Hari ini, saya sekeluarga, beserta, adik perempuan dan anak-anaknya,
pergi kondangan ke daerah Nangger, tetangga desa satu kecamatan. Letaknya kira-kira
9 kilometer dari desa dusun saya. Tuan rumah bernama Hosni. Hari ini kami
memnuhi undangan walimah untuk anaknya, Khotimah.
Tanpa lebih dulu mengingat-ingat pada dampak hujan yang
turun sejak kemarin hingga hari ini, siang itu saya terkejut begitu melihat
kondisi jalan setapak menuju lokasi; becak dan licin. Anak saya sempat terjatuh dan
bajuya kotor. Ibu nyaris terseok, sangat kesulitan melangkah. Istri dan adik
perempuan saya, yang kebetulan juga membawa 2 anakya, pun mengalami hal yang
sama. Jalan itu hanyalah pematang, jalan setapak yang mengantarai petak-petak
sawah. Kalau tergelincir, dijamin kotorlah semua pakaian.
Pemandangan yang mencuri perhatian saya adalah adanya kabut
di gunung Payudan. Ini adalah pemandangan tidak biasa mengingat “gunung”
Payudan itu sebetulnya hanyalah gugusan bukit saja. Dari bawah, saya
membayangkan sedang berada di lereng Merbabu atau Dieng, atau kalau mau lebih
hiperbolis, sedang berada di kaki Himalaya . Kami
sangat senang sekali melihat penampakan kabut itu karena nyaris tak pernah kami
lihat sebelumnya, di Madura.
Desa Nangger merupakan desa yang barangkali paling subur di kecamatan
Guluk-Guluk, atau bahkan di Sumenep. Di sana ,
air sangat melimpah. Padi tumbuh di tanah yang gembur. Berbeda dengan daerah
lain di Madura yang selalu krisis air di musim kemarau panjang, desa Nangger
serta tetangga desanya, Daleman dan Tambuko, selalu berkecukupan.
Desa ini berada di kaki perbukitan Payudan, perbukitan
(masyarakat setempat menyebutnya “gunung”) tertinggi di Madura. Uniknya, siang
tadi, saya lihat kabut tebal tampak bagaikan kerudung bagi puncaknya. Hanya satu-dua
kali saya melihat ada kabut di Madura, namun tak sehebat kali ini.
Siang tadi, tuan rumah sangat berbahagia namun lantas seolah
merasa bersalah. Seperti tamu-tamu yang lain, kami datang dengan belepotan
lumpur. Kepada kepala desanya yang masih muda dan duduk bersebelahan dengan
saya, Saifur Rahman, saya berkata, “Saya senang lewat di jalan becek. Jika bukan
sekarang, tentu akan sulit saya datang menuju undangan walimah yang didahului
oleh adegan berjibaku dengan lumpur seperti sekarang ini.”
Anggaplah ini latihan off-roading…
3 komentar:
MEMBACA tulisan di atas, membuat saya ingat saat menikah pada tahun 1999 yang lalu. Karena jarak Jember-Lamongan itu tidak dekat, oleh mertua (saat itu masih calon), saya diminta datang lebih dulu dengan naik bis. Tentu saya datang tidak sendiri, ada kakak yang menemani. Sementara, para supporter( baca: pengiring pengantin), satu mobil saat ini (sayang sekali saya lupa apa jenis mobil yang disopiri oleh teman saya, Sugeng namanya)datang pada hari H.
Tentang saya yang harus datang duluan, menurut mertua, itu sebagai tindakan jaga-jaga saja. Dengan jarak tempuh yang jauh, kalau ikut rombongan, kalau mobil ngambek/mogok, atau ban gembos,tentu akan menimbulkan akibat. Salah satunya; acara akad nikah yang sudah ditentukan 'sangatnya' (waktunya) bisa tidak terpenuhi. Padahal, ada memang para orang tua yang untuk menentukan akad nikah telah ditentukan waktunya sedemikian rupa. Dan tidak sembarangan bisa diubah.
Dengan berangkat pagi buta, mereka para supporter saya sampai Lamongan beberapa saat sebelum akad nikah. Yang namanya pengiring pengantin, tentu saja berbusana sedemikian rupa. Lengkap dengan sandal atau sepatu terbaik. Namun apa daya, sampai di lokasi acara, tanah gembur berlumpur oleh hujan yang mengguyur semalam, membuat sandal-sandal bagus dan beberapa sepatu dengan hak agak tinggi langsung menancap begitu menginjak tanah. Tidak ada cara lain, dengan disambut terima tamu dari pihak keluarga pengantin perempuan, para supporter saya itu berjalan sambil mencangking alas kaki masing-masing. *****
waduh, komentar Pak Edi panjang banget, sampe lebih panjang daripada posting saya.. hahaha... ya, saya kira kita selalu punya pengalaman unik saat menghadapi saat-saat genting. berlumur lumpur adalah salah satu dari bagian yang unik itu. ternyata alam kita tak jauh berbeda, ya, Mas...
Saya ingin membaui lumpur Nangger. Catatan Kormeddal membantu saya untuk melihat kembali apa yang tercecer dalam keriangan masa kecil.
Terima kasih, Gus.
Posting Komentar