Foto ini adalah tangkap layar (printed screen atau screenshot) dari sebuah akun di Facebook, yakni Abuya Busro Karim. Beliau merupakan Bupati Sumenep. Di Facebook, Bapak Bupati membagikan tautan berita tentang penerbangan komersial dari Bandara Trunojoyo (Sumenep) yang kemudian ditanggapi oleh banyak komentator. Mari kita simak:
STATUS TAUTAN DARI PAK BUPATI:
"Trigana Air : Penerbangan Perdana Komersial Pertengahan Agustus"
KOMENTAR WARGANYA: “Maaf pak kyai rencana audiensi dengan jennengan tidak bisa terlaksana hari ini karena saya habis sakit mata saya kuatir bapak ketularan karena mata saya masih merah…insyaallah hbs lebaran saya akan sowan ke jennengan….membangun visi pengembangan kebudayaan madura ke depan nya….”
Sepintas, status dan komentar di atas ini (sebagaimana dapat dilihat di dalam foto) biasa saja terjadi (di Facebook), namun jika ditelisik, maka ia akan tampak sebagai sebuah gejala komunikasi yang tidak sehat. Tidak masalah masyarakat menyampaikan aspirasi kepada Bupati lewat media apa pun, termasuk juga Facebook, sebagaimana mereka juga menyampaikannya lewat email atau pengaduan SMS, apakah hubungun status Bapak Bupati dengan tanggapan di bawahnya? Nggak nyambung. Soal kepantasan, apakah hal itu pantas disampaikan dengan cara seperti itu? Tidak mungkin itu terjadi di luar Facebook. Apakah komentar di atas sudah dianggap konfirmasi? Jelas tidak cukup.
Media sosial, termasuk Facebook, telah menghapus banyak kesenjangan antarkelas. Bicara soal kesetaraan dan komunikasi, kenyataan ini bagus. Akan tetapi, yang juga perlu diingat adalah bahwa cara seperti ini juga menyisakan masalah aturan main berkomunikasi, seperti hubungan guru-murid, kiai-santri, tua-muda, dan atau juga sebagaimana tampak di atas, warga dengan pemerintah. Komunikasi seperti ini kerap menjadi masalah. Komentar ‘asbun’ alias ‘asal bunyi’ kerap terjadi di media sosial, yang tragis (namun mungkin tanpa sepengetahuan orang lain) seperti komentar antipati dan sinisme, yang ditulis di toilet atau sambil tiduran untuk keputusan yang dipikir dan telah dimusyawarahkan berbulan-bulan.
Itulah, lalu lintas komunikasi di sosial media begitu kacaunya sehingga orang bisa seenaknya bicara dan menulis. Mengapa hal ini terjadi adalah karena anggapan dan sudut pandang orang yang menggunakannya, misal bahwa ia hanya main-main di Facebook atau Twitter; atau pula ia terpengaruh pada jarigan atau teman yang ada dilingkungan pertemanannya yang rata-rata mempunyai anggapan seperti itu. Apa beda dunia maya dan dunia nyata? Selama kita menganggapnya tidak ada perbedaan berarti di dalam komunikasi, maka tak perbedaan tidak itu. Pada saat berkomunikasi, kita tidak dekat dengan lawan bicara; secara jarak dan secara emosi: itu saja perbedaannya. Tata cara dan aturan berkomunikasinya—seharusnya—tetaplah berlaku sama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ya, setuju saya.
matur nuwun
Posting Komentar