Pendahuluan: artikel ini merupakan rangkuman dan juga pengembangan dari artikel Riyanto Hino yang mula-mula diterbitkan di mailinglist bismania pada 14 November 2010 dengan subjek ‘Defensive Driving Behavior Development’ (terbagi dalam empat rangkaian pesan: bagian ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4). Menurutnya, artikel disusun berdasarkan pengalaman penulis sebagai pelaku, teknisi, dan dari hasil workshop keselamatan berkendara. Artikel ini boleh disebarkan. Penyuntingan dan penambahan dilakukan oleh saya (M. Faizi).
Macet di Bawen, truk nyaris 'adu banteng' dengan bis (9 Peberuari 2013)
* * *
Beberapa pakar menyatakan
bahwa terjadinya kecelakaan lalu lintas tidak pernah disebabkan oleh satu hal
saja. Artinya, tidak ada kecelakaan karena faktor tunggal. Setiap peristiwa kecelakaan selalu didukung
oleh faktor lainnya. Jadi, kecelakaan tidak identik dengan takdir, dengan maksud
bahwa melalui usaha dan upayanya, manusia mestinya dapat menghindari kecelakaan.
Secara teoretis, kecelakaan kendaraan bermotor dapat dicegah karena ia
merupakan kumpulan beberapa kesalahan: unsur manusia, kendaraan, dan
lingkungan.
Anda pernah mendengar
slogan “kecelakaan selalu didahului oleh pelanggaran”? Polisi lalu lintas
mengkampanyekan hal ini di papan-papan dan poster di tepi jalan. Memang betul,
slogan tersebut berlaku umum. Contohnya begini: Apabila ada mobil yang menyalip
pada pandangan tidak bebas, lalu terjadi tabrakan “adu kambing”, itu bukan
takdir. Ia telah dengan sengaja membuka lebar kemungkinan terjadinya kecelakaan
karena menyalip tidak pada tempatnya, yakni menyalip di tikungan (marka jalan:
garis-putih-sambung). Ada pula kasus truk yang terperosok ke jurang.
Kesalahannya tidak pernah tunggal. Kemungkinan, truk melanggar beberapa aturan:
sopir tidak konsentrasi; rem tidak pakem karena tidak dicek oleh montir yang
ahli; muatan melebihi kemampuan (overload; melampaui batas tonase), dll.
Kalau misalnya ada
seorang polisi lalu lintas (polantas) mengalami kecelakaan di jalan, (anggap
saja karena “kecelakaan tunggal”), apakah hal itu lantas boleh membuat kita membikin
anggapan umum bahwa kecelakaan itu takdir dan karenanya siapa saja mungkin
mengalami celaka sebab seorang polantas pun mengalaminya? Berhentilah mengambil
sudut pandang seperti itu. Dalam kasus ini, kita harus melihat banyak faktor
pendukung: laka lantas terjadi di ruas jalan yang rusak (faktor Dinas Pekerjaan
Umum); si polantas menghindari pengendara sepeda motor yang belok mendadak
(faktor manusia di luar dirinya); jalan licin karena ada longsoran tanah
(faktor alam); atau memang karena hal itu adalah kasus perkecualian, seperti
bahwa dia adalah oknum polantas yang memang melanggar aturannya sendiri,
seperti menerima panggilan telepon sambil berkendara, misalnya. Ingatlah
silogisme. Karena itu, perkecualian tidak dapat dijadikan pandangan umum.
Sekarang, mari
kita pelajari faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor.
I. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN
Kondisi
lalu lintas berhubungan erat dengan perkembangan wilayah dan sosial ekonomi.
Demikian pula, ia berhubungan dengan para pelaku (manusia), terkait tingkat
pendidikan dan wawasannya. Penyebab
lainnya berhubungan dengan kerjasama antar-lapisan masyarakat, termasuk
antar-instansi. Jika pemerintah (melalui Polri, Dishub, dll,) hanya bekerja
sendirian, keselamatan berkendara hanya akan menjadi slogan saja. Jika
tokoh-tokoh masyarakatnya gemar melanggar, anak-anak mudanya dibiarkan sembrono
tanpa tindakan, perusahaan transportasi tidak memberikan bekal wawasan
keselamatan yang baik kepada para pekerjanya, maka slogan “keselamatan
berkendara” dan “nol kecelakaan” hanya akan jadi omong kosong belaka.
