27 Desember 2023
Obu' Salengka', Perjodohan, dan Bromhidrosis Aksilaris
Secara harfiah, obu’ bermakna rambut dan salengka’ adalah menyintas atau menyeberang namun bukan di jalannya. Obu’ salengka’ dipahami sebagai rambut yang tumbuh mengganggu. Alih-alih memperelok penampilan, ia justru menyimpan gangguan.
Di Madura, hal ini dikenal meskipun tidak populer (karena tidak semua orang percaya). Seseorang yang miliki obu’ salengka’ diperkirakan akan kesulitan menemukan jodoh, berbeda dengan “obu’ sangkal” yang biasanya ‘masih’ bisa membuat orang yang bersangkutan untuk menjalin ikatan pertunangan, tapi gagal untuk lanjut ke pernikahan. Kedua jenis obu’ ini, pada prinsipnya, sama-sama masalah.
Untuk mengatasinya, biasanya, yang bersangkutan dibawa ke orang pintar, atau dia yang tahu dan mengerti di manakah helai-helai obu’ salengka’ dan obu’ sangkal itu tumbuh, di ‘garis lintang’ dan ‘garis bujur’ kepalanya sebelah mana ia berada. Setelah obu’ atau rambut itu dibuang, yang bersangkutan diberi doa agar dimunajatkan dengan harapan gampang mendapatkan jodoh. Dan sebelum pulang, si tukang cabut ini berpesan; “Saya hanya membantu, keputusan terakhir tetap di tangan Allah swt”. Langkah ini adalah antisipasi supaya yang bersangkutan tidak percaya padanya tapi melupakan Allah sebagai Penguasa Segalanya.
Soal rambut ini, saya belum mampu merasionalisasinya. Kasus ini masih terlalu gelap. Kasusnya mirip-mirip dengan bromhidrosis aksilaris yang diproduksi oleh kelenjar pada ketiak secara berlebihan sehingga memproduksi keringat berlebihan dan bau badan pun akan menyengat, menyerang hidung ‘tetangga’ sekitar. Dokter spesialis kulit dan kelamin dapat melakukan tindakan bedah mininal untuk mengatasinya demi bau badan dan bau ketiak yang luar daripada biasa ini, yang membahayakan teman duduk “yang bersangkutan”. Tapi, apakah ini tidak tergolong tahlukah (melukai/menyakiti tubuh) yang dilarang oleh Islam sebagaimana tato?
Dua hal di atas, bagi saya, adalah dua masalah kecil yang kasusnya bisa menjadi besar dalam perspektif hukum dan keyakinan. Bisa jadi, ada yang menyebut tindakan orang pintar (seperti mencabut rambut salengka’) itu syirik karena percaya pada kerja supranatural seorang duku, sementara jika dokter yang melakukan hal serupa dengan bedah minimal maka hukumnya berubah hukum medis, dan tentu saja tidak masalah, padahal dasarnya sama, yaitu berdasakarkan basic pengetahuan: antara supranatulis dan saintis.
Terlepas dari itu semua, saya bertanya: apakah di daerah Anda ada hal seperti ini? Ataukah Anda termasuk golongan “yang bersangkutan” itu?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar