Suatu saat, beberapa bulan sebelum ayah saya wafat, beliau menanam pohon klengkeng di depan kamar. Klengkeng ini kami peroleh dari seorang teman. Kami merawat klengkeng ini dengan sangat hait-hati. Maklum, tanah di tempat saya kurang subur. Tanahnya pejal berbatu-batu. Pasti, klengkeng ini akan tumbuh secara lambat jika ditanam di sini, begitu pikir saya.
Suatu hari, dua tahun kemudian, sebuah mobil tamu menabraknya saat berjalan mundur. Peristiwa itu terjadi ketika saya tidak sedang di rumah. Sungguh saya sangat geram melihat kejadian ini. Saya memaki-maki sendiri.
Seminggu yang lalu, saya menanam pohon klengkeng yang baru. Ya, tiba-tiba saja saya ingat percakapan dengan kakek ketika saya masih belia. Dulu sekali, kakek hendak menanam pohon asam di depan madrasah. “Untuk apa kakek menanam pohon asam itu” tanya saya. Saya berpikir ketika itu, untuk apa kakek menama pohon asam sementara dia – dalam hitungan saya – nyaris tak mungkin bisa mencicipi buah asamnya, tidak akan merasakan nikmatnya berteduh di bawah rimbun daunnya mengingat usia beliau sudah begitu lanjut, begitu pikir saya.
“Untuk kalian,” jawab kakek ketika itu. Nah, demikian pula, saya akhirnya berkesimpulan, menanam pohon, apalagi klengkeng yang butuh puluhan tahun agar besar dan rimbun, tentu tidak harus untuk kita ambil manfaat secara langsung untuk diri sendiri, melainkan untuk anak cucu kita. “Menanam untuk orang lain”, mungkin begitu kira-kira
3 komentar:
Saya ingin nabrak pohon klengkeng yang baru ditanam itu kak, disuatu tengah malam dengan membawa sebungkus rokok marlboro pesanan sampean.
klingking masa ditaanam
Assalamu'alaikum.
Boleh minta alamat emailnya..?
Terimakasih.
Wassalam.
Posting Komentar