A. Faktor Yang Berpengaruh Langsung
Ada beberapa faktor
penyebab terjadinya kecelakaan yang sebetulnya dapat dikendalikan secara
langsung. Bagian ini meliputi unsur pengemudi dan kendaraan.
- Faktor pengemudi:
aspek kesadaraan akan bahaya serta keterampilan mengendarai merupakan
penentu utama. Berdasarkan studi para ahli di DOT USA, dan “National
Safety Council”, penyebab kecelakaan kendaraan bermotor—dari segi
kuantitas—dapat digambarkan sebagai berikut: tidak mengenal bahaya, tidak
fokus, kurang terampil mengendarai, kurang sehat.
- Faktor kendaraan:
meliputi faktor teknis kendaraan. Secara berurutan, penyebabnya adalah: kemampuan
sistem rem (tromol; cakram; ABS; dll); ban pecah/gundul; suspensi/kerusakan
mekanis; kerusakan mesin.
B. Faktor Yang Berpengaruh Tidak Langsung
Selain faktor yang
berpengaruh langsung, ada pula penyebab kecelakaan yang tidak bersifat langsung,
antara lain: kondisi jalan dan lingkungan (karena cuaca dan unsur alam); kebijakan
pemerintah (seperti tidak adanya pertimbangan dampak kemacetan akibat adanya
penyempitan jalan [jalan leher botol] pada simpul-simpul wilayah baru); rendahnya
penegakan hukum (mobil tidak berlampu rem tapi lolos dari tilang karena uang
sogokan); dll.
II. MENGENAL PERILAKU PENGEMUDI: OFENSIF
DAN DEFENSIF
“Pengemudi ofensif”:
Mudahnya, tipe ini dapat disebut sebagai tipe pengemudi ‘ganas’. Mereka cenderung
memiliki sikap tidak taat norma-norma lalu lintas, kurang memperhatikan
kepentingan dan hak-hak pemakai jalan lainnya. Pengemudi semacam ini memiliki potensi
sangat besar sebagai penyebab kecelakaan. Sementara “pengemudi defensif”
(gampangnya kita sebut pengemudi tipe ‘kalem’), tidak termasuk di dalam
kelompok accident prone (mudah mendapat kecelakaan) karena telah
memiliki pengetahuan keselamatan dan kehati-hatian, namun mungkin saja menjadi
korban ulah pengemudi ofensif tersebut.
Beberapa Faktor Penyebab Perilaku Ofensif:
Adanya
tipe pengemudi ofensif (ganas) dan defensif (kalem) bagaimana mata ulang dan
keduanya tidak dapat dipisahkan. Kehadiran mereka selalu ada di jalan raya.
Jika kita perhatikan, di negara-negara maju, kemunculan tipe pengemudi ofensif
jauh lebih kecil daripada tipe pengemudi defensif. Maka sebab itulah, angka
kecelakaan di jalan rayanya pun sangat rendah. Apa saja penyebab yang membuat
seorang pengemudi bertabiat seperti ini? Banyak alasannya, antara lain:
1.
Latar belakang pendidikan
(tidak pernah belajar teori, terlalu percaya diri pada skil yang tidak
dilandaskan pada ilmu namun hanya spekulasi; tidak pernah atau menolak ditegur
oleh orangtua/keluarga/senior)
2.
Pengalaman: tidak
paham medan jalan, hanya pernah mempelajari kasus kecelakaan untuk pencegahan
3.
Bakat/sifat bawaan:
temperamental, mudah emosi (disebut juga ‘sumbu pendek’), suka ambil menang
sendiri alias tidak pernah mau mengalah
4.
Motivasi:
pengemudi tidak paham tugasnya sebagai pengemudi. Ia tidak sempat memikirkan
tanggung jawabnya sebagai pengemudi, bahwa ia membawa kendaran yang berpengaruh
pada orang lain, pada penumpang, dll. Apa dan mengapa ia melakukan manuver,
misalnya, tidak dilandaskan pada pertimbangn yang matang, hanya karena
suka-suka saja.
