Seperti biasa, setiap mau pergi dari area parkir, aku selalu meminta karcis sebagai bukti. Cara ini, meskipun terkadang makan hati, kuanggap sebagai langkah yang bijak sebagai bahan pembelajaran “anti-kompromi terhadap segala macam pungli”. Sebab, dengan membiarkan parkir tanpa tanda bukti, itu berarti kita setuju/membiarkan praktik pungli (pungutan liar) terjadi. Bukankah pungli merupakan salah satu nenek-moyang korupsi, kawan?
Tadi pagi, setelah hendak pergi dari tempat parkir, jukir (juru parkir) itu mendekatiku. Kusodorkan uang 1000 rupiah karena kutahu tarip parkir di tempat itu masih Rp500,- saja. Setelah selembar uang seribuan itu berpindah tangan, orang itu menjauh.
“Ah,” keluhku. “Sudah tidak ada karcis, narip-nya 1000 rupiah lagi!” Aku membatin sambil membayangkan, berapa banyak orang yang mengalami kejadian seperti ini dan menghadapinya denmgan cuek saja.
“Pak, karcisnya mana?” Kataku agak lantang.
“Oh, ini!” Kata si bapak jukir tersenyum seraya menyodorkan karcis dengan tarip 500 perak untuk sekali parkir.
“Kok tidak ada kembaliannya, ya? Seharusnya
Setelah kuamati, ternyata karcis parkir itu ada dua lembar. Bapak tersebut mungkin turunan Abu Nawas, demikian kesimpulanku. Dia ogah untuk membayar sisa uang kembalian 500 rupiah padaku, tetapi justru memberiku 2 karcis sekaligus sehingga bertarip 1000 rupiah.
Maunya marah, akhirnya aku jadi tersenyum, meskipun agak masam.
2 komentar:
Hehehehe....
Hmmmm iyaaaah gimana yah, keknya tindakan seperti itu udah membudaya ya.....
Mungkin kalo ceritanya yang lebih kelas kakap lagi, senyumnya tambah masam ya... heeeheheh
tersenyum sambil mengunyah buah asam, hi...hi...hi....
Posting Komentar