Hari ini saya keluar rumah untuk takziyah sekaligus menghadiri haul pertama KH. A. Warits Ilyas sekaligus tahlil bersama untuk para almarhumin masyayih Pondok Pesantren Annuqayah di Rubaru. Perjalanan dari rumah ke tempat acara pertama (takziyah) di Sumenep sekitar 23 km. Dari Kota Sumenep ke Rubaru mungkin 17-an km. Begitu rencana yang saya catat.
Saat masuk jalan lingkar atau ringroad menjelang kota, saya mengeluarkan uang 2 x 50 ribuan dari dompet untuk belanja bahan bakar. Jadinya, uang saya tinggal seratus ribu lebih sedikit yang tersisa. Kepada dua lembar uang pecahan 50 ribuan itu saya berkata, layaknya ngomong kepada manusia.
“Hai uang, kali ini engkau akan berpindah ke tangan orang lain. Sebab ini adalah niscaya dan memang begitu yang seharusnya terjadi, pergilah, tapi ingat: jangan lama-lama!”
Semua penumpang mobil yang saya kemudikan itu tertawa seketika melihat apa yang saya lakukan. Mereka kita saya berkelakar, padahal saya bersungguh-sungguh. Saya percaya, apa pun itu sebetulnya bisa diajak bicara. Barangkali hanya cara meresponnya saja yang berbeda-beda, dan kita tak paham. Jelas, yang mendengarnya tentu hanyalah Yang Esa.
Pagi ini saya melayat ke rumah duka di Kolor, Sumenep. Yang wafat adalah H. Abdul Aziz, orangtua dari kawan saya Edi Mulyono. Sebelum masuk perumahan, saya menemukan kejutan: bertemu dengan Pak Nurhadi, ketua pak RT setempat yang dulu pernah bekerja dengan saya di Jurnal Edukasi. Sepuluh langkah berikut, saya bertemu dengan Pak Zawawi Imron yang menyapa dari belakang saat beliau dibonceng dengan sepeda motor; tujuan kami sama. Lima langkah berikutnya, eh, giliran Pak Pri yang menyapa. Beliau adalah mantan sopir AKAS II Sumenep-Jogja yang dulu sering saya turuti bisnya.
* * *
Sehabis takziyah, saya langsung menuju Rubaru untuk mengukuti haul masyayikh Annuqayah. Acara ini digagas oleh IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) Rubaru. Acaranya dikemas sederhana, yakni menggunakan pranata acara standar: pembukaan, pembacaan Yasin, tahlil, ceramah, doa. Acara sedikit molor karena kendala teknis namun saya sudah tiba di TKP 10 menit sebelum pukul 13.00, yitu waktu yang dijadwalkan.
Selepas acara, salah seorang panitia memberi saya amplop, katanya ‘uang transport’. “Oh, tidak!” balas saya. “Hari ini saya memang mau takziyah juga, jadi ‘di-sekalian-kan’ saja keluar dari rumah. Tidak perlu ganti uang BBM segala. Terima kasih!”. Dia ngotot, memaksa agar saya menerimanya. Singkat cerita, amplop itu masuk ke kantong baju. Sebab itu, akhirnya saya ceritakan kepadanya bahwa tadi sebelum masuk SPBU, saya sempat “berbicara ini-itu kepada uang dengan maksud sebagai doa”. Saya tertawa dan beliau tertawa karena tawa saya. “Boleh dicoba kapan-kapan,” katanya.
Alhamdulillah, doa terkbaul. Benar rupanya, uang yang dibelanjakan untuk suatu maslahah cenderung akan dapat ganti dengan mudah, begitu yang saya perhatikan selama ini. Benar-benar singkat, uang yang tadi pergi ke dompet orang lain sebelum Jumat, kini sudah kembali lagi ke dompet saya sebelum Maghrib.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar