“Anu, saya bawa
ini.”
“Waduh, terima kasih. Mari silakan duduk.”
“Sudah, terima
kasih. Saya buru-buru.”
Saya mengeluarkan segala jurus penghormatan agar Mbah Kiai mau duduk walau
sebentar, tapi beliaunya masih seperti biasa: hanya berdiri, meletakkan
oleh-oleh, lalu pamit pergi. Maka, saya pun aya mengantarkan beliau hingga ke pintu
pagar, lalu balik badan setelah mobilnya bergerak pergi, menjauh, ke arah
timur.
Kiai Jauhari ini tergolong sepuh, baik secara nasab maupun secara usia. Saya
manggil mbah kepada putranya, dan ibu saya manggil embah kepada beliau. Kakek
saya manggil paman kepadanya. Dua orang pengasuh tersisa di Pondok Pesantren Annuqayah
sama-sama memanggil paman kepada beliau. Sisanya memanggil embah dan juju’.
Saya tahu nama beliau sejak kecil, tapi baru sempat bersalaman dan ngobrol setelah ayah dan kakek-nenek saya sudah tiada. Pasalnya, beliau tetap melalukan kunjungan rutin ke Guluk-Guluk, termasuk ke rumah besar kami, sekurang-kurangnya setahun sekali. Sementara kami yang muda-muda ini, yang energik dan ganas kalau bicara, yang sehat-sehat selera makan dan syahwatnya, laga tandangnya hanya berkala, alias kala ada hajatan atau kala ada takziyah, bahkan mungkin ada yang tidak sama sekali. Malu saya.
Oya, ini yang penting. Dari dulu, oleh-oleh beliau itu unik, baik kepada kakek
saya maupun kepada sepupu-sepupu kakek-nenek. Kita sebut saja “oleh-oleh abnormal”.
Oleh-olehnya, yang saya tahu, ada yang berupa
tape recorder Telesonic, pernah pula berwujud amplifier lengkap dengan dua
kotak speaker 10 inci-an. Makin ke sini, oleh-olehnya makin abnormal saja. Oleh-oleh
mutakhirnya adalah mobil. Sudah ada sekitar entah 8 entah 9 mobil yang
dibagi-bagikan kepada kami. Mobil-mobil itu umumnya digunakan untuk kendaraan operasioanal,
seperti L300, Carry, Espass, dan ada juga Hijet, serta sedan, entah apa lagi,
sampai lupa saya.
Bukan cuman oleh-olehnya, cara membawa oleh-olehnya pun tergolong antik. Biasanya, beliau bawa rombongan. Beliau sendiri naik sedan Holden kawak dari Pace, Jember (sekitar 370-an kilometer dari sini). Pengiringnya bawa L300 dan satu mobil yang akan ditinggal. Mobil yang akan ditinggal berisi buah tangan alias oleh oleh-oleh. Jadi, beliau bawa sejenis sayuran, beras, kopi, dll, diletakkan di dalam mobil yang akan ditinggal bersama STNK dan BPKB-nya.
Setelah beliau pergi, saya tidak mengajukan pertanyan sejenis “mengapa beliau tidak bawa oleh-oleh abnormal untuk saya?” di dalam hati. Saya berpantang untuk itu. Soalnya, saya merasa sudah sangat sering dibawain oleh-oleh abnormal oleh kawan-kawan saya, mulai dari kamera , dempul mobil, kanopi pintu, kayu bakar, hingga “anu”. Makanya, saat Kiai Jauhari ke mari, oleh-oleh yang dibawanya adalah yang normal-normal.
Tapi, sempat juga, sih, saya mikir: Apakah beliau tidak bawa “oleh-oleh abnormal” karena saya-nya yang abnormal sehingga harus dibawain sekarung kopi agar kembali normal? Saya tidak paham, juga tidak berusaha untuk paham. Anta afham. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar