toleransi telinga normal manusia). Pernyataan pertama yang dilempar ke publik adalah fatwa haram dari hasil bahsul masail di PP Besuk Pasuruan, dan disampaikan oleh Kiai Muchib Aman. Di foto ini (dan ini hanya sebagian saja), ada dua nama yang berkomettar pedas terhadap hasil bahsul masail itu. Bayangkan, banyaknya referensi yang digunakan untuk merujuk hukum, waktu yang dipakai, serta diskusi panjang untuk membuat keputusan, ternyata hanya cukup ditolak dengan 10 kata saja, itupun dengan caci maki.
Kita ini harus sedih melihat kenyataan seperti ini. Mengapa makin banyak orang yang begitu mudah ngomong sesuatu tanpa kapasitas. Ini malapetaka.
Tidak setuju, ya, tidak setuju, tidak suka, ya, tidak suka, sebagaimana judi difatwakan haram namun tetap banyak yang melakukannya, tapi kan bukan dengan asbun atau kormeddal seperti itu caranya?
Produk hukum dari bahsul masail adalah karya ilmiah, hasil diskusi, renungan dan perdebatan panjang untuk menghasilkan formula hukum. Bahsul masail umumnya adalah untuk menjawab persoalan terkini dengan pandangan yang relevan. Maka, untuk menghargai prosesnya, kita harus menghargai diri kita juga dengan meletakkan posisi kita sesuai kapasitasnya. Janganlah kita mati terus dan hanya meninggalkan screenshot orang-orang atas kecerobohan kita, sementara gambar itu terus beredar, sedangkan kita sudah puluhan tahun dikuburkan.
Blog ini bernama “Kormeddal”. Saya ngeblog sejak tahun 2005, namun nama ini dipilih kemudian. Kata orang Madura tempatan, di Sumenep setahu saya, kata ‘kormeddal’ ini maknanya sama dengan waton dalam bahasa Jawa, yaitu asal, tanpa pikir panjang, asal bunyi, karena arti kormeddal sendiri adalah asal memancal kaki ke atas pedal yang secara simpelnya dapat dipahami sebagai “asal berangkat, tanpa banyak pertimbangan”. Orang terkini menyebutnya “asal ngegas”. Penyebutan istilah ini mungkin karena sekarang memang lebih banyak sepeda motor daripada sepeda kayuh.
Tujuan akun blog ini, pada mulanya, adalah untuk menuliskan celoteh yang muncul secara mendadak di pikiran, yang mungkin tidak perlu pendalaman dalam permenungan. Wajarlah jika yang direncakan terbit dalam blog ini adalah renungan atas kehidupan sehari-hari. Biasanya, saya menulis tidak lama setelah menjumpai peristiwa atau suatu renungan secara impulsif.
Bertahun-tahun lalu, saya tidak pernah terpikir akan menghadapai era digital seperti sekarang, saat orang lebih menyukai miniblog seperti Facebook, atau media sosial yang lain seperti X atau IG. Di media sosial yang disebut, sekarang, kesembronoan orang dalam menulis saya kira sudah melampaui batas, setidaknya melampaui imajinasi saya ketima membuat blog ini, dulu. Nyaris setiap hari saya menjumpai komentar-komentar yang benar-benar instan, asal bunyi, tidak ada rasa malu pada kedangkalan pengetahuan yang dimiliki, bahkan tidak lagi mempedulikan pada kapasitas orang yang dikomentari dan pada saat yang sama juga tidak mempertimbangkan kapasitas dirinya dalam melihat persoalan. Rasanya, menjadi wajar jika disebut bahwa di zaman ini kepakaran sudah mulai mati perlahan-lahan, disuntik mati oleh akun-akun media sosial.
Kasus hukum terkini adalah hukum sound horeg, tata suara yang suaranya sangat keras (yang desibel-nya mungkin sudah di atas angka toleransi telinga normal manusia). Pernyataan pertama yang dilempar ke publik adalah fatwa haram dari hasil bahsul masail di PP Besuk Pasuruan, dan disampaikan oleh Kiai Muchib Aman. Di foto ini (dan ini hanya sebagian saja), ada dua nama yang berkomettar pedas terhadap hasil bahsul masail itu. Bayangkan, banyaknya referensi yang digunakan untuk merujuk hukum, waktu yang dipakai, serta diskusi panjang untuk membuat keputusan, ternyata hanya cukup ditolak dengan 10 kata saja, itupun dengan caci maki.
Kita ini harus sedih melihat kenyataan seperti ini. Mengapa makin banyak orang yang begitu mudah ngomong sesuatu tanpa kapasitas. Ini malapetaka.
Tidak setuju, ya, tidak setuju, tidak suka, ya, tidak suka, sebagaimana judi difatwakan haram namun tetap banyak yang melakukannya, tapi kan bukan dengan asbun atau kormeddal seperti itu caranya?
Produk hukum dari bahsul masail adalah karya ilmiah, hasil diskusi, renungan dan perdebatan panjang untuk menghasilkan formula hukum. Bahsul masail umumnya adalah untuk menjawab persoalan terkini dengan pandangan yang relevan. Maka, untuk menghargai prosesnya, kita harus menghargai diri kita juga dengan meletakkan posisi kita sesuai kapasitasnya. Janganlah kita mati terus dan hanya meninggalkan screenshot orang-orang atas kecerobohan kita, sementara gambar itu terus beredar, sedangkan kita sudah puluhan tahun dikuburkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar