Saya melangkah menuju madrasah tempat dulu saya belajar, MANJ. Tampak ada tiga orang guru di sana, sedang duduk-duduk. Saya menyalami mereka dan langsung memperkenalkan diri, siapa tahu beliau bertiga tak satu pun yang ingat saya.
"Pak, abdina Faizi, Sumenep, kalowar 1993, paper
bimbingan Panjenengan, Pak Nasir!" kata saya kepada guru yang saya salami
terakhir, Pak Nasir, sembari menjelaskan identitas diri selengkap-lengkapnya.
"Ooo, iya, ya, ya... Dalam rangka apa ini?"
"Enggak ada, Pak, cuma main saja ke sini."
Lalu terjadilah percakapan jangkar dengan satu guru lagi,
dalam keadaan tetap berdiri. Saya akan segera pergi dan para guru itu tampaknya
juga mau ke ruangan untuk istirahat.
"Mmm... Anu, Pak. Saya minta maaf," lanjut saya.
"Maaf apa, ya?" susulnya
"Dulu, beberapa kali saya, saya loncat di situ,"
sembari menunjuk ke ujung timur, "pergi ke Warung Buk Niti, pada saat jam
masuk tapi saat tidak ada guru."
"Ya? Ha, ha," Pak Nasir tersenyum lebar, senyum
memaafkan.
"Iya, Pak. Enggak sering, lho, hanya beberapa kali
saja. Di antaranya adalah saat Panjenengan sedang piket. Saya lari berjinjit ke
timur saat Panjenengan sedang menoleh ke barat." Saya menahan tawa.
"Iya, ya, ya..." Tangan beliau yang kekar menepuk
bahu saya yang ringkih.
"Doakan saya, Pak," pinta saya seraya menyalami
lagi lalu bergerak meninggalkan madrasah.
Godaan Bolos di Hari Ahad
Pada hari Ahad, sama seperti hari yang lain. Semua madrasah
masuk, tidak seperti di luar sana. Kampus pun juga, sama. Hari Ahad adalah hari
yang biasa karena haris Kamis malam sebagai weekend kami dan hari Jumat-nya
sebagai hari party.
Di pagi hari Ahad, seperti hari lain di luar Selasa dan Jumat,
ada beberapa pengajian kitab. Kami bisa memilih, ke masjid atau ke langgar Dalem
Barat. Di Masjid ada Kiai Zuhri. Di Delam Barat ada Kiai Hasan Abdul Wafi. Saya
yang mondok di dalem Kiai Malthuf malah masih dapat keringanan lagi sebab kala
itu komplek kami masih tidak terintegrasi dengan PP Nurul Jadid secara
administrasi, melainkan mandiri.
Saat saya akan boyong, komplek kami akhirnya punya nama:
“Daerah Jalaluddin Ar-Rumi” dan berafiliasi dengan “Gang A PPNJ” setelah nama
daerah usulan kami sebelumnya, “Abu Nuwas”, ditolak oleh pengasuh. Alasan
penolakan usulan kami itu sengaja memang tidak kami tanyakan karena takut suul
adab.
Karena status komplek yang independen inilah kiranya yang
membuat kami kadang arogan dan sok leluasa untuk tidak ikut pengajian di pagi
hari. Saya dan kawan-kawan malah pergi ke Tanjung. Yang sering adalah pergi ke
warung ketan, makan ketan dan minum kopi, duduk berjongkong di atas bangku,
bersama para tetangga, abang becak yang banyak, juga petani sebelum ke sawah. Alangkah
bebasnya! Pengurus yang kadang beroperasi pagi untuk mencari santri yang
keluyuran tak berani bertanya, apalagi menegur. Sudah tahu mereka kalau kami,
santri daerah Ar-Rumi tidak bisa diseret dengan pasal pelanggaran karena punya
status sendiri, istimiwir.
Balik lagi ke soal Hari Ahad...
