Hadirin berdatangan, tapi satu per satu, sehingga gelaran tikar di atas tanah itu tidak segera penuh. Tim hadrah Banjari masih menabuh dan membaca kasidah tanpa jeda, keras sekali. Suasana Maulid Nabi tampak meriah sekali.
Sementara itu, pembicara di acara maulid malam ini sudah datang sejak tadi, sudah duduk di terop yang berbeda dengan khalayak umum. Tatapannya menjurus ke arah panggung, sesekali ke jam tangannya. Tuan rumah tidak kelihatan, mungkin sangat sibuk. Dengan memberikan isyarat telunjuk tangan kanan yang mengacung ke tengah-tengah telapak tangan kirinya, ia memanggil seseorang yang kebetulan melintas lalu berbisik singkat. Dan hanya dua menit setelah itu, acara dimulai. Penata acara memulai prakata dengan basa-basi ala kadarnya, dipersingkat, dan membaca senarai acara yang tak biasa: Pembukaan lalu ceramah agama.
Wajah dai kelihatan tenang sekarang. Ia berbisik kepada teman duduknya. “Habis ini, saya ada janjian dengan warga desa Balik Bukit, tapi acara di sini tidak segera dimulai. Saya khawatir terlambat, padahal tempo hari sudah ada perjanjian kalau pelaksanaan acaranya adalah maghrib awal.”
Wajahnya berubah datar sekarang. Kerut ketegangan tidak tergurat seperti tadi, seperti beberapa menit yang lalu karena sekarang acara sudah dimulai.
Setelah pembukaan lalu diteruskan dengan acara ceramah agama itu adalah keganjilan. Biasanya, setelah pembukaan, masih ada qiraah atau sambutan, atau shalawat, atau apalah namanya. Ceramah agama di acara kedua pasti merupakan langkah ‘penyelamatan’.
Akan tetapi, ternyata…
Pembukaan acara sangat lama pakai sekali: lama sekali. Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, seolah-olah acara Maulid Nabi itu adalah acara Haul Akbar yang membacakan tahlil untuk banyak arwah yang harus disebutkan satu per satu. Saya catat durasinya, pembacaan Al-Fatihah pada sesi pertama itu hampir memakan waktu 10 menit, kalau pun kurang hanyalah sedikit.
Penceramah kembali gelisah. Setiap kali hadirin membaca Al-Fatihah bersama-sama, ia kelihatan lega, tapi tidak lama, karena dari atas panggung, terdengar kembali “Al-Fatihah yang selanjutnya, kita khususkan untuk…” dan seterusnya, dan seterusnya, begitu terus hingga tak terhitung berapa kalinya, berapa menitnya.
Begitu rangkaian acara pertama selesai, kini, giliran penceramah yang naik panggung. Dan harus diakui, ia tampak profesional. Ia membuka ceramahnya seperti biasa: memuji Allah, lalu Rasulullah, dan memulai ceramah dengan mendendangkan shalawat Nabi selama 6 menit, lalu ia menyampaikan materi dengan sangat cepat hanya dalam waktu 7 menit. Beliau minta maaf dan bilang harus pindah tempat karena mestinya ia bisa naik panggung sepantasnya lama bicara andaikan tidak molor acaranya…
Begitulah ceritanya… tentang pentingnya memahami kondisi, baik itu bagi penata acara, tuan rumah, dan masing-masing pengisi acara. Di masa yang akan datang, agaknya, penyelenggara acara harus menyiapkan stopwatch untuk mengatur durasi acara supaya semua elemen pengisi acara bisa sadar waktu secara presisi, tidak berdasarkan perkiraan sesuka hati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar