Ada seorang
wartawan yang datang ke rumah kiai untuk investigasi beberapa hal yang ‘privat’.
Wartawan merasa kesulitan untuk memulai wawancara karena ketika dia masuk ke ruang
tamu pak kiai itu, di sana, sudah ada tamu-tamu yang lain. Makanya, si wartawan
muter-muter dulu omongannya di udara supaya bisa ambil celah bagaimana cara
mendaratkan wawancaranya.
Dan karena
tema-tema yang lalu tidak menarik, sudah biasa, wawancara dipangkas saja,
langsung ke intinya:
“Jadi, bagaimana
cerita anak itu kok tiba-tiba datang ke sini sama bapaknya, Kiai?”
“Iya, saya juga
heran, saat mondok dulu nakalnya beneran gawat, secara syariah, iya, seperti tdak subuhan,
bahkan sempat mabuk; secara akhlak iya, suka suit-suit sama santri putri,
bahkan saat liburan dia suka nginbox saya, menentang beberapa keputusan pesantren
dengan argumen ‘menurut saya’ dan ‘menurut hemat saya pribadi’, dan semacam
itu. Gawat pokoknya, Mas, tapi tidak merasa gawat, santai saja bawaannya.”
“Jadi, dia dan
orangtuanya tadi itu ke sini minta maaf, sekaligus pamitan, Kiai?”
“Iya.”
“Sama kiai,
dimaafkan begitu?”
“Kasihan kalau
tidak. Soalnya, kata orang tua, konon, biasanya dia sulit jadi bener hidupnya kalau
tidak diridai oleh guru. Makanya, meskipun masih ada sisa-sisa sebel, tetap
saya maafkan.”
Wartawan itu
ambil nafas sejenak, minum kopinya seseruput, mau menyalakan rokok, tidak jadi,
malah bertanya, “Anu, Kiai, boleh nanya agak privat?
Silakan!
“Orang tadi itu
sowan pakai amplop berapa, Kiai?”
“Kenapa, Mas?”
“Kami ini kan
wartawan “Majalah Kiaipedia”, sedang investigasi soal isi amplop, Pak Kiai, dan
Ini nanti akan ada hubungan dengan analisa gratifikasi dan grasi, baik secara
politis maupun efek ekonomis, Pak Kiai. Tapi, kalau Pak Kiai keberatan, tidak
apa-apa... maaf saya agak lancang barusan.”
“Salam tempelnya
50.000”
“Hah? Lima puluh?
Pak Kiai punya kalkulator?”
“Ada, Mas, buat
apa?”
“Buat ngitung
ini, Pak Kiai. Jadi, uang 50.000 barusan itu buat;
1.
Minta grasi atas kesalahan di pondok selama 3
tahun
2.
Minta amnesti untuk semua kesalahan cuit-cuit santri
putri
3.
Minta dimaafkan karena suka nginbox-nginbox “menurut
saya” sama Pak Kiai
4.
Buat bayar 2 kali sehari pipis di jeding pondok
selama 3 tahun
5.
Buat ongkos diajari ngaji dan kitab selama 3 tahun
6.
Barusan, sewaktu Pak Kiai nyuguhin makan, si
bapaknya kayaknya ngambil rendang daging dan anaknya telor dadar, nah, ya, buat
bayar itu juga, Kiai
7.
Minta diridai dan diberkahi dengan doa
Kalkulator Kiai
itu merek apa? Sungguh saya ingin punya kalkulator yang bisa menghitung pembagian
seperti ini dengan tenang dan tidak eror, Pak Kiai.”
Mendadak, mata
kiai tampak berkunang-kunang. Tubuhnya
sedikit bergoyang. Kiai menundukkan kepada dan menopangnya dengan telapak
tangan. Ia melenguh, menarik napas panjang.
“Mas, aku pinjam
ranselmu, Mas!”
“Buat apa, Pak
Kiai?”
“Tolong letakkan
di belakang kepalaku, aku mau pingsan nih kayaknya.”
3 komentar:
banyak kisah nyata sejenis ini.
betul, sangat banyak. mengapa banyak, karena yang mengikutinya hanyalah ikut-ikutan yang diikutinya, tanpa pernah mikir benar tidaknya
Lerres Onggu Ka' dhintoh,...
Posting Komentar