Sering saya melihat ada lampu jalan yang menyala sepanjang siang. “Lampu jalan yang dulu menggunakna lampu jenis gas merkuri itu tentu banyak sekali menghabiskan daya,” pikir saya. “Masih mendingan sekarang, lampu jalan sudah menggunakan lampu hemat energi (LHE).” Tapi, yang menjadi persoalan adalah: mengapa lampu jalan ini, di tiang-tiang yang tidak menggunakan otomat, selalu menyala di siang hari?
Betul, tiang lampu jalan umumnya berdekatan dengan rumah penduduk, sehingga, atau semestinya, mereka bisa ikut merawat lampu jalan jalan ini. Namun, seringkali mereka, atau kita, merasa tidak perlu memperhatian nasib lampu jalan ini. “Itu urusan dishub, itu urusan orang lain, itu bukan urusan saya.” Maka, lampu jalan itu pun menyala sepanjang malam dan sepanjang siang. Ia menyala dalam seminggu, terus-terusan, dan seterusnya. Toh, meksipun tiang bersaklar itu berdekatan dengan rumah penduduk, namun si pemilik ruamah, atau ketika ada orang yang kebetulan lewat di dekatnya, tidak punya inisiatif untuk memadamkannya saat pagi tiba.
Hal ini menunjukkan bahwa rasa kepemilikan kita tehadap fasilitas umum masih rendah. Tidak hanya soal lampu yang biayanya diambil dari rekening kita, masih banyak fasiltias lain yang tidak bisa dijaga, antara lain halte, telepon umum yang nyaris tidak berfungsi lagi, dan sebagainya. Apakah perhatian kita akan muncul hanya jika ada bayaran yang secara khusus dibebankan pada kita?
Di sisi lain, sebenarnya pemandangan buruk ini berhubungan juga dengan etiket dan kebiasaan kita. Sungguh masih sangat banyak orang yang karena dia mampu, dia berani menghambur-hamburkan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Contoh, menyalakan lampu lebih banyak dan tidak perlu memadamkannya (ini di rumah sendiri) hanya karena dia mampu membayar tagihan listrik. Atau, dia mampu berjalan kaki untuk jarak tertentu tetapi dia menggunakan sepeda motor hanya karena mampu membeli premium. Sungguh, hemat itu bukan takdir untuk orang miskin. Hemat itu adalah etiket, atau anjuran agama.
Jika ada orang yang sudi memadamkan lampu jalan ketika dia lewat di dekat tiang itu pada saat hari sudah siang, pasti dia punya kecerdasan yang berbeda dengan orang yang tidak memadamkannya meskipun tiang lampu jalan itu ada di dekat rumahnya, bahkan lampu itu untuk menerangi lingkungan tempat dia tinggal. Nah, jika kecerdasan jenis ini ada skornya, saya yakin bahwa jenis orang yang pertama akan mempunyai kecerdasan yang lebih baik daripada orang yang kedua. Namun, saya tidak tahu, kecerdasan apa ini namanya.
3 komentar:
Fasilitas Umum adalah milik bersama. Sepertinya, pelajaran Akhlak kita masih terbatas pada permukaan dan basa-basi. :)
Ini adalah tugas kita bersama, terutama pakar Etika Terapan, Gus Mustov. :)
Mungkin akhlak ayah saya bisa diteladani. Lantaran 'ilmu hal' yang sering ditampakkan kepada saya olehnya lah, saya mengharuskan diri berhenti (saat bersepeda motor atau jalan kaki)ketika lewat pemakaman pinggir jalan barat daya rumahku (berjarak sekitar 1 km). Suatu waktu, saya pernah berboncengan bersama ayah, mau pergi... (lupa). Tatkala lewat di pemakaman, ayahku yang mengemodikan sepeda motor menghentikan kendaraannya. Rupanya beliau turun sebentar untuk memadamkan lampu merkuri pemakaman yang belum padam (dipadamkan). PAdahal, di sebelah utara pemakaman tersebut ada rumah yang banyak penghuninya.. Terima kasih, kiai. Tulisan ajunan sangat ringan dan sarat makna. Salam,,,
Ahmad Sahidah: ternyata saya tidak membalas kometnar Anda. Fasilitas umum milik bersama. Banyak orang masih merasa sulit untuk mengerti pernyataan ini.
Hairul Anam: terima kasih juga telah mampir dan menyempatkan membaca
Posting Komentar