Ada yang suka bernazar, ada pula yang enggan. Di antara
mereka, ada yang tidak peduli terhadap kedua tipe tadi, bahkan terhadap apa itu
nazar (dibaca: nadzar) pun tak tahu.
Nazar adalah perjanjian terhadap diri sendiri untuk
melakukan suatu amal (lelaku yang baik) apabila harapan atau keinginannya telah
terkabul.
Bagi orang yang tertentu, bernazar itu dianggap sebagai
tindak pemacu (katalisator) dan juga pemicu amal karena dengannya seseorang akan
melakukan badzlu al wus'i (pengerahan maksimal daya upaya)
untuk mencapai tujuan sembari berharap ia juga menjadi doa agar dikabulkan.
Yang tidak suka bernazar juga punya alasan. Menurut kelompok ini, bernazar
hanya akan membuat orang jadi pelit dan pamrih. Bagaimana tidak akan begitu jika
mau beramal hanya setelah mendapatkan yang diharapkan? Cara ini dianggap pamrih
karena sudut pandangnya "bisnis banget".
Pro-kontra tidak akan dibahas di sini karena esai ini bukan
masail fikih. Ini hanya semacam potret kecil atas sebagian fenomena sosial yang
ada di sekitar kita. Terlepas dari pendapat-pendapat di atas, saya akan berikan
beberapa contoh nazar.
* Nazar Biasa:
"Kalau proyek saya ini 'deal', saya akan berziarah ke
makam Maulana Malik Ibrahim dan mengajak seluruh kerabat tanpa memungut
biaya."
* Nazar Palsu
"Kalau nanti impotensi saya sembuh, saya akan kawin
lagi." Ada juga contoh lain yang sama palsunya: "Kalau saya bebas
dari maag, saya akan makan sepuas-puasnya."
* Nazar Curang (terutama anak Bismania)
"Kalau skripsiku kelar, aku bernazar jalan-jalan naik bis tingkat,
tidak masalah meskipun Scania, bahkan andaipun harus duduk di muka."
Kalau ada yang mau menambahkan, silakan.
2 komentar:
Teppak ka nazar se curang. Hahaha .😆
ollena ngarang abir nazarnya
Posting Komentar