5.
Beban mental:
beban pikiran saat mengemudi, tekanan pekerjaan, masalah keluarga, dll, dapat
mengurangi konsentarasi di jalan dan dapat mengganggu aktivitas saat mengemudi
6.
Lingkungan: lingkungan
yang menganggap biasa sebuah pelanggaran akan membuat mental seorang yang
disiplin berubah wataknya, yakni ikut-ikutan untuk gemar melanggar juga.
III. EMPAT SYARAT MENJADI PENGEMUDI
DEFENSIF:
Untuk menjadi
pengemudi defensif (pengemudi kalem, berwawasan aman), seseorang harus melewati
beberapa tahap pembelajaran. Pengemudi yang telah membekali dirinya dengan
wordshop, pelatihan, memperkaya bacaan, kursus, akan lebih mudah memiliki
karakter ini. Ia tidak serta merta ada, melainkan harus dipelajari, diupayakan.
Adapun syarat-syaratnya, antara lain, adalah sebagai berikut:
1.
Kesadaran akan bahaya
dan resiko
(risk awareness). Pengendara harus paham soal ini. Contohnya: jika kita
menyalip di tikungan, di siang hari, maka kemungkinan terjadinya tabrakan adu
kambing/adu banteng sangat besar karena munculnya kendaraan dari arah lawan
sama sekali tidak dapat ditebak. Jika tidak sadar akan bahaya resiko, orang
akan mudah melakukan apa pun hanya berdasarkan emosi dan suka-suka saja di
jalan raya.
2.
Manajemen perjalanan.
Termasuk dari manajemen perjalanan adalah mengajukan pertanyaan sebelum
berangkat: ‘Apakah fisik dan mental saya siap dan mampu untuk melakukan
perjalanan? Apakah kendaraan saya laik jalan, seperti rem dan kemudi dalam
keadaan normal?’. Jika tidak, atau tidak mungkin, atau harus dilakukan tapi
situasinya berbeda, ajukan pertanyaan lagi: ‘Apakah perjalanan ini perlu
dilakukan? Tidak bisakah ditunda? Atau, bisakah perjalanan ini menggunakan
kendaraan lain seperti bis, kereta api, pesawat udara, atau kapal laut?’. Semua
pengajuan pertanyaan ini merupakan bagian pengujian dalam manajemen perjalanan
yang harus dilakukan oleh para “pengemudi defensif”.
3.
Perawatan kondisi kendaraan. Cek kendaraan
secara berkala, terutama bagian vital, seperti rem, tekanan angin, stir, adalah
tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan dan masalah di
jalan. Adapun kontrol bagian lain, seperti pengecekan air, oli, dll, menempati
peran berikutnya. Tindakan ini lebih-lebih diperlukan jika kendaraan yang akan Anda
gunakan adalah kendaraan rental/bukan pegangan sendiri. Anda—misalnya—dapat
sembari melakukan pengecekan rem pada kecepatan rendah dan kecepatan sedang,
mengecek steering, dll., tentu dalam situasi jalan yang aman.
4.
Penguasaan teknik mengendarai (low
risk driving techniques). Ia meliputi kemampuan menganalisa dan menyikapi
ancaman terhadap bahaya. Kemampuan
indera mata adalah alat utama yang dapat digunakan. Pahami cara mengerem, menikung,
juga mempertimbangkan jarak aman saat akan menyalip, dll.
IV. TAMBAHAN
Banyak orang tidak
sadar bahwa mengendarai dan menjalankan kendaraan itu adalah aktivitas yang beresiko
tinggi. Oleh sebab itu, aturan lalu lintas dibuat untuk membantu kelancaran dan
keamanannya. Karenanya, kita harus menjaga keamanan dan keselamatan mulai dari
diri sendiri. Caranya: sadar dan tahu apa yang dilakukan; mengenal bentuk dan
macam-macam bahaya yang dihadapi; mengetahui resiko yang timbul/muncul dan
dapat menyikapinya dengan cepat dan tepat, serta; menguasai teknik mengendarai
kendaraan bermotor dengan benar.
