“Mat, tolong karburator ini diantar ke aku. Sekarang aku jumatan di Masjid Karduluk. Kamu cari Yono. Suruh dia yang berangkat. Cepetan, Mat. Pokoknya, habis Jumatan, aku tunggu. Makasih. Wassalamualaikum…”
Aku mengakhiri panggilan dan langsung menuju tempat wudhu’, siap shalat Jumat di Masjid Karduluk. Singkat cerita, beberapa menit sehabis Jumatan, aku telepon lagi Si Mamat.
“Sudah berangkat Yono-nya, kak.” Sergah suara di seberang, lebih dulu menjawab pertanyaanku yang telah diduganya.
“Oke, Makasih.”
“Iya. Saya kasih tahu dia agar langsung ke Masjid Karduluk, dan dia langsung berangkat, kira-jkira
Dalam hitungan normal, jarak waktu tempuh dari rumahku ke Masjid Karduluk berkisar 20 menit, atau 15 menit jika agak ngebut. Tapi, sudah 40 menitan aku menunggu, si kurir tak kunjung datang juga. Perasaan was-was mulai membayang, “Jangan-jangan ban sepeda motornya pecah; jangan-jangan kehabisan bensin dan dia sedang tidak membawa uang; jangan-jangan…”
[Aku tahu secara haqqul yaqin, Si Yono ini jelas tidak membawa HP]
“Mana, Mat?” Teleponku lagi dengan suara memburu.
“Loh? Belum nyampe, apa?” Mamat justru menunjukkan intonasi keheranan.
Akhirnya, kuputuskan saja untuk kembali ke rumah, dengan harapan: semoga nanti bisa berpapasan di tengah jalan. Aku pun meninggalkan Masjid Karduluk dengan kecepatan 40 km / jam dan terus konsentrasi ke arah depan, memperhatikan semua sepeda motor yang datang dari arah berlawanan. Dan betul! Aku menjumpainya di depan Masjid Mustaqbil, Prenduan. Kucegat, dan langsung aku semprot:
“Ke mana saja kamu? Kok lama?”
“Saya sudaha sejak tadi di sini.”
“Lho, kok?”
“Saya cari-cari, tapi gak ketemu, bahkan saya sudah sampai ke kantor Telkom di Aeng Panas?”
“Loh???”
Sekarang, aku mulai paham.
“Memang masjid Karduluk itu sebelum kantor Telkom atau sesudah kantor Telkom?” tanyaku menguji kecapakan geogafi dan peta dasarnya. Tapi, Si Yono ini hanya diam tanpa ekspresi. Aku segera menjelaskan, “Masjid itu masih jauh ke arah timur kantor Telkom, masih dua kilometeran lagi, Yon.”
Aku diam, menarik napas, dan mengambil bungkusan plastik berisi karburator itu dari tangannya.
“Kamu tahu Masjid Karduluk,
“Tidak!” Jawabnya begitu cepat, begitu gesit.
3 komentar:
Ha ha ha ha....
coba lain kali kalo janjian jangan di masjid keh, e "barung" saja sambih ngopi .... kan enak, ada pelayannya lagi ha ha ha
di warung yang mana, syekh? itu yang kata Sampeyan warung-nya Bu' siapaaaaa gitu...
Posting Komentar