‘Agama’, juga ‘pekerjaan’, merupakan dua hal yang selalu menjadi persyaratan kelengkapan pengisian sembarang formulir di negeri ini, sementara tidak di negeri itu dan tidak pula di negeri yang lain. oleh karenanya, WNI harus ‘beragama’ dan ‘harus bekerja’ agar punya KTP. Cek saja kalau tidak percaya. Untung saja, tidak ada peraturan khusus, misalnya, harus mencantumkan nomor ponsel di dalam KTP.
Saat mau isi formulir pembuatan KTP, Su’din yang tidak punya pekerjaan secara spesifik, ditanyai petugas:
“Pekerjaannya?”
“Apa, ya?” Su’din mengernyitkan kening, menautkan alis, memicingkan mata. “Enaknya diisi apa?” Malah-balik-bertanya si Su’din ini.
“Loh, kok malah enaknya. Sampeyan ini gimana? Pekerjaannya sampeyan itu apa?” Petugas menggunakan oktaf ketiga dengan nada dasar B.
“Ya, diisi saja yang enak, apa lah…” jawab Su’din sekenanya.
“Wah, harus jelas!”
Sejurus berpikir, Su’din pun kormeddal,
“Isi saja: ‘menunggu’!”
“Maksudnya apa? Pekerjaan kok ‘menunggu’? Kasih pekerjaan wiraswasta saja, ya!
“Enggak, ah, ‘menunggu’ saja, lebih jujur dan realistis!”
“Menunggu bagaimana maksudnya sampeyannya ini?” Lama-lama, petugas itu tampak mulai tidak sabar. Ia menggunakan teknik vokal falseto berkekuatan 120 desibel untuk pertanyaannya ini.
“Saya ndak punya kantor, saya mangkal di warung kopi yang dekat kantor, dekat samsat, pokoknya dekat dengan urusan “menunggu” lah… Saya menunggu orang minta dibantu, seperti nunggu orang minta diantar ke samsat; perpanjangan surat-surat kendaraan, mau beli tanah, ya, cem-macem lah pokoknya. Tapi, pada intinya, saya cuma menunggu, kok!”
Su’din menatap petugas itu sambil berkata, “Paham Sampeyan?”
[buat Mumunk Bandaran: saya menunggu inspirasi kormeddal-mu yg lain]
10 komentar:
Hmmm, ber"aroma" mukasyafah...
Semakin lama kok semakin kurang lucu ya?
kurang lucu atau semakin menukik?
Nemmu beih kak izi... :))
haha.. broker lah kerennya
mungkin dia terinspirasi dari lagunya ridho rhoma "menunggu", lagu dangdut yang di'pop'isasi. maklum lagi ngetrennya....
Ngampongah agabung sareng pangestonah
ayah.... sebelum terlahir anak-anak matahari, maka akulah pagi yang rebah dan mengelokkan namamu seperti embun yang masih malu-malu.
dan bulan basah dikeningku, pun pertemuan yang mengekalkan kita dalam jam-jam yang berhembus. ayah, ingat akukah?
astaganagaa Gus...
maaf, hanya itu yang bisa keluar dari mulut saya. Selebihnya, mari saya lantas tertawa dahulu, gak gakkk
Hahaha.. apalagi kalau Mumung yang bercerita, Anda pasti akan terguling-guling.
Posting Komentar