Terkait hal
tersebut, penting bagi kita untuk mengetahui resiko dan manajemen resiko serta
mengenal kemungkinan bahaya di jalan raya.
“Manajemen Resiko”:
Pemahaman dan penguasaan resiko adalah pengetahuan manajemen resiko. Secara
naluriah, manusia akan sepontan menghindari hal-hal yang mempunyai potensi
merugikan dirinya. Kenyataannya, meskipun banyak kejadian yang menunjukkan
bahwa aktivitas mengemudi telah menimbulkan kerugian, baik nyawa maupun harta, aktivitas
mengemudi tetap saja digeluti. Lemahnya pemahaman terhadap manajemen resiko menyebabkan
kecelakaan dan berbagai sabab-musababnya (di jalan raya) tidak dipelajarinya/tidak
dijadikan pelajaran (dianalisa).
“Bahaya”: Bahaya adalah
suatu obyek, kondisi fisik atau pengaruh fisik, yang mempunyai potensi untuk
menyebabkan suatu kehilangan, kerusakan, kehancuran, atau kerugian, bahkan kematian.
Bahaya itu selalu ada dan resiko akan muncul bilamana terjadi aktivitas di
jalan raya karena jalan raya adalah suatu tempat berkumpulnya segala macam
bahaya (pejalan kaki, pengendara, kendaraan bermotor, kepadatan pemakai jalan,
kondisi permukaan jalan, cuaca). Jika kita
dapat mendeteksinya, maka kita harus segera mengambil sikap untuk menghindarinya.
“Resiko”: Resiko adalah
akibat dari suatu aktivitas. Resiko—dalam konteks “health, safety, and environmental”—didefinisikan
sebagai ukuran kemungkinan terjadinya suatu insiden dan potensi keparahan dari
insiden tersebut. Dengan demikian, jika dikatakan bahwa bahaya akan selalu ada,
maka resiko adalah sebaliknya: tidak pasti harus ada. Faktor yang hilang dalam
mata rantai di sini adalah aktivitas. Artinya, jika Anda melakukan aktivitas
maka akan ada resiko. Tingkat resiko terdiri dari tingkat yang minim hingga
tingkat yang serius. Frekuensi aktivitas Anda berhubungan dengan tingkat
resiko: semakin tinggi tingkat frekuensinya, maka semakin tinggi pula potensi
resiko yang akan diterima.
Dengan begitu,
orang bijak akan dapat menekan resiko kerugian dari aktivitas yang dilakukan
serendah-rendahnya. Ia akan memulai sesuatu setelah mengetahui secara pasti: apa
saja yang akan ia lakukan; mengapa ia harus lakukan, dan; bagaimana ia
melakukannya dengan benar. Semua ini diawali dengan langkah-langkah, antara
lain, sebagai berikut: mengetahui segala bahaya dan potensi resiko; mengkaji
kembali mengapa dan bagaimana menyikapi bahaya dan resiko-resiko yang akan
dihadapinya, dan; membuat rencana aktivitas yang akan dilakukan. Jika ini
dijabarkan di dalam aktivitas mengemudi, maka seorang pengemudi diharapkan
betul-betul mengerti dan mampu mengoperasikan kendaraan dengan benar, mempunyai
alasan yang kuat untuk mengoperasikan, fokus di dalam mendeteksi segala bahaya
dan bereaksi dengan cepat dan tepat terhadap segala ancaman.
Itulah beberapa
hal dasar yang dapat dipelajari untuk kita terapkan di jalan raya. Intinya,
berjalan dengan benar saja tidak cukup karena kita juga harus berhati-hati
sebab kerapkali muncul orang yang sembarangan dan berperilaku serampangan di
jalan. Tidak perlu tergesa-gesa jika harus melakukan pelanggaran terhadap
aturan lalu lintas sebab jika itu kita lakukan, maka tempat yang kita tuju akan
semakin jauh, bahkan tidak tercapai, jika kita telah mengalami kecelakaan.
Bijaklah di jalan raya. Jalan raya milik bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar