Ini adalah kejadian tahun lalu. Entah seperti apa di tahun
ini, saya tidak tahu karena saya tidak terlibat langsung dalam kemacetan pasar
tumpah yang terjadi hampir setiap hari di ruas jalan Pamekasan-Sampang-Bangkalan.
Akan tetapi, laporan beberapa orang dan kawan yang sedang melakukan perjalanan
cenderung mengabarkan hal sama, macet luar biasa.
Saya sempat menyaksian arus balik pada hari Ahad 7 Syawal
alias 3 Agustus 2014), dari arah Madura ke Surabaya , pertunjukan iring-iringan kendaraan
bermotor yang sungguh dramatis. Sebab dari semua ini adalah karena hari itu
adalah puncak arus balik, mungkin. Setiap kali arus lalu lintas tersendat,
langsung saja dari kanan kiri ada yang nyerobot. Yang kanan melawan arah
tentunya, yang di kiri lewat di bahu jalan. Mengapa ini bisa terjadi? Ada beberapa alasan:
tergesa-gesa; sudah terbiasa; terinspirasi voorijder (patwal), dll.
Akan tetapi, saya masih bisa berpikir dan menduga, bahwa
yang suka nyerobot dalam kasus ini bukanlah orang lokal atau warga setempat karena
dalam kehidupan sehari-hari saya jarang sekali menekukan hal yang seperti ini. Mungkin
kebanyakan dari mereka adalah ‘orang lokal’ yang kini telah mengalami
internalisasi ‘nilai-nilai penyerobotan’ di tempat yang jauh, di perantauan, di
ibu kota, misalnya. Ketika kebiasan buruk itu dipentaskan di dunia lokal yang
selama ini tertib, saya yakin, sedikit-banyak, pada saat itu pula terjadi
salin-nilai, sebuah perilaku buruk dalam bertata tertib yang disampaikan langsung
di jalan raya, leh orang jauh kepada orang setempat. Soal seberapa besar
pengaruhnya, saya tidak tahu.
Ketika aturan tertib lalin bisa disepelekan, hukum dilecehkan, fatwa agama tidak diindahkan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem ini tampaknya adalah mitos. Maksudnya, upaya memperbaiki dan menata kembali itu masih dapat dilakukan, namun bukan lagi dengan hukum dan agama, melainkan melalui mitos. Orang dulu menciptakan mitos, di antaranya, adalah untuk ‘menjaga harmonisasi’ kehidupan.
Ketika aturan tertib lalin bisa disepelekan, hukum dilecehkan, fatwa agama tidak diindahkan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem ini tampaknya adalah mitos. Maksudnya, upaya memperbaiki dan menata kembali itu masih dapat dilakukan, namun bukan lagi dengan hukum dan agama, melainkan melalui mitos. Orang dulu menciptakan mitos, di antaranya, adalah untuk ‘menjaga harmonisasi’ kehidupan.
Mengapa mitos yang cenderung sulit dirasionalisasi itu terbukti
masyarakat tidak melawannya. Pasalnya, di balik mitos adanya ancaman yang juga
tidak masuk akal di saat orang-orang hanya bisa berpikir rasional. Contoh: “Pohon
besar adalah rumah makhluk halus, jangan ditebang, kecuali akan kesurupan”. Bagi
sebagian, harus ada bukti agar sebuah kepercayaan ditaati. Bagi sebagian lain
tidak perlu bukti karena mereka yakin sudah terbukti namun tanpa diketahui.
Kini, mitos seperti itu telah dimatikan oleh mitos yang
lainnya, mitos digital. Angka-angka dan data yang dipalsukan mampu menghapus
mitos. Ancaman tak terlihat, tulah, kualat, dikalahkan oleh digit-digit ini. Bagaimana
proses ini bisa terjadi? Demikinalah perkembangan wawasan dan pengetahuan
manusia. Dalam setiap masa, selalu saja ada perubahan sudut pandang. Begitulah
mansia berdialog dengan sesama, dengan alam, dengan Tuhan.
Lalu, mitos apa yang sebaiknya diciptakan terkait kasus ini?
“Barangsiapa yang menyerobot hak orang lain, secara fisik ia memang akan segera
sampai di tempat tujuan, namun keinginannya yang lain akan tertahan: yang
bujang tidak cepat laku; yang miskin tidak segera kaya, yang mogok bakal tidak
ditolong montir atau tidak nemu bengkel.”
2 komentar:
Saya adalah sisa makhluk yang masih mengagumi mitos. :D
Izin share postingan kali ini untuk anak muda jomblo yang maunya menang sendiri.
Oh, saya baru tahu engkau begitu, Ummul
Posting Komentar