"Serius?" Mas Joni melongo, ragu.
"Ya, habis ini Sampeyan pulang, cari soto, minta tambahan bawang goreng dan jangan lupa sambal cabe-nya yang banyak."
"Baik, Mbah Tabib. Tumben sekali hari ini: saya harus minum obat yang enak sekali."
"Tapi, nganu... Mas," imbuh Mbah Tomy, "berfantasinya dikurangi, ya!"
***
Di kesempatan terpisah, saya mengonfirmasi kedua belah pihak, apa cerita di atas itu benar atau tidak, ternyata benar adanya. Menurut Mbah Tomy, meskipun sama-sama berfungsi sebagai obat batuk, kukusan kembang blimbing wuluh, jahe hangat, jeruk nipis bertandem kecap, beda peruntukannya. “Masing-masing resep bergantung pada cuaca dan kondisi pasien. Herbal itu tidak mudah, justru berada pada kasta tertinggi di ‘maqam’ pengobatan ala kedokteran Timur. Makanya, soal reaksi cepat atau tidaknya sangat dipengaruhi oleh ketepatan komposisi dan caranya,” jelasnya.
Di dalam buku “Mutiara yang Terpendam” (saya lupa nama penyusun dan penerbitnya, yang pasti negera terbitnya adalah Malaysia, kapan-kapan saya susulkan jika ketemu bukunya), dijelaskan bahwa pola makan sangat berpengaruh pada kesehatan seseorang, bahkan ia menjadi kunci obat yang paling mujarab. Sementara ini, kita dibentuk oleh persepsi umum bahwa “makan itu tiga kali sehari”, sementara dalam tradisi kuno—termasuk leluri Islam, makan itu, ya, kalau lapar dan berhenti menyuap ketika perut mendekati kenyang alias sebelum kenyang. Yang mana yang kita pilih? Atau, makan melulu enggak kenyang-kenyang?
Sementara itu, Prof. Hiromi Sinya—saya tahu nama ini dari akupunkturis Mudhar nan Asyik—bahwa ia telah mengobati ratusan panderita kanker hanya dengan mengubah pola makan, salah satunya adalah dengan cara mengunyah (hingga 70 kali dalam sekali suap). Kunyahan sebanyak itu bukan sekadar hanya untuk menghaluskan nasi yang dimakan, melainkan demi produksi enzim. Dan cara ini sebetulnya telah diajarkan oleh nenek moyang kita (atau saya) karena begitulah anjuran dari Nabi Muhammad saw, hanya saja klta manut-manut saja karena beriman, bukan karena tahu alasan ilmiahnya sebagaimana baru-baru ini ditemukan oleh penelitian sains.
Saya lantas ingat kakak saya yang sakit. Dia dianjurkan untuk mengunyah sampai halus. Karena capek, kakak saya pakai cara “moderen”: dia masukkan nasi, kuah, dan lauknyasekaligus ke dalam blender, dimesin, lalu dituang ke dalam piring dan diminum (karena sudah jadi kayak bubur). Cepat sekali cara dia makan. Namun, kalau ingat enzim, ya, sekarang saya tahu, mesin blender tidak menghasilkan enzim karena itu berproduksi dari mulut/liur.
Pada penutup kata pengantar buku “The Miracle of Enzyme”-nya Prof. Hiromi Sinya ini, Dahlan Iskan menulis: “Yang mengembirakan dari buku Prof. Hiromi Sinya MD ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim induk bertambah.” Jadi, usahakan Anda merasa makan sate kambing meskipun yang Anda hadapi adalah sate tahu. Tapi, apakah ini mungkin?
Nah, kebetulan, ketika saya menulis esai ini, saya sedang diserang batuk. Makanya, ketika ditelepon teman, suara saya mungkin terdengar kurang mesra. Lantas dia pun bertanya.
"Anda kedengarannya kurang sehat, ya?" Tanya kawan di seberang telepon.
"Iya, agak batuk, Mas."
"Oh, obatnya gampang: jeruk nipis sama kecap."
"Sudah, Mas, tadi malam, tapi reaksi kurang jos. Apa saya salah resep, ya?"
"Emang dibagaimanakan, Mas? Kan cuma diiris, kasih kecap, telan. Gitu aja, kan?'
"Ndak, Mas, sama saya kecap dan irisan jeruknya dimasukkan ke dalam semangkok soto."
Jadi, makanan itu sebetulnya adalah obat kalau kita mempersepsikannya begitu. Kerja obat herbal juga reaktif, asal tepat takaran dan penggunaannya, seperti cerita obat batuk di atas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar