Di hari-hari tertentu, pelajaran pertama di madrasah ibtidaiyah
kami adalah mandi. Berhitung atau membaca berlangsung setelah itu. Ini mungkin
disebabkan oleh karena Pak Mahmudi
melihat banyak siswa yang masuk kelas dalam keadaan berkeringat dan kecut.
Penyebabnya, mereka bermain lebih dulu atau karena berjalan kaki amat jauh dari
rumah mereka sehingga muka dan punggungnya basah oleh peluh.
Pak Mahmudi merupakan seorang guru di madrasah kami, masyhur
karena banyak “makan garam” dalam hal mengajar. Sebab ketelatenan dan
kesabarannya, beliau ditugaskan untuk menghadapi anak-anak kecil seperti kami yang
biasanya sulit sekali diatur. Dalam upacara mandi pagi, Pak Mahmudi menggiring
kami ke sumber dengan sebilah tongkat. Tidak dipukulkan, sih, hanya untuk pengendalian
saja, semacam ‘remote control’-lah. Ya, di Sumber Daleman itu kami semua “mandi
kerbau”, tanpa sabun dan tanpa tuala.
Kami adalah murid di kelas 2 madrasah ibtidaiyah. Entah mengapa
di hari itu tak ada jadwal mandi ke Sumber Daleman. Kakak sepupu dua kali
(dupopo) saya, mengajukan usul.
“Mari pulang saja ke rumah Embah. Saya lihat tadi Embah
goreng otak dan hati. Kita makan, yuk!”
“Kapan, Kak?”
“Sekarang!”
“Beh, ini Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis,
bagaimana mungkin kita pergi dari dalam kelas?”
“Empeyan buka pintu, saya yang akan bawa sandal, terus kita
lari…”
Saat Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis dengan kapur,
kakak saya berbisik, “Ayo, satu, dua, tigaaa…!!!”
Kami pun berhambur ke luar ruangan. Saya buka pintu dengan
sigap, kakak ambil sandal, kami lari tunggang-langgang.
DI RUMAH MBAH MU’ADZAH
“Beh, ma’ ta’ asakolah, Cong?” (Kok nggak sekolah, Cung?)
“Libur, Mba.” (Libur, Mbah)
“Mun libur, arapa ma’ tager ngangsor?” (Kalau libur, kenapa
kok sampe ngos-ngosan?)
Kami berdua kehilangan gaya ,
sama sekali tak menyangka ulah kami akan diketahui. Beruntung, kakak saya
segera improvisasi untuk mengalihkan interogasi.
“Mba, ngakana angguy juko’ ateh…” (Mbah, [kami] mau makan
pakai hati)
Di rumah Mbah, pagi itu, kami berdua “makan besar”. Kami senang
sekali karena jarang-jaranglah kami makan dengan menu seperti ini. Di sana, di
dalam kelas, Pak Mahmudi mungkin sedang “makan bawang”, sedih dan kesal melihat
kelakuan dua muridnya yang baru saja “makan hati”.
* * *
Kami minta maaf, Pak. Kalau saja kelakukan anak dan murid
kami ada yang mirip atau bahkan lebih dari itu di saat ini atau di masa yang
akan datang, kami sadar itu merupakan ongkos bolos yang harus kami bayar. Jika
tidak ada, maka itu semoga menjadi pertanda belas kasih-Nya bagi kami dan juga
bagi Bapak yang telah membuat Bapak berhati mulia: memafkan kami bahkan sebelum
kami melakukannya.
2 komentar:
haha lucu sekali. banyak lho cerita-cerita macam begini jaman dulu, sayangnya sudah pada lupa :D
@isma: wuiiih, senang saya dikomentari Bu Topi Bundar
Posting Komentar