Penggambaran ini bukan soal mengapa dia tidak mengenakan baju di saat shalat. Apakah bajunya basah karena terkena lumpur atau lupa dibawa saat pagi hari dia pergi ke sawah, padahal ketika itu waktu shalat Duhur sudah hampir habis dan ia harus menunaikan kewajibannya? Yang pasti, gambaran ini menjelaskan bahwa dia sudah cukup syarat menutupi aurat untuk shalat. Orang yang kebetulan lewat di kejauhan akan menganggapnya pantas-pantas saja.
Akan tetapi, tentu tidak demikian kesan yang akan muncul jika dengan pakaian dan dandanan seperti itu dia sedang mengimami shalat Jumat di sebuah masjid agung. Shalatnya sah, sih, sah, dan mungkin juga tidak ada masalah karena hubungan tersebut adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Tapi, mana mungkin ia akan lakukan itu di masjid?
Tiga paragraf di atas hanyalah sebuah ilustrasi tentang sesuatu yang benar dan pantas dan juga tak pantas. Saya tambahkan tiga ilustrasi lainnya di bawah ini.
Seseorang dengan dandanan pemulung sampah sah-sah saya turun dari Mercy SLK lalu masuk ke warung dan makan siang. Sepanjang ia membayar setelah makan, pemilik warung tentu tidak akan mempermasalahkannya; mobil sport itu ia peroleh dari hasil memulung di mana atau pinjam milik siapa. Atau, ini lagi: ada perempuan sangat cantik bergandengan tangan dengan lelaki tua yang miskin. Apakah ini juga pantas?
Tunggu, saya tambah satu lagi: kalau kamu buat cerita dan kamu jadi tokohnya; seorang pemuda desa yang miksin menikah dengan anak presiden yang cantik, pintar, kaya, dan dihormati, itu bisa saja terjadi dan dipantas-pantaskan. Tapi, cobalah tawarkan cerita kamu itu. Di koran mana pun ia tak akan dimuat, dijual di asongan pun tak akan laku. Mengapa? Meskipun itu semua benar dan nyata, tapi ya, itu tadi, semua itu ada pantas-pantasnya. Perkecualian hanya terjadi secara tak terduga dan jarang, sedangkan manusia cenderung membaca, melihat, dan menyaksikan sesuatu yang lumrah dan kaprah di sekitar mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar