Empat atau lima tahun yang lalu, saya diminta untuk mengimami shalat id. Entah itu untuk yang pertama kali atau yang kedua kalinya, saya tidak ingat. Yang jelas, yang terus melekat, momen itu begitu kuat membekas. Apa pasal? Karena ‘kasus’ pakaian yang saya kenakan di saat membaca khotbah, saat ngimami, saat naik ke mimbar. Apakah saya menggunakan pakaian yang keliru?
Oh, tidak. Jadi, begini ceritanya. Sebagaimana kita tahu, pada hari raya, orang-orang biasanya mengenakan baju baru (padahal yang dianjurkan itu bukanlah baju baru, melainkan memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki—yang notabene biasanya yang paling baru). Tapi, apa lacur, kenyataan di masyarakat, lebaran itu identik dengan membeli baju baru untuk mendapatkan pakaian baru. Hanya sedikit dari mereka—mungkin hanya golongan tua-tua—yang tidak membeli baju baru dan hanya mengenakan pakaian yang dianggap paling pas, paling cocok, paling pantas, meskipun tidak baru.
Lalu, siapakah yang mengubah statemen “mengenakan/memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki” ke “mengenakan/memakai pakaian yang baru”? Yeah, Anda pasti tahulah, siapa yang mengubahnya, atau paling tidak, siapa yang melanggengkan anggapan seperti itu. Pakaian adalah simbol, dan seperti itulah simbol bekerja atau dibuat tetap bekerja sesuai kehendak kekuatan yang membuatnya bekerja. Pada akhirnya, ia akan berdampak pada keuntungan-keuntungan material bagi pihak-pihak tertentu di saat yang lain (merasa) terpuaskan oleh keuntungan-keuntungan spiritual.
Oh, ya, hampir lupa. Lanjut…
Waktu itu, saya tidak memakai baju baru. Saya hanya mengenakan baju putih—baju yang dianggap paling pantas buat naik mimbar. Tapi, ternyata, saya tidak sadar kalau saya melakukan ‘kekeliruan’ kecuali setelah turun dari mihrab dan setelah saya melihat hasil foto. Keganjilannya adalah; kaos dalam saya kelihatan, entah karena bahan kain baju yang terlalu tipis atau karena aura kaosnya yang terlalu kuat.
14 komentar:
Hanya ingin berkata terimakasih Kyai.
Ilham JE
"White" In collaboration ka'dinto, kyai.
@Anonim: terima kasih sudah membaca
@Blog JQ: senang sekali dapat tanggapan
Maaf, saya ketawa ngakak banget. Ga dosa yak ? karena memang foto nya mengejutkan. Dan tidak seperti yang saya bayangkan ketika membaca narasinya ..
wkwkwkw
Wkwkwkw. Hidup Metal, Yai.
@Anonim: makasih banyak sudah membaca... he he he
Kesukaan yang kuat terhadap band metal 🤭
Salam Metal... Hehehe...
Izin promosi, Kyai. Kunjungi segera penyairsenja001.blogspot.com
@Akhmad Fauzi: sudah, produktif sekali Anda
'Tragedi' mestinya bikin mewek. Ini malah bikin tersenyum-senyum
@Nah, itulah kenyataannya, Mas Hadi
Tulisan ini mewakili perasaan yang selalu bikin wes-wes (madura), terutama saat akan konjengan kifaye,. Tragedi yang selalu terpikirkan apalagi pas ada tulisan yang aneh-aneh. Mator sakalangkong,..
@mg Makruf Agha: terima kasih jika demikian adanya
Posting Komentar