Melihat senarai acaranya, ide pentas ini unik dan menarik, bahkan juga eksentrik, berbeda dari yang sudah-sudah. Konser yang dibuka dengan pembacaan Ratib Syaikhona, ya, inilah Ritmik Madura. Sekelompok anak muda dari Bangkalan, menamakan diri Kasokan, membuat album Nata Aba’ sekaligus klip video bahkan hingga pertunjukkan empat kotanya secara berangkai. Mereka memulai sila-tour-ahmi mereka dari timur, dari Sumenep. Acaranya ditempatkan di depan Museum Keraton Sumenep, tanggal 14 Juni 2025 yang lalu.

Saya hadir di acara itu yang sayangnya tidak terlalu banyak penontonnya kecuali jika orang-orang yang berseliweran di area panggung dihitung juga sebagai bagiannya. Kurangnya informasi saya kira menjadi alasan utama mengapa situasi seperti ini bisa terjadi, padahal tata panggung, pencahayaan, terutama tata suaranya, disajikan dengan sangat baik, sangat-sangat baik. Januar Herwanto, salah satu warga yang hadir, menyatakan ‘kesayangannya’ juga. “Kok bisa acara sekeren ini terlewat oleh orang-orang, ya!” keluhnya. Ia juga menambahkan, “Mestinya mereka main di Java Jazz saja.”
Setidaknya, ada tiga hal yang saya catat terkait pertunjukan perdana mereka di Sumenep. Pertama, komitmen kemaduraan. Di antara visi dan misi yang dibawakan oleh kelompok dengan 19 personel dengan seabrek alat musik ini adalah spirit “kemaduraan”, termasuk mengusung revitalisasi bahasa ibu, Bahasa Madura, yang di dalamnya terkandung ‘ajaran’ bhasa alos terhadap orang tua dan orang-orang yang dianggap lebih tua. Kedua, pertunjukan diawali oleh pembacaan doa, dalam hal ini Ratib Syaikhona Kholil. Pengalaman ini menghadirkan antitesis yang terlanjur menempel pada konser, keberisikan dan hura-hura. Dengan cara seperti ini, pertunjukan Kasokan menghadirkan energi yang berbeda. Ketiga, kolaborasi. Mereka melibatkan artis dan seniman lokal untuk tampil. Langkah ini saya kira sangat bagus, semacam bentuk ghalanon terhadap tuan rumah.
Catatan saya untuk konser Sumenep (karena artikel ini ditulis sebelum konser kedua mereka dilaksanakan di Pamekasan, jadi saya belum bisa menulis ulasan pertunjukan di Pamekasan yang kabarnya akan melibatkan Musik Daul Sekar Kedathon, Sanggar Seni Makan Ati, Eros Van Yasa, dan Paramuda Keroncong), apresiasi penonton masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan persiapan mereka yang sudah ada di level megah: panggung yang besar dan tata suara yang sangat jernih. Seperti disampaikan di atas, poster dan pengumuman yang disebarkan terlalu dekat dengan hari H sehingga tidak banyak yang tahu, serta gangguan iklim yang sifatnya tidak dapat diterka (hujan mengguyur H-2 dan H-1). Nah, untuk sesi Pamekasan, konser akan diselenggarakan pada Sabtu 28 Juni 2025 [dan mereka mengagendakan pertunjukannya ini per dua pekan sampai tuntas empat kabupaten: Sampang 12 Juli, Bangkalan 26 Juli, semuanya di hari sabtu, malam minggu]).

Saya menaruh apresiasi yang tinggi untuk mereka dan album terbaru mereka, Nata Aba’, yang dalam pengamatyan saya (sebagai pendengar dan penonton) sederhana secara materi namun fundamental dalam misi. Komposisi dan bebunyiannya sangat kompleks, hal ini juga disebabkan karena personel serta alat musik yang banyak. Kiranya, kini saatnya kita memberikan apresiasi untuk sebuah pertunjukan yang cenderung reflekif, alih-alih hura-hura dan berisik semata. Saya kira, Kasokan ini sudah berada di jalur yang dapat saya gambarkan slogannya dalam sebuah statemen: “Jika selama ini konser membuatmu lupa, maka yang ini akan membuatmu ingat!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar