Pada tahun 1999, pada suatu hari, saya sempat diburu waktu
untuk tiba di suatu tempat. Sementara angkutan umum yang lewat sangat jarang di
kala itu. Waktu mendesak, saya kepepet. Apa boleh buat, akhirnya saya nekat
mencegat seorang bapak tua yang bersepeda motor dan kebetulan melintas.
Alhamdulillah, dia berhenti. Saya bilang izin nunut, dia mengangguk. Saya pun
mengangkangi sadel Yamaha Alfa-nya. Di perjalanan, saya sampaikan alasan saya
kenapa mencegat dia. Dia paham dan akhirnya saya sampai di lokasi tanpa
terlambat.
Berdasarkan pengalaman pertama di atas, maka pada
tahun-tahun berikutnya, ‘bonceng mendadak’ seperti ini, selama beberapa waktu,
nyaris jadi kebiasaan saya. Setiap pergi kuliah, saya selalu membawa helem.
Seringkali saya cegat orang yang naik sepeda motor sendirian, di tempat yang
ramai tentu, tersenyum manis, agar saya tidak diduga penjahat. Kalau dia mau,
saya nunut, mengeluarkan helem dari tas. Kalau ogah, ya, biarkan saja dia lewat
karena saya tetap menunggu angkutan umum yang akan lewat.
Nah, tahun-tahun setelah itu, saya masih ingat ketika dulu,
sebelum Jembatan Suramadu diresmikan, sering sekali saya numpang bonceng orang
yang akan turun dari ferry di Pelabuhan Kamal. Perlu diketahui, dari dermaga ke
tampat parkiran taksi (sub-terminal) di Pelabuhan Kamal itu lumayan jauh, ya,
sekitar 400-an meter. Kalau berjalan kaki jelas capek, apalagi jika kita sedang
bawa barang berat. Ketika geladak kapal tinggal berapa meter dengan dermaga,
mesin-mesin sepeda motor dinyalakan. Nah, pada saat itu saya amati, siapa saja
orang yang hanya sendirian. Minta izin numpang tentu, maksudnya, “Pak, nunut
sampai pintu gerbang!”
Setelah sekian lama hal itu tidak saya alami, kemarin sore,
27 Juli 2013, ia terjadi lagi:
Saya menghadiri acara Haul Kiai Abdul Hamid bin Itsbat di
Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Sabtu 18 Ramadhan 1434 (27 Juli 2013)
kemarin. Sesiangnya, saya berpesan kepada Nirul, sopir yang membawa kami
berangkat secara rombongan, agar parkir di bagian terdepan karena saya mau
pulang cepat. Nirul tahu saya punya tugas menjadi imam tarawih setiap malam
tanpa pemain pengganti. Adapun jarak lokasi haul ke rumah saya itu kira-kira
30-an km atau perjalanan 45 menit. Karena itu, waspada dan sigap, habis buka
puasa saya mesti langsung mancelat (pergi berbegas).
Namun, begitu saya sampai di lokasi parkir, astaga. Manusia
dan mobil tumpek blek. Bis lebih seratus dan entah berapa puluh mobilnya.
Manusia nggak terhitung lagi. Saya hampiri Nirul dan bilang padanya, “Maaf,
Rul. Saya pulang duluan. Kamu pulang belakangan saja, ya, setelah macet
selesai.”
Sebetulnya, saya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana
mengingat ini bulan puasa, sudah adzan Maghrib pula. Angkutan umum, di situ,
pada hari-hari biasa saja susah, apalagi sekarang. Namun karena tuntutan harus
tiba di rumah sebelum Isya, maka saya pun memakai jurus lama (seperti di atas),
yakni mencegat sembarang orang naik sepeda motor yang tidak berboncengan.
Seorang lelaki bersepeda Supra lewat.
“Pak, numpang ikut sampe pertigaan!”
“Wah, maaf, saya bonceng dua,” katanya setelah sempat
memperlambat laju sepeda motornya. Dua-tiga sepeda motor lewat tanpa bisa
distop. Lalu, seorang lagi, agak tua, lewat dengan sepeda motor Vega.
“Pak, ikut sampai pertigaan.”
Dia berhenti. “Nah, pasti ini dia pahlawannya,” batin saya
di dalam hati.
Senang dan tanpa basa-basi, langsung saya kangkangi saja
sadelnya. Sepeda berjalan, saya bertanya, “Ini Sampeyan mau ke mana, Pak?”