Hari Ahad sering bikin saya galau. Saya sering ngumpet di
kamar, terutama kalau lepas istirahat jam pertama, pukul 09.00. Kebetulan,
muter radio boleh di komplek kami, tidak seperti di kompelek yang lain. Syaratnya
cuma “asal tidak keras dan berisik”. Dan ini merupakan salah satu yang membuat
saya tertarik tinggal di komplek ini setelah tidak mampu bertahan lama di PP Madrasatul
Qur’an, Tebuireng.
Ada dua hal yang merangsang untuk bolos di hari Ahad:
Pertama, mendengarkan
radio Suzanna di pagi hari, pukul 09.30-10.30. Jadi, sangat beruntung jikalau
di jam segitu tak ada guru. Saya akan nyimak penyiar Bung Mario berceloteh tentang
perkembangan musik rock dunia, mulai dari info terkini dari Billboard Top 40, majalah
Kerrang atau Metal Edge. Program acara Bung Mario ini bertajuk MBR (mungkin “music
by request”). Lagu-lagu era tahun 92, seperti “Pull Me Under” dari Images and
Words-nya Dream Theater saya tahu darinya, sebelum ada radio lain yang
memutarnya. Bung Mario terkadang menyelingi komentarnya dengan sedikit
sesumbar, semacam ungkapan “kami memperdengarkan ini pertama kali untuk Anda
karena album ini belum beredar di Indonesia”. Begitu pula, dari Bung Mario
inilah saya tahu band-band rada asing (kala itu) seperti Queensrÿche, The
Almighty, tidak hanya seputar Warrant, Aerosmith, dan Bon Jovi.
Kedua, program “Rajawali Rock Line” asuhan Abas Fadli. Acara
ini mulai pukul 15.00 dan berakhir pukul 16.00. Sayang sekali, acara ini kres
dengan shalat jamaah salat ashar dan
pangajian Tafsir Ayatil Ahkam yang diampu oleh pengasuh. Nah, sayangnya
lagi, saya tidak bisa bolos demi yang ini. Bukan karena program RRL lebih
menarik dari MBR, bukan, melainkan karena susah cara bolosnya sebab pondok saya
dekat sekali dengan mushalla. Pasti langsung ketahuan kalau saya tak hadir atau
memutar terlalu keras. Jadi, hanya libur pengajianlah yang dapat menyelamatkan
saya dari menikmati hidangan perkembangan musik rock dunia.
Kalau ingat masa SLTA di pondok, terasa senang sekarang.
Kami belajar ‘nakal’ hanya pada tataran seperti itu, tidak berani keluyuran
bareng lawan jenis di malam Jumat atau malam Ahad. Tapi, saat ini zaman sudah
sangat pesat berubah, baik kemajuan maupun kemerosotannya. Coba saja perikasa lirik
lagu zaman dulu ini: “Mati aku ayahku tahu / Aku sedang berjalan dengan
pacarku / Mati aku ayahku tahu / Aku sedang berkencan dengan pacarku”. Jalan berduaan saja, Rita Sugiarto itu sudah
takut sekali, takut ketahuan, takut dipukul ayahnya. Lalu bandingkan dengan
lagu/lirik berikut: “Kuhamil duluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran
tidurnya berduaan / Ku hamil duluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran suka
gelap-gelapan”: hamil duluan saja malah diberitahukan sambil jogetan.
Sungguh, jarak masa lagu yang pertama dan yang kedua itu tidak begitu lama, terbukti
saya masih sama-sama menututinya.
Ngeri, kan?
5 komentar:
Saya tidak bisa menahan tawa di paragraf terakhir.😂
Menunggu cerita berikutnya.
komentar sudah dimonitor
Bukankah Bung Mario itu siaran program bola pada jam segitu, Ra? World Soccer?
Masa saya tahun 1991-1993
Yu AL sudah jualan nasi tahun segitu cak?
Posting Komentar