Di terminal, makelar punya kecepatan mengidentifikasi calon penumpang berdasarkan busananya. Acapkali mereka memanggil dengan sebutan yang menyiratkan keakraban, sekiranya pas karena dianggap tepat. Orang-orang pasar juga punya keahlian serupa, seperti abang becak dan penjual, misalnya. Intinya, di banyak tempat umum, pengalaman dalam mengidentifikasi cepat seperti ini sering kali terjadi.
Jika ada seorang berusia 40 atau 50-an dan mengenakan peci haji, ia akan disapa dengan “Mau ke mana, Pak Haji?” (di terminal) dan atau “Cari apa, Pak Haji?” (di pasar). Tentu, makelar dan pedagang tidak perlu melakukan wawancara lebih dulu apakah orang yang melintas tersebut sudah menunaikan ibadah haji atau belum. Mereka hanya memindai secara cepat terhadap salah satu simbol busananya; peci atau jubah atau surban yang dikenakan.
Adanya sinetron, filem, juga sosial media yang menokohkan seseorang yang (kelihatan seperti) ahli dalam agama berdasarkan busananya membuat definisi ‘ustad’ menjadi meluas. Maka dari itu, jika ada orang yang kalau ngomong sebentar-sebentar membumbui ucapannya dengan bahasa Arab dan atau juga kutipan hadits akan dengan mudah disebut ustad oleh sekelompok orang tertentu. Memang, penggunaan panggilan atau sebutan macam ini bukan hal yang salah. Akan tetapi, apa benar ia seorang ustad, seorang ahli, seorang pakar (di bidangnya)?
Kita maklum, karena nongol belakangan, Bahasa Indonesia mengunduh kosa kata dan lema dari bahasa berbagai bangsa. Yang paling banyak tentu dari bahasa daerah, bahasa serumpun, dan dari Bahasa Arab (karena faktor kitab dan penyebaran Islam), juga dari Bahasa Belanda (karena unsur penjajahan yang lama), dan tentu saja, yang terakhir dari Bahasa Inggris (karena penggunaan istilah-istilah mutakhir/teknologi). Dalam proses itu, terjadi pergesaran makna; baik menyempit, meluas, atau bahkan menyimpang.
Di sini, saya akan membicarakan lema yang berasal dari Bahasa Arab saja agar tidak kebablasan ngomong ke mana-mana. Sebut saja satu contoh: ‘amal’. Kata amal mengalami penyempitan. Arti asal amal adalah berbuat/perbuatan, tapi kini disempitkan hanya untuk perbuatan baik. Jika ditulis; “Umumnya, maling beramal di malam hari”, jadi wagu, kan?
Yang maknanya meluas juga ada, dan inilah yang sedang kita bicarakan. Sebut contoh: ustad. Di Indonesia khususnya, makna kata ustad telah meluas, bahkan nyaris salah kaprah. Mestinya, sebutan ustad itu istimewa karena ia adalah gelar kepakaran yang disematkan untuk ahli di bidang ilmu tertentu, semacam profesor. Penggunaan gelar dalam jagat akademik, ustad adalah pakar. Penyebutan ‘al-ustad fi al-falsafah’ adalah guru besar filsafat, dst.
Di Madura, mungkin pula di daerah lain, kini, jika yang sedang melintas adalah seorang remaja usia 30-an tahun, bersarung dan berpeci, baik putih maupun peci hitam, orang cenderung langsung menyapanya dengan sebutan ‘ustad’. Sebutan ini adalah identitas bagi seorang pengajar, guru di pondok pesantren, ataupun santri senior. Ustad mengalami perluasan makna dari kata asalnya yang memiliki arti guru ahli atau profesor. Saat ini, khususnya di Indonesia, kata ‘ustad’ dipahami sebagai guru agama atau mereka yang ahli di bidang agama.
Bagian yang ‘menyimpang’ (saya mengapit kata ‘menyimpang’ ini dengan dua tanda kutip dengan maksud bahwa kata tersebut dinaturalisasi dengan kesalahpahaman dari kata asalnya) ada juga, lho. Contohnya adalah ‘kalimat’. Kalimat berasal dari bahasa Arab ‘kalimah’ atau ‘kalimat’ yang berarti ‘kata’, namun di sini ia bermakna: sebuah susunan kata yang memiliki satu pemahaman atau pengertian (kalam), alias sebuah susunan yang dapat dimengerti dan predikatif.
Kasus demi kasus kebahasaan semacam itu dimaklumi saja. Namanya juga akulturasi dan asimilasi, wajarlah, mau apalagi? Toh, bahasa itu terbentuk berdasarkan konvensi. Andai kita bersepakat memahami ‘chair’ sebagai verba ‘meleleh’ pun tidak apa-apa meskipun dalam Bahasa Inggris itu bermakna ‘kursi’. Di sisi yang lain, terkadang kita cenderung menggunakan kata tertentu hanya karena sudah paham terhadap artinya harfiahnya, bukan paham secara istilah, sehingga sesekali kita mendengar ada orang yang menggunakan kata ‘al-hafidh’ (makna: penghafal) untuk gelar penghafal Alquran, padahal secara istilah ia merupakan gelar terhadap penghafal hadits.
Kembali ke ustad, kita tidak perlu menyalahkan wartawan atau pakar dan pengguna bahasa yang telah terlibat aktif dalam melakukan tindak perluasan dan penyempitan makna ini, atau pula yang menyimpangkannya. Semua itu merupakan ‘sunnah’ bahasa. Yang jadi masalah adalah apabila membiarkan kata-kata yang telah meluas ini digunakan secara sembarangan tanpa dasar pengetahuan.
Ada cerita anak-anak muda (atau siapa pun) yang karena kebanyakan nonton sinetron dan daring di Facebook lantas dengan mudah latah dan ikut-ikutan. Kacaulah jika mereka begitu mudah terpedaya oleh penampilan tokoh melalui identitas fisiknya sebaimana sering nongol di acara tertentu di televisi atau dalam sinetron-sinetron. Modal hafal hadis atau ayat untuk tema tertentu tidaklah cukup untuk menjadi ustad. Beban moral dan pengetahuan ustad tidak seenteng itu, dan terlebih jika ditambah berlagu nuding sana-sini dengan mengafirkan sesama "ahlul qiblat", sesama muslim yang masih salat.
Apa yang terjadi kemudian? Maka, “semua ustad” pun bakal kena getahnya. Kata pepatah: “Gara-gara ngawur setitik, rusak ustad seluruhnya”.
CATATAN: yang baku adalah "ustaz" menurut KBBI, cuma saya, kok, enggak tega untuk menulis begitu. Maaf, ya!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
Modin, konon berasal dari imamudin (pemimpin/pemuka agama?), menjadi sempit sekali maknanya sekadar berkaitan dengan acara pernikahan dan atau penguburan jenazah.
Pengeras Suara (Loud Speaker) menjadi sempit gara2 selain corongan bermerek Toa tidak termasuk lospeker/sopeker
Nenek yang sudah ompong menyebut ustad dengan uHtad.
Nenek yang sudah ompong menyebut ustad dengan uHtad.
@Edi Winarno: luas sempitnya nanti ditentukan oleh konvensi bahasa pemakai
@Cinta Syahadah: itu dia yang disebut metonimia
@Ummul: lhaaaa, kan
Posting Komentar