“Palengaan.”
Putar haluan, nggak jadi cuma sampai pertigaan, pindah jalur
saja.
“Ah, kalau begitu, saya ikut sampai Palengaan.”
“Loh, memang Sampeyan ini mau ke mana?”
“Guluk-Guluk.”
“Wah, jauh itu.”
Bapak ini agar oportunis. Tanjakan-tanjakan panjang atau pun
mengular dilahapnya begitu saja. Gayanya ambil kanan terus, karena kebetulan malam itu banyak sepeda
motor yang pulang dari tempat yang sama, Banyuanyar. Di tengah perjalanan, saya
sampaikan padanya bahwa saya punya tugas jadi imam tarawih. Saat itu, jam
menunjukkan pukul 17.45. “Berarti, waktu saya tinggal 45 menit lagi,” kata saya
yang sontak membuat ia mendadak menarik gasnya. Gawat!
Saya menelepon orang rumah agar dijemput ke Bandungan. Saya
berjaga-jaga. Dan setelah saya bertanya perihal kemungkinan adanya tukang ojek,
dari Palengaan ke Bandungan, juga dari Bandungan ke Guluk-Guluk. Nggak ada
ojek, katanya. Dan dia pun langsung menawarkan diri untuk antar saya langsung
ke Bandungan. Saya tahu, jarak dari
Palengaan ke Bandungan itu lumayan jauh, sekitar 7-8 kilometer. Saya
berbasa-basi dengan rasa kasihan. Saya tahu, Pak Trisno—namanya saya ketahui
belakangan—ini pasti ingin cepat sampai di rumahnya. Tapi, saya juga sedang
kepepet, kan? Repot.
Tak terasa, tibalah kami di Palengaan. Dan orang itu,
langsung ambil kanan menuju Bandungan tanpa banyak bicara.
Jalan sepi membuatnya makin gairah untuk ngebut. Saya minta sedikit pelan karena
jalan tidak rata dan banyak berlubang. Semua perjalanan ini sungguh lancar.
Setelah tiba di Bandungan, saya kasih dia 20.000 serta
berkata,
“Pak ini, buat ganti bensin.”
“Terima kasih,” katanya.
Tak lama setelah dia pergi, saya shalat Maghrib di sebuah
mushalla tepi jalan. Habis itu, sekadar ngobrol dengan penjual kembang api dan
petasan, saya bertanya perihal tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan
Bandungan. Jawaban mereka sama: tidak ada tukang ojek. Apa karena faktor bulan
puasa atau karena memang tidak ada pangkalan ojek di sana?
Beruntung, sebentar kemudian, datanglah jemputan dari rumah.
Budi nongol dengan sepeda motor Honda Astrea Prima. Pukul 18.18, kami meluncur
ke timur. Saya hubungi Nirul untuk melaporkan perjalanan; dia bilang baru bebas
macet pada saat saya sudah sampai di Bakeong. Akhirnya, bertepatan dengan
dikumandangkannya adzan Isya, saya tiba di rumah, ambil wudu, langsung meddal
ke langgar untuk Isya dan tarawih.
6 komentar:
Tanggung jawab luar biasa...berburu waktu demi tanggung jawab untuk santrai-santrinya beliau.
KARENA nunut kali ini sebagai 'sungguh terpaksa' dan di luar rencana, saya kira Sampeyan tentu tak mempersiapkan helem di dalam tas.
Syukurlah tak terjadi apa-apa di jalan dan Sampeyan selamat sampai tujuan. Lalu 'nyopir' tarawihnya bagaimana? Apa sengebut Pak Trisno atau sesantai Kyai Zailani?
http://ediwinarno.blogspot.com/2013/07/kyai-zailani.html
Mas Edi, saya pelan, nyaris sama dengan shalat isya', kalau tarawih. anggota saya juga tidak banyak karena di kanan kiri langgar banyak musholla juga. Pake stopwatch, saya pernah hitung: 39 menit saja
Rata-rata kecepatan tarawihnya tidak diketemukan. mungkin harus pinjam spidometer ke muhammad mushthafa dulu. hehehehehe
@Mudhar: saya tidak menghitung, tapi pernah ada skor akhir dengan catatan stopwatch: 39 menit
@Anonim Pertama: Terima kasih atas komentar Anda, aamiin, semoga kita semua masih selalu diberikan kesempatan dan kesehatan untuk senantiasa berbuat kebaikan
Posting Komentar