Sebentar lagi, kampus-kampus akan kebanjiran mahasiswa baru. Mereka akan membawa kebiasaan-kebiasaan baru dari rumahnya ke tempat yang baru itu. Kebanyakan tujuannya adalah di kota (besar). Termasuk kebiasan baru itu adalah dalam hal berlalu lintas yang notabene cenderung beralih: dari kesemrawutan ke kesemrawutan akut berikutnya.
Bagaimana menertibakan lalu lintas di jalan raya? Memikirkan ini, duh, ruwetnya minta ampun. Angka-angka kecelakaan lalu lintas sangatlah menakutkan. Dalam sebuah data, konon, di tahun 2020 saja, terdata ada 100.028 kecelakaan dengan rincian 23.529 tewas dan di tahun 2021 ada sejumlah 103.645 laka sedangkan yang tewas mencapai 25.266 jiwa. Angka ini di luar kondisi sangat parah, seperti gegar otak atau patah tulang serta kerugian material lain. Saya curiga, data ini pun bahkan sudah ‘ditekan’. Angka sejatinya pasti lebih banyak daripada itu.
Kini, saatnya, kampus dan sekolah harus ikut andil menyelamatkan jiwa dan raga manusia. Tidak bisa tidak, kondisi ini tidak dapat dibiarkan lebih buruk lagi. Atas dasar itulah saya aktif ikut berkampanye tertib berlalu lintas sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu (beberapa kali di antaranya dengan salah satu anggota Polres Pamekasan dan Sumenep, antara lain beberapa kali dengan Bapak Sri Sugiarto sejak beliau di Dikyasalantas hingga sekarang menjabat sebagai Kapolsek Palengaan [2023]).
Dan kini, saya berupaya untuk merambah kampus (setelah sebelumnya hanya berkutat di lingkungan sekolah dan komunitas terbatas lainnya). Maka, pada pada Sabtu, 16 Juli 2022 lalu, saat Dr. Husnan A. Nafi’ dikukuhkan sebagai rektor IST (Institut Sains & Teknologi) Annuqayah, terbit harapan saat ketika beliau menyambut baik gagasan untuk menyelenggarakan “Orientasi Akhlak dan Fikih Jalan Raya” sebagai sesi khusus dalam rangkaian acara orientasi pendidikan kampus (ORDIK) 2022.
Praktiknya, acaranya pun dilakukan terpisah dengan INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Sesi ini menandainya sebagai kegiatan tahunan, mengikuti jejak SMK Annuqayah yang sudah terlanjur keren, menyelenggarakannya secara annual. Tahun ini, 2023, berarti merupakan tahun kedua.
Di lingkungan pondok atau komunitas agama, kita harus melihat tertib lalu lintas ini dari sudut pandang yang lain, bukan sekadar dari perspektif hukum positif/legal formal, tapi bisa dari tinjauan tasawuf dan/atau dapat pula mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih untuk dicocokkannya. Terkait ini, saya sudah mencoba dan melakukannya. Sebagian saya tulis dalam artikel atau juga buku.
Latar belakangnya adalah kesadaran—yang datang terlambat—bahwa tertib dan/atau memudahkan orang lain melintas di jalan adalah bagian penting dari akhlak, bahkan bagian dari cabang iman. Kita tahu—atau Anda belum tahu?—bahwa ‘pembunuh’ terbesar di negeri ini bukanlah demam berdarah atau covid, tapi kecelakaan lalu lintas yang di antara penyebabnya hanyalah urusan sepele, seperti menganggap lampu sein sebagai lampu disko. Belum lagi kejadian-kejadian ‘kecil’ yang sedikit demi sedikit mampu menipiskan kepekaan manusia pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang membuat mereka akan kelihatan seperti laptop baru tapi belum dipasangi sistem operasi: canggih tapi kosong, itu juga sangat buwanyak. Data-data saya tentang hal itu sudah ditulis dalam kumpulan esai “Celoteh Jalanan” (2017) dan langkah-langkah pencegahannya disisipkan di dalam buku yang lain, buku fikih perjalanan yang berjudul “Safari” (2021).
Sesi khusus dalam ORDIK ini diharapkan dapat memberikan dampak, utamanya, pengurangan/pengendalian kecelakaan lalu lintas serta menumbuhkan kepekaan sosial di jalan raya (untuk tahap selanjutnya). Meskipun sebetulnya akan lebih baik andaikan target yang disasar orientasi semacam ini adalah siswa SLTA (SMA atau MA), tapi kali ini difokuskan pada tingkatan mahasiswa karena mereka yang disebut “agen perubahan sosial” itu, yang saking berubahnya terkadang sampai anti-sosial. Sekurang-kurangnya, sesi ini diharapkan dapat menerbitkan “kesadaran baru” yang dapat digetuktularkan kepada orang/mahasiswa yang lain.
Dalam pada itu, saya melakukan praktik langsung di aula kampus, yaitu dengan meletakkan miniatur jalan raya (berbentuk papan) lengkap dengan beberapa mobil Hot Wheels. Lalu, panitia mengarahkan webcam USB pada miniatur tersebut sehingga proyeksi yang saya jelaskan dapat dipancarkan melalu proyektor besar dan bisa terlihat oleh ratusan mahasiswa. Dengan cara seperti itu, penjelasan seputar tertib dan akhlak di jalan raya langsung dipahami oleh mahasiswa, tidak sekadar berdasarkan teori, tapi langsung berwujud "praktik tanpa harus praktium".
Demikianlah, setiap melihat kesemrawutan manusia dalam berlalu lintas di jalan raya, terbit rasa pesimis: generasi kita ini adalah generasi yang beruntung secara fasilitas teknologi tapi buntung dalam hal kepekaan sosial. Akan tetapi, ketika ada gairah dalam merespon ide seperti ini, harapan baik muncul kembali. Setidaknya, terbersit harapan bahwa kita masih mau merawat kesadaran karena kesadaran itu, sesungguhnya, adalah kehendak untuk berpikir atas setiap tindakan, terutama hal-hal yang prinsip dan mendasar.
Sesi ORDIK 2023 yang akan datang harus sudah mampu membuat mahasiswa mengerti bahwa mengemudi atau berjoget pun bisa dilakukan oleh si momo. Maka supaya si homo yang berpikir berbeda dengan si momo yang ngandalkan instink, si homo harus sadar dan tahu, bahwa belok mendadak tanpa lihat spion itu biasanya perilaku sapi, bukan sapiens.
2 komentar:
Mumtaaza.... Sae Kyai Faizi, semoga bermanfaat, terimakasih atas segala sumbangsihnya terhadap KAMSELTIBCARLANTAS, kami siap bekerja sama.
Terima kasih dan mari bekerjasama. insya Allah saya siap
Posting Komentar